Presiden Menunggu Godot
A
A
A
LEXUS putih B 17 GRD melaju kencang di jalanan perumahan Sentul City dari arah Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Di kiri dan kanannya, mengawal dua motor besar Polisi Militer. Jalan yang licin dan hujan deras, Kamis siang pekan lalu, itu tak membuat rombongan kecil itu memperlambat lajunya. Mobil tambun itu bergegas menuju Istana Bogor.
Sekitar pukul dua siang, mobil pun merapat di Istana. Empunya mobil itu, Prabowo Subianto, memenuhi undangan Presiden Joko Widodo. Inilah pertemuan kedua kalinya dua rival dalam Pemilihan Umum paling sengit dalam sejarah demokrasi Indonesia. Yang pertama, Jokowi, ketika itu masih berstatus Presiden Terpilih, menemui Prabowo di kediaman mendiang Soemitro Djojohadikusomo, ayah Prabowo, di Kebayoran Baru, tiga hari sebelum hari pelantikan Presiden.
Tak seperti pertemuan pertama yang membuat lega kalangan internal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan -partai utama pengusung Jokowi- pertemuan kali ini malah memantik keresahan. Pasalnya, Prabowo, patron koalisi ‘oposisi’ mendadak mengobral dukungan terhadap apa pun keputusan Presiden. Padahal, saat itu, kabar santer beredar Jokowi akan membatalkan pelantikan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
Budi adalah calon idaman Megawati Sukarnoputri, Ketua Umum PDIP. Selama ini, PDIP dan partai lain anggota koalisi terus-terusan nyaring menyuarakan tekanan kepada Jokowi agar melantik Budi meski eks ajudan Megawati itu memiliki noktah merah status tersangka dari Komisi Pemberantasan Korupsi.
Jagad politik pun terbalik-balik. Para pendukung utama Jokowi tiba-tiba saja menjadi musuh utama Jokowi sementara koalisi oposisi pimpinan Prabowo justru siap ‘pasang badan’ untuk Jokowi. “Pernyataan Prabowo adalah simbol dukungan politik,” kata Heri Budianto, pengamat komunikasi politik dari Political Communication Institute.
Hari itu, gelar “Pendekar Silat Utama” yang dipersembahkan Prabowo untuk Jokowi menjadi sempurna dengan amunisi politik dukungan koalisi Prabowo. Sang Presiden pun kerap mengumbar senyum.
Sebelumnya, amunisi dukungan publik setidaknya sudah dia genggam ketika mengundang delapan tokoh -sebagian besar warga negara senior- ke Istana. Mereka didaulat menjadi tim konsultasi yang bertugas memberi saran kepada Jokowi dalam menghadapi kisruh politik akibat aksi serangan balasan Kepolisian usai Budi Gunawan jadi pesakitan.
Tim beranggotakan eks Wakapolri Komisaris Jenderal Oegroseno, Ketua Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu Jimly Asshiddiqie, pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar, pengamat hukum internasional Hikmahanto Juwana, mantan Wakil Ketua KPK Erri Riyana Hardjapamekas, mantan Ketua KPK Tumpak Hatorangan, mantan Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, dan sosiolog Imam Budidarmawan Prasodjo. Satu nama lagi, eks Kapolri Jenderal Sutanto, nyaris tak pernah terlihat.
Inisiatif Jokowi mengundang tokoh-tokoh tersebut sempat membuat blingsatan pendukung setia Budi Gunawan di Trunojoyo —sebutan untuk markas besar Kepolisian— dan para bos partai pendukung Jokowi sendiri. Tak heran, politikus PDIP sekelas Pramono Anung yang kerap ‘santun’ sampai harus berkomentar pedas terhadap langkah pembentukan tim. “Sebagai Kepala Negara, semestinya Presiden mendengar masukan dari lembaga resmi negara,” katanya, Kamis pekan lalu.
Menanti Sidang Praperadilan
Sumber SINDO Weekly di Kepolisian menyebut pembentukan tim adalah manuver Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto. Begitu menyadari manuver Andi, masih kata sumber itu, die hard Budi Gunawan di Kepolisian segera ‘menyelundupkan’ saran tertulis kepada pejabat berpengaruh di Istana agar tim tak mendapatkan legitimasi lewat keputusan presiden. Padahal, kabarnya, keppres sudah disiapkan dan menunggu coretan tanda tangan Jokowi.
Meski tanpa keppres, tim tampaknya cukup efektif menjadi tameng Jokowi dalam meredam kemarahan kelompok pendukung KPK. Dalam suatu kesempatan di Yogyakarta, Minggu pekan kemarin, Ahmad Syafii, misalnya, membela Jokowi yang dianggap sebagian kalangan takut dalam mengambil keputusan. “Presiden bukan pengecut. Presiden sedang mencari momentum yang tepat,” katanya. “Jangan meremehkan kecerdasan Presiden,” timpal Hikmahanto dalam kesempatan yang sama.
Pertanyaan, kapankah momentum yang tepat itu datang ketika kini amunisi politik dan sosial sudah Jokowi kantongi? Anggota Komisi Kepolisian Nasional, Adrianus Meliala, mengatakan Jokowi masih menanti satu momentum lagi: sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sidang, yang dipicu oleh gugatan Budi Gunawan terhadap statusnya, bisa menjadi amunisi pamungkas Jokowi untuk mengakhiri kemelut ini. "Presiden masih ingin melakukan pendekatan hukum,” katanya.
Baca selengkapnya Sindo Weekly Main Review Edisi 49 yang terbit pada hari ini 5 Februari 2015.
Sekitar pukul dua siang, mobil pun merapat di Istana. Empunya mobil itu, Prabowo Subianto, memenuhi undangan Presiden Joko Widodo. Inilah pertemuan kedua kalinya dua rival dalam Pemilihan Umum paling sengit dalam sejarah demokrasi Indonesia. Yang pertama, Jokowi, ketika itu masih berstatus Presiden Terpilih, menemui Prabowo di kediaman mendiang Soemitro Djojohadikusomo, ayah Prabowo, di Kebayoran Baru, tiga hari sebelum hari pelantikan Presiden.
Tak seperti pertemuan pertama yang membuat lega kalangan internal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan -partai utama pengusung Jokowi- pertemuan kali ini malah memantik keresahan. Pasalnya, Prabowo, patron koalisi ‘oposisi’ mendadak mengobral dukungan terhadap apa pun keputusan Presiden. Padahal, saat itu, kabar santer beredar Jokowi akan membatalkan pelantikan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
Budi adalah calon idaman Megawati Sukarnoputri, Ketua Umum PDIP. Selama ini, PDIP dan partai lain anggota koalisi terus-terusan nyaring menyuarakan tekanan kepada Jokowi agar melantik Budi meski eks ajudan Megawati itu memiliki noktah merah status tersangka dari Komisi Pemberantasan Korupsi.
Jagad politik pun terbalik-balik. Para pendukung utama Jokowi tiba-tiba saja menjadi musuh utama Jokowi sementara koalisi oposisi pimpinan Prabowo justru siap ‘pasang badan’ untuk Jokowi. “Pernyataan Prabowo adalah simbol dukungan politik,” kata Heri Budianto, pengamat komunikasi politik dari Political Communication Institute.
Hari itu, gelar “Pendekar Silat Utama” yang dipersembahkan Prabowo untuk Jokowi menjadi sempurna dengan amunisi politik dukungan koalisi Prabowo. Sang Presiden pun kerap mengumbar senyum.
Sebelumnya, amunisi dukungan publik setidaknya sudah dia genggam ketika mengundang delapan tokoh -sebagian besar warga negara senior- ke Istana. Mereka didaulat menjadi tim konsultasi yang bertugas memberi saran kepada Jokowi dalam menghadapi kisruh politik akibat aksi serangan balasan Kepolisian usai Budi Gunawan jadi pesakitan.
Tim beranggotakan eks Wakapolri Komisaris Jenderal Oegroseno, Ketua Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu Jimly Asshiddiqie, pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar, pengamat hukum internasional Hikmahanto Juwana, mantan Wakil Ketua KPK Erri Riyana Hardjapamekas, mantan Ketua KPK Tumpak Hatorangan, mantan Ketua PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, dan sosiolog Imam Budidarmawan Prasodjo. Satu nama lagi, eks Kapolri Jenderal Sutanto, nyaris tak pernah terlihat.
Inisiatif Jokowi mengundang tokoh-tokoh tersebut sempat membuat blingsatan pendukung setia Budi Gunawan di Trunojoyo —sebutan untuk markas besar Kepolisian— dan para bos partai pendukung Jokowi sendiri. Tak heran, politikus PDIP sekelas Pramono Anung yang kerap ‘santun’ sampai harus berkomentar pedas terhadap langkah pembentukan tim. “Sebagai Kepala Negara, semestinya Presiden mendengar masukan dari lembaga resmi negara,” katanya, Kamis pekan lalu.
Menanti Sidang Praperadilan
Sumber SINDO Weekly di Kepolisian menyebut pembentukan tim adalah manuver Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto. Begitu menyadari manuver Andi, masih kata sumber itu, die hard Budi Gunawan di Kepolisian segera ‘menyelundupkan’ saran tertulis kepada pejabat berpengaruh di Istana agar tim tak mendapatkan legitimasi lewat keputusan presiden. Padahal, kabarnya, keppres sudah disiapkan dan menunggu coretan tanda tangan Jokowi.
Meski tanpa keppres, tim tampaknya cukup efektif menjadi tameng Jokowi dalam meredam kemarahan kelompok pendukung KPK. Dalam suatu kesempatan di Yogyakarta, Minggu pekan kemarin, Ahmad Syafii, misalnya, membela Jokowi yang dianggap sebagian kalangan takut dalam mengambil keputusan. “Presiden bukan pengecut. Presiden sedang mencari momentum yang tepat,” katanya. “Jangan meremehkan kecerdasan Presiden,” timpal Hikmahanto dalam kesempatan yang sama.
Pertanyaan, kapankah momentum yang tepat itu datang ketika kini amunisi politik dan sosial sudah Jokowi kantongi? Anggota Komisi Kepolisian Nasional, Adrianus Meliala, mengatakan Jokowi masih menanti satu momentum lagi: sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sidang, yang dipicu oleh gugatan Budi Gunawan terhadap statusnya, bisa menjadi amunisi pamungkas Jokowi untuk mengakhiri kemelut ini. "Presiden masih ingin melakukan pendekatan hukum,” katanya.
Baca selengkapnya Sindo Weekly Main Review Edisi 49 yang terbit pada hari ini 5 Februari 2015.
(hyk)