Putusan KPK Bisa Batal Demi Hukum
A
A
A
JAKARTA - Guru besar ilmu hukum dari Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita, menyatakan, kelengkapan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menetapkan putusan dan kebijakan itu penting untuk menghindari adanya pemufakatan jahat.
Karena itu, menurut Romli, segala putusan KPK selama ini yang hanya didasarkan pada empat komisionernya saja termasuk batal demi hukum. “Penetapan-penetapan itu batal demi hukum,” seru Romli saat menjadi saksi ahli dalam sidang praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan (BG) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) kemarin.
Romli, yang juga turut serta menggodok RUU KPK, mengatakan, kewenangan pimpinan KPK dalam mengusut kasus korupsi sangat besar pengaruhnya. Apalagi, dalam pengusutan kasus korupsi, KPK tidak mengenal adanya surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Karena itu, KPK tidak boleh salah dalam melangkah.
“Kebijakan KPK harus melalui pertimbangan lima komisionernya supaya tidak terjadi kongkalikong dalam penetapan suatu kebijakan. Bagaimanapun, pertimbangan oleh dua atau tiga orang tidak lebih baik dari pertimbangan oleh lima orang. Itulah yang menjadi pertimbangan kami dulu,” paparnya. Menurut Romli, kalaupun ada satu komisioner KPK yang berhalangan menyepakati suatu putusan, komisioner yang lain wajib menunggunya. Atau kalau ada pimpinan KPK yang tersangkut kasus hukum, harus segera dilakukan pergantian.
“Ini tidak menghambat, semua ada perencanaan. Jadikalaumisalnya pimpinan mau keluar negeri, kan itu sudah diatur jauh-jauh hari sesuai jadwal. Dia tidak akan pergi kalau belum menyelesaikan tugas,” ujarnya. Romli pun angkat bicara mengenai kondisi KPK saat ini yang hanya diisi oleh empat komisioner. Menurut dia, KPK harus secepatnya memenuhi jumlah yang diatur dalam undangundang, sehingga tidak lagi menabrak undang-undangnya sendiri.
“Kalau di manajemen yang tidak benar ya begitu, sampai orang yang mau habis masa penahanan, orangnya (komisionernya) tidak ada, bagaimana coba ceritanya,” ujarnya. Selain Romli, pihak BG kemarin juga menghadirkan pakar hukum administrasi negara, I Gede Panca Astawa, juga dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung; pakar hukum pidana Chairul Huda dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ); serta pakar hukum tata negara Universitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis, sebagai saksi ahli.
I Gede Panca Astawa juga sepakat jika kelengkapan komisioner KPK menjadi hal wajib untuk bisa memutuskan suatu perkara. Ketidaklengkapan pimpinan karena alasan tertentu (meninggal dunia, diberhentikan) bisa diatasi dengan terbitnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
“Perppu nanti menjawab bahwa ada satu kondisi khusus yang segera,” sebut Astawa. Menurut dia, prinsip kolektif kolegial KPK mencakup semua aspek tugasnya baik supervisi, pencegahan, dan penindakan. Karena itu, kekurangan jumlah komisioner seharusnya segera dilengkapi. “Untuk dapat beraktivitas, ya mereka harus menunggu, berhenti sementara,” katanya.
Saat dimintai tanggapan tentang potensi itu bisa menghambat tugas KPK karena apabila proses penyidikan sedang berjalan dan ada orang yang harus ditangkap dan ditetapkan tersangka (keputusan yang harus diambil saat itu juga), Astawa menilai hal itu tetap menjadi pilihan yang dapat berimplikasi hukum.
“Pilihan apa pun yang ditempuh pimpinan akan menghadirkan konsekuensi hukum. Berempat boleh, tapi konsekuensinya tidak sah,” katanya. Margarito Kamis, dalam kesaksiannya, juga menjelaskan bahwa proses pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kepala Polri jangan disangkutpautkan dengan statusnya sebagai tersangka KPK. Menurut dia, yang bersangkutan telah memperoleh hak untuk dilantik sebagai kepala Polri setelah mendapat persetujuan dari DPR.
“Begitu DPR memberikan persetujuan, saat itu juga orang yang diberi persetujuan mendapatkan hak. Kemudian muncul kewajiban bagi presiden untuk meresmikan orang yang diusulkan itu agar prosedur tata negara ini sempurna,” ujar Margarito. Penundaan atau pembatalan baru terjadi apabila ada undang- undang yang mengatur hal itu. Menurut dia, sampai saat ini belum ada aturan yang mempersilakan presiden untuk menolak persetujuan DPR.
“Sejauh yang saya mengerti UU Kepolisian atau undang-undang lain tidak mengatur hal itu,” ungkapnya. Margarito mengatakan, banyak pihak yang salah paham tentang hak prerogatif yang dimiliki oleh presiden. Hak itu baru bisa dilaksanakan apabila presiden telah mengangkat yang bersangkutan menjadi kepala Polri, sementara dalam kasus ini BG belumlah melalui proses tersebut.
“Kalau sudah diangkat, baru berlaku prinsip contrario actus itu, siapa yang mengangkat dia juga yang memberhentikan,” tambahnya. Margarito melanjutkan, apabila presiden tetap tidak menjalankan hasil persetujuan DPR itu, maka presiden bisa dikategorikan telah melanggar sumpah jabatan dan UUD 1945. “Kalau kita mau kerangkakan dalam konstitusi, ya melanggar sumpah jabatan, dia tidak melaksanakan UUD 1945 selurus dan seadil-adilnya. Ini tindakan melanggar hukum yang bisa ditransformasi dalam Pasal 7 UUD masuk kualifikasi perbuatan tercela, impeachment,” ungkapnya.
Kuasa hukum KPK, Chatarina Muliana Girsang, melihat adanya ketidakjelasan saksi yang dihadirkan oleh pihak pemohon dalam sidang kemarin. Ini tergambar dari tujuan dihadirkannya saksi tersebut untuk memperkuat dalil yang disampaikan. “Saya lihat ini tidak jelas juga arahnya ke mana,” kata Chatarina.
Seperti halnya penetapan tersangka yang hanya melibatkan empat orang pimpinan, menurut Chatarina, hal itu sudah sesuai aturan dan klarifikasi pimpinan KPK yang sudah mencakup aspek kolektif-kolegial. “Menurut keterangan pimpinan itu sudah dilakukan( kolektif-kolegial),” balasnya. Chatarina juga mengatakan keabsahan soal empat pimpinan KPK tertuang dalam Pasal 7 UU KPK. Menurut dia, jika memang dianggap tidak sah, dia juga termasuk yang tidak sah tersebut.
“Saya hadir di sini atas nama empat pimpinan,” paparnya. Sementara itu, ribuan massa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Pengawal Konstitusi (KOMPAK) kemarin berunjuk rasa di depan Istana Kepresidenan. Mereka mendesak agar Presiden Joko Widodo segera melantik Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kepala Polri. Juru Bicara KOMPAK Zakaria Christian khawatir instabilitas politik bisa dimanfaatkan oleh kekuatan tertentu untuk mencabik-cabikkeutuhanNKRI.
“Melalui aksi massa ini kami turun ke jalan dalam rangka memberikan dukungan kepada Presiden Jokowi untuk segera melantik Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kapolri sematamata sebagai perwujudan dari pelaksanaan konstitusi negara,” serunya.
Menurut dia, pelantikan BG sebagai kepala Polri merupakan wujud dari pelaksanaan mekanisme ketatanegaraan serta perwujudan dari harmonisasi hubungan antarlembaga negara, dalam hal ini DPR dan lembaga kepresidenan. Di dalam konstitusi negara dan TAP MPR Nomor VII Tahun 2000, jelas dinyatakan bahwa penetapan kapolri bukanlah hak prerogatif presiden. Sebab, diatur bahwa kapolri diangkat dan diberhentikan presiden atas persetujuan DPR.
“Dari situ sudah jelas bahwa tidak ada lagi alasan konstitusional yang bisa menghalang- halangi Presiden untuk segera melantik Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kepala Polri,” ujarnya.
Dian ramdhani
Karena itu, menurut Romli, segala putusan KPK selama ini yang hanya didasarkan pada empat komisionernya saja termasuk batal demi hukum. “Penetapan-penetapan itu batal demi hukum,” seru Romli saat menjadi saksi ahli dalam sidang praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan (BG) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) kemarin.
Romli, yang juga turut serta menggodok RUU KPK, mengatakan, kewenangan pimpinan KPK dalam mengusut kasus korupsi sangat besar pengaruhnya. Apalagi, dalam pengusutan kasus korupsi, KPK tidak mengenal adanya surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Karena itu, KPK tidak boleh salah dalam melangkah.
“Kebijakan KPK harus melalui pertimbangan lima komisionernya supaya tidak terjadi kongkalikong dalam penetapan suatu kebijakan. Bagaimanapun, pertimbangan oleh dua atau tiga orang tidak lebih baik dari pertimbangan oleh lima orang. Itulah yang menjadi pertimbangan kami dulu,” paparnya. Menurut Romli, kalaupun ada satu komisioner KPK yang berhalangan menyepakati suatu putusan, komisioner yang lain wajib menunggunya. Atau kalau ada pimpinan KPK yang tersangkut kasus hukum, harus segera dilakukan pergantian.
“Ini tidak menghambat, semua ada perencanaan. Jadikalaumisalnya pimpinan mau keluar negeri, kan itu sudah diatur jauh-jauh hari sesuai jadwal. Dia tidak akan pergi kalau belum menyelesaikan tugas,” ujarnya. Romli pun angkat bicara mengenai kondisi KPK saat ini yang hanya diisi oleh empat komisioner. Menurut dia, KPK harus secepatnya memenuhi jumlah yang diatur dalam undangundang, sehingga tidak lagi menabrak undang-undangnya sendiri.
“Kalau di manajemen yang tidak benar ya begitu, sampai orang yang mau habis masa penahanan, orangnya (komisionernya) tidak ada, bagaimana coba ceritanya,” ujarnya. Selain Romli, pihak BG kemarin juga menghadirkan pakar hukum administrasi negara, I Gede Panca Astawa, juga dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung; pakar hukum pidana Chairul Huda dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ); serta pakar hukum tata negara Universitas Khairun, Ternate, Margarito Kamis, sebagai saksi ahli.
I Gede Panca Astawa juga sepakat jika kelengkapan komisioner KPK menjadi hal wajib untuk bisa memutuskan suatu perkara. Ketidaklengkapan pimpinan karena alasan tertentu (meninggal dunia, diberhentikan) bisa diatasi dengan terbitnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
“Perppu nanti menjawab bahwa ada satu kondisi khusus yang segera,” sebut Astawa. Menurut dia, prinsip kolektif kolegial KPK mencakup semua aspek tugasnya baik supervisi, pencegahan, dan penindakan. Karena itu, kekurangan jumlah komisioner seharusnya segera dilengkapi. “Untuk dapat beraktivitas, ya mereka harus menunggu, berhenti sementara,” katanya.
Saat dimintai tanggapan tentang potensi itu bisa menghambat tugas KPK karena apabila proses penyidikan sedang berjalan dan ada orang yang harus ditangkap dan ditetapkan tersangka (keputusan yang harus diambil saat itu juga), Astawa menilai hal itu tetap menjadi pilihan yang dapat berimplikasi hukum.
“Pilihan apa pun yang ditempuh pimpinan akan menghadirkan konsekuensi hukum. Berempat boleh, tapi konsekuensinya tidak sah,” katanya. Margarito Kamis, dalam kesaksiannya, juga menjelaskan bahwa proses pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kepala Polri jangan disangkutpautkan dengan statusnya sebagai tersangka KPK. Menurut dia, yang bersangkutan telah memperoleh hak untuk dilantik sebagai kepala Polri setelah mendapat persetujuan dari DPR.
“Begitu DPR memberikan persetujuan, saat itu juga orang yang diberi persetujuan mendapatkan hak. Kemudian muncul kewajiban bagi presiden untuk meresmikan orang yang diusulkan itu agar prosedur tata negara ini sempurna,” ujar Margarito. Penundaan atau pembatalan baru terjadi apabila ada undang- undang yang mengatur hal itu. Menurut dia, sampai saat ini belum ada aturan yang mempersilakan presiden untuk menolak persetujuan DPR.
“Sejauh yang saya mengerti UU Kepolisian atau undang-undang lain tidak mengatur hal itu,” ungkapnya. Margarito mengatakan, banyak pihak yang salah paham tentang hak prerogatif yang dimiliki oleh presiden. Hak itu baru bisa dilaksanakan apabila presiden telah mengangkat yang bersangkutan menjadi kepala Polri, sementara dalam kasus ini BG belumlah melalui proses tersebut.
“Kalau sudah diangkat, baru berlaku prinsip contrario actus itu, siapa yang mengangkat dia juga yang memberhentikan,” tambahnya. Margarito melanjutkan, apabila presiden tetap tidak menjalankan hasil persetujuan DPR itu, maka presiden bisa dikategorikan telah melanggar sumpah jabatan dan UUD 1945. “Kalau kita mau kerangkakan dalam konstitusi, ya melanggar sumpah jabatan, dia tidak melaksanakan UUD 1945 selurus dan seadil-adilnya. Ini tindakan melanggar hukum yang bisa ditransformasi dalam Pasal 7 UUD masuk kualifikasi perbuatan tercela, impeachment,” ungkapnya.
Kuasa hukum KPK, Chatarina Muliana Girsang, melihat adanya ketidakjelasan saksi yang dihadirkan oleh pihak pemohon dalam sidang kemarin. Ini tergambar dari tujuan dihadirkannya saksi tersebut untuk memperkuat dalil yang disampaikan. “Saya lihat ini tidak jelas juga arahnya ke mana,” kata Chatarina.
Seperti halnya penetapan tersangka yang hanya melibatkan empat orang pimpinan, menurut Chatarina, hal itu sudah sesuai aturan dan klarifikasi pimpinan KPK yang sudah mencakup aspek kolektif-kolegial. “Menurut keterangan pimpinan itu sudah dilakukan( kolektif-kolegial),” balasnya. Chatarina juga mengatakan keabsahan soal empat pimpinan KPK tertuang dalam Pasal 7 UU KPK. Menurut dia, jika memang dianggap tidak sah, dia juga termasuk yang tidak sah tersebut.
“Saya hadir di sini atas nama empat pimpinan,” paparnya. Sementara itu, ribuan massa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Pengawal Konstitusi (KOMPAK) kemarin berunjuk rasa di depan Istana Kepresidenan. Mereka mendesak agar Presiden Joko Widodo segera melantik Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kepala Polri. Juru Bicara KOMPAK Zakaria Christian khawatir instabilitas politik bisa dimanfaatkan oleh kekuatan tertentu untuk mencabik-cabikkeutuhanNKRI.
“Melalui aksi massa ini kami turun ke jalan dalam rangka memberikan dukungan kepada Presiden Jokowi untuk segera melantik Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kapolri sematamata sebagai perwujudan dari pelaksanaan konstitusi negara,” serunya.
Menurut dia, pelantikan BG sebagai kepala Polri merupakan wujud dari pelaksanaan mekanisme ketatanegaraan serta perwujudan dari harmonisasi hubungan antarlembaga negara, dalam hal ini DPR dan lembaga kepresidenan. Di dalam konstitusi negara dan TAP MPR Nomor VII Tahun 2000, jelas dinyatakan bahwa penetapan kapolri bukanlah hak prerogatif presiden. Sebab, diatur bahwa kapolri diangkat dan diberhentikan presiden atas persetujuan DPR.
“Dari situ sudah jelas bahwa tidak ada lagi alasan konstitusional yang bisa menghalang- halangi Presiden untuk segera melantik Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kepala Polri,” ujarnya.
Dian ramdhani
(ars)