Yogya Waspada KLB Leptos
A
A
A
YOGYAKARTA - Penderita leptospirosis di Kota Yogyakarta bertambah menjadi tujuh orang pada awal Februari ini, tiga di antaranya meninggal dunia. Untuk mengantisipasi peningkatan kasus itu, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Yogyakarta melakukan penanganan secara kejadian luar biasa (KLB).
District Surveillance Officer (DSO) Dinkes Kota Yogyakarta Rubangi mengatakan, pada Januari kemarin penderita leptospirosis berjumlah empat, tiga di antaranya meninggal. Kemudian, selama sepekan ini bertambah menjadi tujuh. “Memang ada penambahan, sekarang sedang dirawat di rumah sakit,” katanya, kemarin. Rubangi menambahkan, dengan penambahan kasus ini pihaknya semakin intens memperlakukan serangan bakteri dari air kencing tikus ini.
Di antaranya, dengan melakukan deteksi dini di sekitar rumah penderita. Jika ditemukan adanya bakteri leptos, langsung semprotkan serum pembunuhnya. “Bakteri penyakit leptospirosis sebenarnya bisa mati jika terkena sinar matahari. Kami hanya bisa lihat melalui alat pembesar, jadi secara visual tidak kelihatan kasatmata,” tuturnya. Penanganan penyakit yang biasa merebak pada musim hujan ini pun dilakukan secara KLB meski saat ini statusnya belum masuk ke situ.
“Kami statuskan kasus itu sebagai waspada KLB, sehingga penanganan penyakitnya juga secara KLB. Jadi, ketika ditemukan ada kasus baru, kami langsung melangkah,” katanya. Selain leptospirosis, penyakit demam berdarah dengue (DBD) juga ditangani secara KLB oleh Dinkes Kota Yogyakarta. Apalagi, data terakhir di Dinas Kesehatan menyebut penderita DBD di Kota Yogyakarta pada Januari lalu mencapai 72 kasus, dan satu di antaranya meninggal dunia.
Jumlah itu meningkat tajam dibanding bulan sama tahun 2014 silam yang hanya berjumlah 19 orang. “Data di Februari untuk penderita DBD belum masuk. Sementara, Januari masih di angka 72 dengan satu orang meninggal dunia. Jadi, saat ini kami fokus pada leptos dan DBD,” katanya. Kepala Bidang Pengendali Penyakit dan Masalah Kesehatan (P2MK) Dinkes Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Daryanto Chadorie, juga mengimbau masyarakat agar terus meningkatkan kewaspadaan terhadap dua penyakit ini.
Apalagi, khusus DBD, di beberapa daerah seperti Jawa Timur dan Jawa Barat sudah masuk KLB. “Jawa Timur sudah KLB, Jawa Barat sudah. Jadi, kami harus berhati- hati dengan serangan wabah DBD,” katanya. Yang jelas, Daryanto berharap tidak akan ada ledakan jumlah penderita DBD di wilayahnya. Apalagi, dia tahu potensi itu sangat besar karena 2015 masuk siklus lima tahunan DBD.
“DIY akan sangat sulit masuk ke tahap itu, perlu banyak pertimbangan. Salah satunya jumlah kasus harus meningkat signifikan. Kenapa sulit, karena status KLB akan berpengaruh pada semuanya, ekonomi kena, politik kena. Jadi, harus hatihati,” ucapnya. Dari Bojonegoro, Jawa Timur, Bupati Suyoto menetapkan kasus penularan DBD di wilayahnya sebagai KLB.
Sebab, sejak awal Januari hingga Februari 2015 penderita DBD yang menjalani perawatan di rumah sakit mencapai 55 orang. “Kasus demam berdarah di Bojonegoro cenderung meningkat dan telah memenuhi kriteria sebagai kejadian luar biasa,” ujar Suyoto. Hingga kini jumlah penderita DBD yang menjalani perawatan di rumah sakit di Bojonegoro mencapai 55 orang.
Sebagian besar penderita adalah anak-anak dan balita. Jumlah penderita terbanyak, yakni 11 orang, menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sumberejo. Selebihnya menjalani perawatan di RSUD Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro, RSUD Padangan, dan sejumlah rumah sakit swasta. “Penanganan demam berdarah di Bojonegoro dilakukan secara cepat dan tepat,” ujar Kang Yoto, panggilan Suyoto.
Ridho hidayat/Muhammad roqib
District Surveillance Officer (DSO) Dinkes Kota Yogyakarta Rubangi mengatakan, pada Januari kemarin penderita leptospirosis berjumlah empat, tiga di antaranya meninggal. Kemudian, selama sepekan ini bertambah menjadi tujuh. “Memang ada penambahan, sekarang sedang dirawat di rumah sakit,” katanya, kemarin. Rubangi menambahkan, dengan penambahan kasus ini pihaknya semakin intens memperlakukan serangan bakteri dari air kencing tikus ini.
Di antaranya, dengan melakukan deteksi dini di sekitar rumah penderita. Jika ditemukan adanya bakteri leptos, langsung semprotkan serum pembunuhnya. “Bakteri penyakit leptospirosis sebenarnya bisa mati jika terkena sinar matahari. Kami hanya bisa lihat melalui alat pembesar, jadi secara visual tidak kelihatan kasatmata,” tuturnya. Penanganan penyakit yang biasa merebak pada musim hujan ini pun dilakukan secara KLB meski saat ini statusnya belum masuk ke situ.
“Kami statuskan kasus itu sebagai waspada KLB, sehingga penanganan penyakitnya juga secara KLB. Jadi, ketika ditemukan ada kasus baru, kami langsung melangkah,” katanya. Selain leptospirosis, penyakit demam berdarah dengue (DBD) juga ditangani secara KLB oleh Dinkes Kota Yogyakarta. Apalagi, data terakhir di Dinas Kesehatan menyebut penderita DBD di Kota Yogyakarta pada Januari lalu mencapai 72 kasus, dan satu di antaranya meninggal dunia.
Jumlah itu meningkat tajam dibanding bulan sama tahun 2014 silam yang hanya berjumlah 19 orang. “Data di Februari untuk penderita DBD belum masuk. Sementara, Januari masih di angka 72 dengan satu orang meninggal dunia. Jadi, saat ini kami fokus pada leptos dan DBD,” katanya. Kepala Bidang Pengendali Penyakit dan Masalah Kesehatan (P2MK) Dinkes Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Daryanto Chadorie, juga mengimbau masyarakat agar terus meningkatkan kewaspadaan terhadap dua penyakit ini.
Apalagi, khusus DBD, di beberapa daerah seperti Jawa Timur dan Jawa Barat sudah masuk KLB. “Jawa Timur sudah KLB, Jawa Barat sudah. Jadi, kami harus berhati- hati dengan serangan wabah DBD,” katanya. Yang jelas, Daryanto berharap tidak akan ada ledakan jumlah penderita DBD di wilayahnya. Apalagi, dia tahu potensi itu sangat besar karena 2015 masuk siklus lima tahunan DBD.
“DIY akan sangat sulit masuk ke tahap itu, perlu banyak pertimbangan. Salah satunya jumlah kasus harus meningkat signifikan. Kenapa sulit, karena status KLB akan berpengaruh pada semuanya, ekonomi kena, politik kena. Jadi, harus hatihati,” ucapnya. Dari Bojonegoro, Jawa Timur, Bupati Suyoto menetapkan kasus penularan DBD di wilayahnya sebagai KLB.
Sebab, sejak awal Januari hingga Februari 2015 penderita DBD yang menjalani perawatan di rumah sakit mencapai 55 orang. “Kasus demam berdarah di Bojonegoro cenderung meningkat dan telah memenuhi kriteria sebagai kejadian luar biasa,” ujar Suyoto. Hingga kini jumlah penderita DBD yang menjalani perawatan di rumah sakit di Bojonegoro mencapai 55 orang.
Sebagian besar penderita adalah anak-anak dan balita. Jumlah penderita terbanyak, yakni 11 orang, menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sumberejo. Selebihnya menjalani perawatan di RSUD Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro, RSUD Padangan, dan sejumlah rumah sakit swasta. “Penanganan demam berdarah di Bojonegoro dilakukan secara cepat dan tepat,” ujar Kang Yoto, panggilan Suyoto.
Ridho hidayat/Muhammad roqib
(bbg)