Yaman di Ambang Perpecahan

Senin, 02 Februari 2015 - 11:24 WIB
Yaman di Ambang Perpecahan
Yaman di Ambang Perpecahan
A A A
Mundurnya Presiden Yaman Abd Rabbuh Mansour Hadi beserta jajaran kabinetnya serta Perdana Menteri Khalid Bahah pada 22 Januari 2015 lalu membuat perpolitikan Yaman berkecamuk. Kosongnya kursi presiden dan pemerintahan membuat Yaman di ambang kehancuran dan menjadi negara mini yang terpecah.

Pasca pengunduran diri Hadi, tidak hanya kondisi politik yang berantakan, perekonomian Yaman juga tidak stabil. Kekosongan kursi pemerintahan membuat Yaman rawan dikuasai pihak pemberontak, Houthi. Yaman yang merupakan negara termiskin di wilayah Arab saat ini juga terancam mengalami kemandekan pertumbuhan ekonomi.

Hal ini tak lain karena pengaruh pemberontak Houthi yang menentang keras campur tangan atau bantuan asing. Houthi yang sudah menguasai istana kepresidenan dan kota sentral Yaman, Sana’a, berpotensi menimbulkan konflik politik dan kekerasan di Yaman. Sikapnya yang keras dan ingin menjadikan Yaman sebagai negara Syiah akan mendatangkan konflik baru.

Yaman adalah negara yang berisi banyak sekte Islam. Sekte-sekte itu, sama halnya dengan Houthi, menuntut kebebasan lantaran selama menyatu dengan Yaman, mereka merasa diperlakukan tidak adil. Inilah yang membuat Yaman berpotensi terpecah belah berdasarkan sekte-sekte. Kehadiran sekte-sekte tersebut kemungkinan menimbulkan perang baru. Pasalnya, semua sekte kemungkinan besar akan berusaha merebut wilayah Yaman yang paling kaya, yakni Provinsi Marib.

Daerah ini merupakan penghasil minyak dan gas terbesar diYaman serta menjadi sumber pendapatan utama Yaman. Dengan ekspor Yaman yang begitu kecil dibandingkan dengan negara tetangga yang kaya energi, pendapatan sekecil apa pun dari Provinsi Marib akan sangat berarti. Dan melihat peta kekuatan saat ini, Houthi lah yang paling berpeluang menguasai wilayah tersebut.

Apalagi, sebelumnya Houthi sudah berhasil menguasai pangkalan militer Yaman yang berjarak 90 mil dari Provinsi Marib. Houthi kini menjadi satu-satunya kelompok pemberontak yang memiliki persenjataan terlengkap dan wilayah kekuasaan paling luas. Sebenarnya Yaman tidaklah kehilangan seluruh pemerintahannya.

Sebab berdasarkan hukum Yaman, jika presiden mengundurkan diri, maka wakilnya bisa menggantikan. Wakil Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh pun berhak membuat pemerintahan baru. Sayangnya, Saleh diyakini menjadi sekutu Houthi dan hampir pasti menyerahkan kekuasaannya yang cukup besar untuk Houthi. Karena itu, kendati kini Saleh menjadi presiden baru Yaman, sejumlah laporan menunjukkan bahwa pihak berwenang Yaman yang berpusat di Aden, wilayah selatan Yaman, tidak lagi tunduk pada otoritas pemerintah pusat.

Tapi ini bukan tanda mereka menginginkan Hadi kembali naik menjadi presiden. Aden justru mengharapkan kemerdekaan penuh dan menikmati wilayahnya sendiri seperti sebelum 1990. Kala itu Aden merupakan daerah mandiri, kemudian dicaplok Yaman. Banyak sekte di kawasan lain juga dikabarkan menolak pemerintahan Houthi. Jika Houthi benar-benar mengambil alih kekuasaan, ekonomi Yaman harus siap menuju kehancuran.

Sebab, runtuhnya pemerintahan Hadi memicu negara- negara tetangga untuk menghentikan bantuan. Arab Saudi misalnya, negara yang menjadi donor utama perekonomian Yaman ini sudah mendeklarasikan diri untuk menarik bantuannya jika Houthi berkuasa. Serangan Houthi ke beberapa daerah muslim Sunni juga dikhawatirkan menyulut gerakan perang Sunni dan menciptakan konflik sektarian. Jelas, konflik inilah yang tidak diinginkan Saudi.

Mereka menilai naiknya pemerintahan Houthi yang didominasi Syiah menjadi ancaman nyata. Hilangnya bantuan dari Saudi jelas sangat merugikan Yaman. Berdasarkan catatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dua pertiga penduduk Yaman membutuhkan bantuan kemanusiaan.

Selain kehilangan bantuan dari Arab Saudi, naiknya Houthi sebagai pemimpin juga memicu Yaman bermasalah dengan dunia Barat, khususnya Amerika Serikat (AS). Arab Saudi menuduh Iran berada di balik penggulingan Hadi. Saudi berpendapat, Houthi selama ini mendapat bantuan politik, militer dan ekonomi dari Teheran. Namun, Houthi menyangkal seluruh pemberontakannya didalangi Iran.

Mereka bertindak atas dasar keinginan bersama yang bertujuan untuk memberantas korupsi pemerintahan Hadi. Dunia internasional pun tidak lekas percaya pada Houthi. AS memperkirakan, Houthiakankembalimendorongkeluarga Saleh memimpin Yaman. Saleh yang pada 2012 dipaksa mundur sebagai presiden Yaman karena kasus korupsi dikhawatirkan mengulangi hal sama. Naiknya Saleh menjadi presiden pun menjadi langkah mundur serta menimbulkan implikasi keamanan.

”Ini bukanlah perang antara Sunni, Syiah dan Yaman, melainkan krisis politik yang berujung pada resolusi politik,” kata Muhammad al- Basha, juru bicara kedutaan Yaman di Washington DC, dilansir Sputniknews. Transisi pemerintahan dan keamanan akan membawa kembali Yaman pada era korupsi dan penindasan rezim Saleh. Tidak hanya itu, dendam Saleh terhadap AS yang berperan dalam penggulingannya juga akan membuat AS kehilangan daya di Yaman.

Buktinya, sesaat setelah Hadi menyerahkan diri, Houthi lantas menyerang Kedutaan Besar AS. Kini Pemerintah AS sudah menyerukan seluruh warganya yang ada di Yaman untuk segera meninggalkan Yaman. Dengan berdirinya pemerintahan Saleh, maka perburuan AS terhadap Al-Qaeda pun terancam terhenti, mengingat Houthi tidak setuju dengan rencana AS menyerang kawasan Al- Qaeda yang terbukti banyak menimbulkan korban sipil.

Basha mengkhawatirkan mundurnya AS dari Yaman membuat Al-Qaeda semakin kuat dan semakin intens merekrut gerilyawan. Basha memperingatkan Yaman untuk lebih siap menghadapi perebutan kekuasaan dan perpecahan wilayah, khususnya di bagian Yaman Selatan. Basha mengaku sudah berdiskusi dengan perwakilan berbagai faksi di Yaman. “Tidak ada yang ingin memainkan senjata atau melakukan perlawanan terhadap antarfaksi. Mereka mutlak menginginkan resolusi politik,” tegas Basha.

Rini agustina
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0719 seconds (0.1#10.140)