DPR Gagal Bentuk Kode Etik
A
A
A
JAKARTA - DPR gagal menyepakati kode etik anggota Dewan yang diajukan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Sejumlah anggota Dewan tidak setuju atas adanya aturan pelarangan anggota terlibat dalam iklan, film, dan sinetron komersial.
Anggota Fraksi Partai Golkar Popong Otje Djunjunan mengatakan, kode etik DPR harus secara tegas melarang anggota Dewan terlibat dalam pekerjaan yang terkait dengan iklan dan film komersial tanpa kecuali.
“Agar tidak multitafsir dan fokus, ketika terpilih menjadi wakil rakyat tidak boleh main sinetron dan film lagi meski itu bersifat edukasi,” kata Popong saat menyampaikan interupsi di sidang paripurna DPR dengan agenda pengambilan keputusan Rancangan Peraturan Kode Etik DPR di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Kritik yang disampaikan Popong adalah terkait dengan bunyi Pasal 12 ayat (2) bahwa anggota dilarang terlibat dalam iklan, film, sinetron, dan/atau kegiatan seni lainnya yang bersifat komersial, khususnya yang merendahkan wibawa dan martabat sebagai anggota. Popong mengusulkan agar frase “khususnya yang merendahkan wibawa dan martabat sebagai anggota” dihapus saja karena bisa menimbulkan penafsiran yang ambigu.
Artinya nanti masih akan menjadi perdebatan mana yang masuk klasifikasi dilarang dan mana yang tidak. Berbeda dengan Popong, anggota Fraksi Partai Demokrat Ruhut Sitompul tidak ada alasan melarang anggota DPR main film atau iklan sepanjang itu dilakukan di luar jadwal dan waktu kerja kedewanan. Dia justru mempertanyakan kenapa profesi yang tidak ada konflik kepentingan itu justru dilarang.
“Aku enggak setujulah. Apabila pekerjaan sampingannya halal, kenapa dilarang? Yang perlu itu anggota DPR dilarang korupsi. Itu yang perlu,” kata Ruhut. Dia lantas mencontohkan dirinya yang meskipun pernah nyambi main film, tetapi kerjakerja kedewanannya tak pernah terganggu.
“Saya ada juga (main film), tapi kehadiran saya di DPR hampir 100%,” ucapnya. Selain soal larangan terlibat dalam film, iklan, dan sinetron, pasal lain yang masih diperdebatkan antara lain larangan bagi anggota Dewan membawa senjata api di lingkungan DPR. Larangan itu dipertanyakan apakah hanya dilarang membawa senjata api di lingkungan parlemen atau di tempat-tempat lain juga.
Kemudian aturan soal kehadiran yang dinilai tidak sesuai dengan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Juga aturan yang melarang tenaga ahli masuk dalam ruang rapat ketika anggota tidak hadir. Beberapa anggota DPR melakukan interupsi setelah Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Surahman Hidayat menyampaikan laporan mengenai rancangan kode etik tersebut.
Mereka pada umumnya meminta agar pengesahan ditunda karena beberapa pasal perlu ada perbaikan dan ada ruang bagi semua anggota Dewan, khususnya masing-masing fraksi mempelajarinya.
Rancangan kode etik DPR terdiri atas 7 bab dan 25 pasal. Kode etik tersebut mengatur norma yang wajib dipatuhi anggota Dewan meliputi kepentingan umum, integritas, hubungan mitra kerja, akuntabilitas, konflik kepentingan, rahasia, kedisiplinan, dan hubungan konstituen.
Selain itu diatur juga soal independensi, pekerjaan lain di luar tugas kedewanan, hubungan dengan wartawan, dengan staf, dan etika persidangan. Di dalam rancangan itu, MKD merumuskan tiga jenis pelanggaran, yakni pelanggaran ringan, sedang, dan berat. Adapun sanksi juga dibagi menjadi tiga, yaitu sanksi ringan, sedang, dan berat.
Atas berbagai masukan yang disampaikan anggota Dewan, Wakil Ketua DPR Fadli Zon selaku pimpinan sidang paripurna akhirnya menawarkan agar rancangan tersebut ditunda pengesahannya.
Rahmat sahid
Anggota Fraksi Partai Golkar Popong Otje Djunjunan mengatakan, kode etik DPR harus secara tegas melarang anggota Dewan terlibat dalam pekerjaan yang terkait dengan iklan dan film komersial tanpa kecuali.
“Agar tidak multitafsir dan fokus, ketika terpilih menjadi wakil rakyat tidak boleh main sinetron dan film lagi meski itu bersifat edukasi,” kata Popong saat menyampaikan interupsi di sidang paripurna DPR dengan agenda pengambilan keputusan Rancangan Peraturan Kode Etik DPR di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Kritik yang disampaikan Popong adalah terkait dengan bunyi Pasal 12 ayat (2) bahwa anggota dilarang terlibat dalam iklan, film, sinetron, dan/atau kegiatan seni lainnya yang bersifat komersial, khususnya yang merendahkan wibawa dan martabat sebagai anggota. Popong mengusulkan agar frase “khususnya yang merendahkan wibawa dan martabat sebagai anggota” dihapus saja karena bisa menimbulkan penafsiran yang ambigu.
Artinya nanti masih akan menjadi perdebatan mana yang masuk klasifikasi dilarang dan mana yang tidak. Berbeda dengan Popong, anggota Fraksi Partai Demokrat Ruhut Sitompul tidak ada alasan melarang anggota DPR main film atau iklan sepanjang itu dilakukan di luar jadwal dan waktu kerja kedewanan. Dia justru mempertanyakan kenapa profesi yang tidak ada konflik kepentingan itu justru dilarang.
“Aku enggak setujulah. Apabila pekerjaan sampingannya halal, kenapa dilarang? Yang perlu itu anggota DPR dilarang korupsi. Itu yang perlu,” kata Ruhut. Dia lantas mencontohkan dirinya yang meskipun pernah nyambi main film, tetapi kerjakerja kedewanannya tak pernah terganggu.
“Saya ada juga (main film), tapi kehadiran saya di DPR hampir 100%,” ucapnya. Selain soal larangan terlibat dalam film, iklan, dan sinetron, pasal lain yang masih diperdebatkan antara lain larangan bagi anggota Dewan membawa senjata api di lingkungan DPR. Larangan itu dipertanyakan apakah hanya dilarang membawa senjata api di lingkungan parlemen atau di tempat-tempat lain juga.
Kemudian aturan soal kehadiran yang dinilai tidak sesuai dengan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Juga aturan yang melarang tenaga ahli masuk dalam ruang rapat ketika anggota tidak hadir. Beberapa anggota DPR melakukan interupsi setelah Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Surahman Hidayat menyampaikan laporan mengenai rancangan kode etik tersebut.
Mereka pada umumnya meminta agar pengesahan ditunda karena beberapa pasal perlu ada perbaikan dan ada ruang bagi semua anggota Dewan, khususnya masing-masing fraksi mempelajarinya.
Rancangan kode etik DPR terdiri atas 7 bab dan 25 pasal. Kode etik tersebut mengatur norma yang wajib dipatuhi anggota Dewan meliputi kepentingan umum, integritas, hubungan mitra kerja, akuntabilitas, konflik kepentingan, rahasia, kedisiplinan, dan hubungan konstituen.
Selain itu diatur juga soal independensi, pekerjaan lain di luar tugas kedewanan, hubungan dengan wartawan, dengan staf, dan etika persidangan. Di dalam rancangan itu, MKD merumuskan tiga jenis pelanggaran, yakni pelanggaran ringan, sedang, dan berat. Adapun sanksi juga dibagi menjadi tiga, yaitu sanksi ringan, sedang, dan berat.
Atas berbagai masukan yang disampaikan anggota Dewan, Wakil Ketua DPR Fadli Zon selaku pimpinan sidang paripurna akhirnya menawarkan agar rancangan tersebut ditunda pengesahannya.
Rahmat sahid
(ars)