PDIP Tepis Tudingan Jokowi Boneka
A
A
A
JAKARTA - PDI Perjuangan (PDIP) menegaskan, kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak mudah diintervensi oleh partai pendukungnya. Bahkan, dalam beberapa hal, Jokowi sering bertentangan dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Perbedaan pandangan Jokowi dengan Megawati ini diungkapkan politikus senior PDIP Pramono Anung. Setidaknya ada tiga momentum di mana Jokowi dan Megawati terlibat perbedaan.
Pertama, saat pembentukan Rumah Transisi oleh pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) sebelum pelantikan. Pramono mengatakan saat itu Megawati menentang gagasan tersebut lantaran menilai tak sesuai dengan konstitusi. Kedua, saat penyusunan kabinet di mana ada beberapa nama menteri yang tidak sesuai dengan selera Megawati, namun Jokowi memutuskan tetap melantik. Ketiga, perbedaan pandangan dalam menyikapi beberapa rancangan undang-undang (RUU).
“Beberapa RUU, seperti RUU Keamanan Nasional yang jelas ditolak secara terbuka PDIP, namun Jokowi tetap ingin RUU itu dibahas di DPR,” kata Pramono dalam diskusi bertema “Benarkah Jokowi Boneka Megawati?” di Jakarta Pusat kemarin. Pramono mengungkapkan fakta tersebut untuk menepis tudingan bahwa Jokowi selama ini merupakan boneka Megawati. Menurutnya, Megawati tidak bisa begitu saja memaksakan kehendaknya kepada Jokowi. Pramono menduga ada kelompok tertentu yang sengaja ingin memisahkan Jokowi dengan presiden kelima RI tersebut.
Tudingan bahwa Jokowi memang berada dalam kendali Megawati terlihat di balik pemilihan calon kapolri. Diduga, Megawati menginginkan Jokowi melantik Komjen Pol Budi Gunawan meskipun kini berstatus tersangka dugaan suap dan pemberian hadiah di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, bagi Pramono, tidak adil jika orang menempatkan PDIP dan Megawati sebagai tertuduh dalam isu pelantikan Budi Gunawan.
“Secanggih apa pun upaya itu, tidak akan mampu memisahkan hubungan Jokowi dan Megawati yang sudah terbangun sejak lama itu,” ujar mantan wakil ketua DPR ini. Megawati dinilai Pramono mampu memisahkan antara hubungan personal dan hubungan kenegaraan.
“Dalam hubungan personal, Megawati selalu memanggil Jokowi dengan sebutan, Dik. Dalam konteks kenegaraan, Megawati memanggil Jokowi dengan sebutan Bapak Presiden,” ujarnya.
Di sisi lain, pertemuan Jokowi dengan Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto beberapa waktu lalu dinilai sebagian kalangan sebagai indikasi kekecewaan mantan gubernur DKI Jakarta itu terhadap intervensi berlebihan partai pendukungnya, terutama dalam hal pelantikan Budi Gunawan sebagai kapolri.
Terpisah, Ketua DPP Partai Gerindra FX Arief Poyuono mengatakan, dalam pertemuan itu, Jokowi menyampaikan keluhannya terkait tekanan dari partai pendukung dalam menentukan berbagai kebijakan, terutama soal pelantikan kapolri.
“Dia (Jokowi) mengakui tak bisa memenuhi janji-janjinya terhadap rakyat karena ada intervensi besar- besaran,” katanya kemarin. Arief menegaskan, jika Jokowi ditekan terus-menerus oleh partai pendukungnya, Gerindra siap memberikan dukungan, bahkan siap membuka pintu bagi Jokowi untuk bergabung ke Partai Gerindra.
“Kita beri kehormatan bagi presiden untuk menjadi pengurus Partai Gerindra. Bukan sebagai petugas partai seperti di partainya. Malah memungkinkan, dia bisa didukung menjadi ketua umum Gerindra,” katanya. Sementara itu, berbagai pernyataan keras beberapa kader PDIP tentang Jokowi dinilai bisa membuat jarak Jokowi dengan PDIP kian renggang. Direktur Institut Ekonomi Politik Soekarno-Hatta, M Hatta Taliwang, menilai pernyataan oknum kader PDIP itu mengindikasikan kepercayaan kader terhadap Jokowi sedang goyah.
“Itu menunjukkan kader sedang galau dan dilanda keraguan terhadap Jokowi,” ungkapnya. Wajar jika Jokowi lantas melakukan pendekatan dengan kekuatan politik lain. Hatta menilai ada keinginan Jokowi untuk mandiri dan bebas dari tekanan partai pendukungnya. “Tapi kalau Jokowi ingin mandiri dan lepas dari partai pendukung, harusnya dengan cara yang halus, tetap menjalin hubungan baik dengan PDIP. Jangan kasar nanti bisa terpelanting,” katanya.
Di lain pihak, saat menjadi pembicara pada diskusi bertema “Benarkah Jokowi Boneka Megawati?”, mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli mengatakan bahwa beberapa kebijakan ekonomi seperti kenaikan tarif dasar listrik dan pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) jelas-jelas memukul masyarakat tingkat bawah. Rizal menuding menteri bidang ekonomi pada kabinet Jokowi hanya bisa menaikkan harga tanpa bisa memberikan solusi penurunan harga kebutuhan pokok.
“Mereka bukan memecah-kan masalah, malah menciptakan masalah baru. Kalau cuma mau naikkan harga enggak usah sekolah tinggi-tinggi pun bisa,” ujarnya. Rizal Ramli juga meminta Jokowi menghentikan konflik KPK-Polri yang diibaratkannya sebagai pertunjukan ludruk yang tidak lucu. Penyelesaian konflik kedua lembaga itu seharusnya dilakukan dengan pendekatan politik, bukan hukum.
“Penyelesaian secara hukum hanya akan membuat negeri ini semakin runyam. Akan semakin banyak pelaku hukum yang tiba-tiba menjadi pemain ludruk,” katanya.
Khoirul muzakki
Perbedaan pandangan Jokowi dengan Megawati ini diungkapkan politikus senior PDIP Pramono Anung. Setidaknya ada tiga momentum di mana Jokowi dan Megawati terlibat perbedaan.
Pertama, saat pembentukan Rumah Transisi oleh pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) sebelum pelantikan. Pramono mengatakan saat itu Megawati menentang gagasan tersebut lantaran menilai tak sesuai dengan konstitusi. Kedua, saat penyusunan kabinet di mana ada beberapa nama menteri yang tidak sesuai dengan selera Megawati, namun Jokowi memutuskan tetap melantik. Ketiga, perbedaan pandangan dalam menyikapi beberapa rancangan undang-undang (RUU).
“Beberapa RUU, seperti RUU Keamanan Nasional yang jelas ditolak secara terbuka PDIP, namun Jokowi tetap ingin RUU itu dibahas di DPR,” kata Pramono dalam diskusi bertema “Benarkah Jokowi Boneka Megawati?” di Jakarta Pusat kemarin. Pramono mengungkapkan fakta tersebut untuk menepis tudingan bahwa Jokowi selama ini merupakan boneka Megawati. Menurutnya, Megawati tidak bisa begitu saja memaksakan kehendaknya kepada Jokowi. Pramono menduga ada kelompok tertentu yang sengaja ingin memisahkan Jokowi dengan presiden kelima RI tersebut.
Tudingan bahwa Jokowi memang berada dalam kendali Megawati terlihat di balik pemilihan calon kapolri. Diduga, Megawati menginginkan Jokowi melantik Komjen Pol Budi Gunawan meskipun kini berstatus tersangka dugaan suap dan pemberian hadiah di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, bagi Pramono, tidak adil jika orang menempatkan PDIP dan Megawati sebagai tertuduh dalam isu pelantikan Budi Gunawan.
“Secanggih apa pun upaya itu, tidak akan mampu memisahkan hubungan Jokowi dan Megawati yang sudah terbangun sejak lama itu,” ujar mantan wakil ketua DPR ini. Megawati dinilai Pramono mampu memisahkan antara hubungan personal dan hubungan kenegaraan.
“Dalam hubungan personal, Megawati selalu memanggil Jokowi dengan sebutan, Dik. Dalam konteks kenegaraan, Megawati memanggil Jokowi dengan sebutan Bapak Presiden,” ujarnya.
Di sisi lain, pertemuan Jokowi dengan Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto beberapa waktu lalu dinilai sebagian kalangan sebagai indikasi kekecewaan mantan gubernur DKI Jakarta itu terhadap intervensi berlebihan partai pendukungnya, terutama dalam hal pelantikan Budi Gunawan sebagai kapolri.
Terpisah, Ketua DPP Partai Gerindra FX Arief Poyuono mengatakan, dalam pertemuan itu, Jokowi menyampaikan keluhannya terkait tekanan dari partai pendukung dalam menentukan berbagai kebijakan, terutama soal pelantikan kapolri.
“Dia (Jokowi) mengakui tak bisa memenuhi janji-janjinya terhadap rakyat karena ada intervensi besar- besaran,” katanya kemarin. Arief menegaskan, jika Jokowi ditekan terus-menerus oleh partai pendukungnya, Gerindra siap memberikan dukungan, bahkan siap membuka pintu bagi Jokowi untuk bergabung ke Partai Gerindra.
“Kita beri kehormatan bagi presiden untuk menjadi pengurus Partai Gerindra. Bukan sebagai petugas partai seperti di partainya. Malah memungkinkan, dia bisa didukung menjadi ketua umum Gerindra,” katanya. Sementara itu, berbagai pernyataan keras beberapa kader PDIP tentang Jokowi dinilai bisa membuat jarak Jokowi dengan PDIP kian renggang. Direktur Institut Ekonomi Politik Soekarno-Hatta, M Hatta Taliwang, menilai pernyataan oknum kader PDIP itu mengindikasikan kepercayaan kader terhadap Jokowi sedang goyah.
“Itu menunjukkan kader sedang galau dan dilanda keraguan terhadap Jokowi,” ungkapnya. Wajar jika Jokowi lantas melakukan pendekatan dengan kekuatan politik lain. Hatta menilai ada keinginan Jokowi untuk mandiri dan bebas dari tekanan partai pendukungnya. “Tapi kalau Jokowi ingin mandiri dan lepas dari partai pendukung, harusnya dengan cara yang halus, tetap menjalin hubungan baik dengan PDIP. Jangan kasar nanti bisa terpelanting,” katanya.
Di lain pihak, saat menjadi pembicara pada diskusi bertema “Benarkah Jokowi Boneka Megawati?”, mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli mengatakan bahwa beberapa kebijakan ekonomi seperti kenaikan tarif dasar listrik dan pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) jelas-jelas memukul masyarakat tingkat bawah. Rizal menuding menteri bidang ekonomi pada kabinet Jokowi hanya bisa menaikkan harga tanpa bisa memberikan solusi penurunan harga kebutuhan pokok.
“Mereka bukan memecah-kan masalah, malah menciptakan masalah baru. Kalau cuma mau naikkan harga enggak usah sekolah tinggi-tinggi pun bisa,” ujarnya. Rizal Ramli juga meminta Jokowi menghentikan konflik KPK-Polri yang diibaratkannya sebagai pertunjukan ludruk yang tidak lucu. Penyelesaian konflik kedua lembaga itu seharusnya dilakukan dengan pendekatan politik, bukan hukum.
“Penyelesaian secara hukum hanya akan membuat negeri ini semakin runyam. Akan semakin banyak pelaku hukum yang tiba-tiba menjadi pemain ludruk,” katanya.
Khoirul muzakki
(ars)