Penetapan Tersangka Bisa Dipraperadilankan

Sabtu, 14 Februari 2015 - 09:50 WIB
Penetapan Tersangka Bisa Dipraperadilankan
Penetapan Tersangka Bisa Dipraperadilankan
A A A
JAKARTA - Saksi ahli yang diajukan pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang praperadilan penetapan tersangka Komjen Pol Budi Gunawan justru menyatakan bahwa penetapan seseorang sebagai tersangka bisa dibawa ke sidang praperadilan.

Saksi ahli dari Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung Bernard Arif Sidharta mengatakan, setiap warga negara bisa mengajukan keberatan jika mendapati dirinya dirugikan atau mendapat kesewenangan.

”Kalau memang itu (penetapan tersangka) disebabkan oleh adanya penyalahgunaan kekuasaan, bisa dipraperadilankan,” tandas Bernard di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) kemarin. Karena itu, ujarnya, melalui praperadilanlah nantinya orang yang dirugikan mendapat kepastian hukum. ”Bahwa saya diperlakukan seperti itu tentu saya keberatan. Tapi supaya yakin, tunggu sidang praperadilannya,” kata Bernard.

Mendengar penjelasan saksi ahli itu, kuasa hukum Budi Gunawan (BG) pun tidak ingin menyia-nyiakan dengan melontarkan pertanyaan apakah penetapan tersangka kliennya juga bisa dikategorikan laik diuji di praperadilan. ”Kalau merasa dirugikan ya ke praperadilan,” tandas Bernard. Sedangkan saksi ahli lainnya, Junaedi, menjelaskan ganti rugi dan rehabilitasi bisa diajukan dalam proses praperadilan.

Syaratnya, apabila dalam proses penangkapan, penahanan, pemasukanrumah, penyitaan, atau penggeledahan ditemukan upaya paksayangdilakukanolehaparat penegak hukum. ”Rehabilitasi dan kerugian itu untuk kepentingan diajukan praperadilan. Kalau ada upaya paksa bisa dikembalikan nama baiknya,” tandas pengajar hukum pidana di Universitas Indonesia. Namun, kepastian ganti rugi dan rehabilitasi pada umumnya dituntut ketika perkara sudah dihentikan.

Pasalnya, saat perkara masih berlangsung sulit untuk menentukan apakah ada kemungkinan terjadi upaya paksa tersebut. ”Diajukan praperadilan kalau ada penghentian penyidikan dan penuntutan. Tindakan (upaya paksa) sebelumnya berupa penangkapan dan penahanan bisa diajukan kerugian,” ungkap Junaedi.

Menurut dia, upaya menuntut ganti rugi dan rehabilitasi ketika perkara masih berlangsung adalah terlalu cepat dan sia-sia. ”Itu prematur, belum waktunya,” paparnya. Sementara itu, pakar hukum Universitas Gadjah Mada yang juga dihadirkan sebagai saksi ahli dari KPK, Zainal Arifin Mochtar, menilai makna kolektif kolegial yang dimiliki oleh KPK tidak serta-merta harus menuntut mereka memutuskan segala sesuatu berdasarkan jumlah pimpinan lima orang.

Menurut dia, ada pengecualian di mana KPK juga bisa menghadapi situasi ketidaklengkapan kepemimpinan yang tentunya tidak boleh berpengaruh pada kinerja institusi tersebut. ”Mustahil menganggap KPK itu harus selalu lima, karena memang ada kondisi di mana dia (KPK) tidak bisa lima,” ujarnya. Ketidaklengkapan kepemimpinan, menurut Zainal, bisa berupa pemunduran diri pimpinan KPK dari jabatannya, meninggal dunia, atau terlibat kasus hukum hingga ditetapkan sebagai tersangka maupun terpidana.

”Misalnya juga ada kasus yang melibatkan conflict of interest yang membuat salah seorang pimpinan tidak ingin terlibat, masa harus dihentikan sampai pimpinan diganti?” tan-dasnya. Zainal menambahkan, pengecualian bisa dilakukan apabila jumlah pimpinan KPK hanya tersisa dua orang. Dengan kondisi semacam itu maka harus ada campur tangan pemerintah untuk membuat formasi kepemimpinan bisa sesuai kembali.

”Dalam kondisi dua orang, saya termasuk orang yang mendukung diterbitkannya perppu plt,” paparnya. Terkait keabsahan penyelidik maupun penyidik yang sempat dipertanyakan kuasa hukum BG, Zainal menjelaskan bahwa KPK memiliki kewenangan untuk dapat mengangkat penyelidik maupun penyidik di luar kepolisian dan kejaksaan. Sebagai lembaga negara yang sifatnya independen, KPK memiliki sifat self regulator body.

”Sepanjang tidak menyalahi aturan perundangan, kalau misalnya tidak ada aturan yang mendetail soal itu maka lembaga negara independen bisa mengaturnya. Jadi dalam konteks self regulator body, apabila tidak ada aturan dia boleh mengisinya,” jelasnya.

Mengenai keabsahan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) yang telah mengundurkan diri namun masih turut dalam menentukan keputusankeputusan di KPK, Zainal juga beranggapan selama pemunduran diri yang bersangkutan belum disahkan oleh presiden, maka pengunduran dirinya belum dianggap sah. ”Melalui keppres itu baru bisa dianggap sah, karena keppres keputusan yang sifatnya administrasi,” ujarnya.

Kuasa hukum KPK Rasamala Aritonang menjawab serangkaian sangkaan tim kuasa hukum BG yang menyangsikan aspek kolektif kolegial bersandar pada jumlah pimpinan KPK yang hanya berjumlah empat orang. Menurut Rasamala, makna kolektif kolegial memang tidak diatur secara rinci dalam UU KPK. Namun, dalam Pasal 25 UU KPK ada aturan yang memberikan kewenangan bagi pimpinan KPK untuk menetapkan aturan yang berkaitan dengan tata laksana organisasi.

”Jadi di situ sudah ada, supaya orang bisa berjalan, bisa menetapkan UU,” ungkap Rasamala seusai persidangan. Menurut dia, sejak 2009 KPK memang sudah melaksanakan hal itu. Termasuk ketentuan yang mengatur tata cara pengambilan keputusan soal teknis.

Begitu juga dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan pimpinan KPK harus berjumlah lima orang, Rasamala mengatakan keputusan itu tidak menjelaskan bahwa praktiknya dalam mengambil suatu putusan pimpinan KPK harus lima orang, tetapi dilaksanakan secara bersama-sama. Dengan fakta tersebut, meski putusan tidak diambil oleh lima pimpinan KPK maka itu bisa dianggap kolektif kolegial.

Dian ramdhani
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5134 seconds (0.1#10.140)