PNS Pemprov Jateng Wajib Kenakan Busana Adat
A
A
A
SEMARANG - Pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Jateng) akan diwajibkan memakai busana adat daerah setempat. Hal itu untuk melestarikan kebudayaan Jawa Tengah.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan, pemakaian busana Jawa itu akan diujicobakan satu bulan sekali. “Saya masih memikirkan kira-kira pakaian adat mana yang akan dipakai. Kalau di Jateng yang menjadi mainstream adalah pakaian adat Solo. Namun kalau bertelanjang dada kan tidak mungkin, saya juga tertarik pakaian adat Blora,” katanya di Semarang kemarin.
Menurut Ganjar, kebijakan itu akan diterapkan sebagai upaya untuk melestarikan pakaian adat Jateng sehingga bisa ditiru oleh masyarakat. Sebelumnya, melalui Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah Nomor 430/9525 tertanggal 7 Oktober 2014 tentang Penggunaan Bahasa Jawa untuk komunikasi lisan, gubernur juga memerintahkan menggunakan bahasa Jawa di jajaran birokrasinya, baik untuk komunikasi formal maupun nonformal.
Ganjar mengklaim, kebijakan berbahasa Jawa setiap Kamis berjalan sukses. Bukan hanya jajarannya yang telah menjalankan hal itu, melainkan juga di pemerintah kabupaten/kota. “Kamis (5/2) kemarin, saya mengajar di Blora menggunakan bahasa Jawa. Ternyata para siswa sangat antusias,” terangnya.
Sementara itu, anggota komisi A DPRD Jateng Sriyanto Saputro mengaku khawatir dengan kebijakan penggunaan pakaian adat untuk para PNS ini, terutama perempuan. “Karena pakaian adat Jawa yang untuk perempuan itu ribet kalau dipakai kerja,” kata dia. Menurut politikus Gerindra ini, kebijakan itu memang boleh diujicobakan, tetapi diharapkan itu tidak dipaksakan.
Pertimbangannya, pakaian adat perempuan berupa kebaya, selain harganya mahal, penggunaannya juga sulit sehingga tidak efisien kalau digunakan bekerja. “Belum lagi kalau naik motor, jangan samakan dengan pakaian adat Jakarta yang hanya sarung diselempangkan,” imbuhnya.
Sriyanto mengapresiasi gubernur yang telah mengeluarkan kebijakan untuk melestarikan kebudayaan sebagaimana penggunaan bahasa Jawa setiap Kamis. Namun, kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan itu perlu dievaluasi agar tidak latah. “Kami apresiasi, tapi perlu dievaluasi. Kalau ternyata banyak keluhan, ya tidak perlu dipaksakan. Apalagi, saat ini dituntut melakukan efisiensi dan kerja cepat,” imbuhnya.
Amin fauzi
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan, pemakaian busana Jawa itu akan diujicobakan satu bulan sekali. “Saya masih memikirkan kira-kira pakaian adat mana yang akan dipakai. Kalau di Jateng yang menjadi mainstream adalah pakaian adat Solo. Namun kalau bertelanjang dada kan tidak mungkin, saya juga tertarik pakaian adat Blora,” katanya di Semarang kemarin.
Menurut Ganjar, kebijakan itu akan diterapkan sebagai upaya untuk melestarikan pakaian adat Jateng sehingga bisa ditiru oleh masyarakat. Sebelumnya, melalui Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah Nomor 430/9525 tertanggal 7 Oktober 2014 tentang Penggunaan Bahasa Jawa untuk komunikasi lisan, gubernur juga memerintahkan menggunakan bahasa Jawa di jajaran birokrasinya, baik untuk komunikasi formal maupun nonformal.
Ganjar mengklaim, kebijakan berbahasa Jawa setiap Kamis berjalan sukses. Bukan hanya jajarannya yang telah menjalankan hal itu, melainkan juga di pemerintah kabupaten/kota. “Kamis (5/2) kemarin, saya mengajar di Blora menggunakan bahasa Jawa. Ternyata para siswa sangat antusias,” terangnya.
Sementara itu, anggota komisi A DPRD Jateng Sriyanto Saputro mengaku khawatir dengan kebijakan penggunaan pakaian adat untuk para PNS ini, terutama perempuan. “Karena pakaian adat Jawa yang untuk perempuan itu ribet kalau dipakai kerja,” kata dia. Menurut politikus Gerindra ini, kebijakan itu memang boleh diujicobakan, tetapi diharapkan itu tidak dipaksakan.
Pertimbangannya, pakaian adat perempuan berupa kebaya, selain harganya mahal, penggunaannya juga sulit sehingga tidak efisien kalau digunakan bekerja. “Belum lagi kalau naik motor, jangan samakan dengan pakaian adat Jakarta yang hanya sarung diselempangkan,” imbuhnya.
Sriyanto mengapresiasi gubernur yang telah mengeluarkan kebijakan untuk melestarikan kebudayaan sebagaimana penggunaan bahasa Jawa setiap Kamis. Namun, kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan itu perlu dievaluasi agar tidak latah. “Kami apresiasi, tapi perlu dievaluasi. Kalau ternyata banyak keluhan, ya tidak perlu dipaksakan. Apalagi, saat ini dituntut melakukan efisiensi dan kerja cepat,” imbuhnya.
Amin fauzi
(bbg)