Sekolah Tidak Bisa Paksakan Kurikulum 2013
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tidak akan mengizinkan sekolah untuk memaksakan penerapan Kurikulum 2013.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan mengatakan, Kurikulum 2013 tetap akan dilaksanakan di 6.221 sekolah saja. Selebihnya tetap memakai kurikulum lama.
“Sekolah tidak bisa memaksa. Hanya 6.221 sekolah yang menu Dapodiknya sama dengan Kurikulum 2013, selebihnya memakai Dapodik 2006,” tandas Anies saat mengikut rapat kerja (raker) Kemendikbud dengan Komisi X DPR di Gedung DPR, Jakarta, kemarin. Dapodik adalah pendataan yang dilakukan untuk seluruh entitas data pokok pendidikan yang bersifat individual dan terintegrasi dari tiga entitas data pendidikan (satuan pendidikan, PTK, dan peserta didik) untuk jenjang dasar (SD, SDLB, SMP, SMPLB).
Pendataan ini merupakan pendataan individual baik dari satuan pendidikan, PTK, maupun siswa dalam satu aplikasi pendataan yang terintegrasi dan tidak berdiri sendiri-sendiri (parsial) dari sistem pendataan sebelumnya. Anies menjelaskan, Kemendikbud hanya memakai 6.221 sekolah itu karena untuk mengoreksi kurikulum yang ada. Jika sekolah memaksa memakai Kurikulum 2013, ujarnya, maka sama saja memakai barang yang belum diuji coba.
Evaluasinya sendiri, lanjut Anies, akan normatif sesuai dengan amanah Permendikbud No 59, yakni untuk menyesuaikan ide dan desain kurikulum, dokumen, dan implementasi kurikulum. Kesesuaian ini, terangnya, untuk memastikan apakah saat penerapannya sudah sesuai dan konsisten serta solid untuk diterapkan.
Dalam raker kemarin, Komisi X DPR mempertanyakan implementasi kurikulum yang mendua. Anggota Komisi X DPR Utut Adianto mengatakan, DPR belum mendapat penjelasan komprehensif mengenai evaluasi kurikulum.
Mulai peraturan perundangannya, evaluasi kurikulum sebelumnya, hingga bagaimana anggaran yang sudah tersusun. Utut juga mempertanyakan mengenai buku yang sudah dibeli, namun sekolah justru kembali memakai Kurikulum 2006. “Kenyataan di lapangan, dualisme kurikulum membingungkan. Pendidikan menjadi semakin bias,” tandasnya.
Karena itu, dia meminta Kemendikbud untuk menjelaskan secara komprehensif melalui berbagai sarana yang mudah diakses agar berbagai pihak mengerti, memahami, dan menerima alasan dihentikannya Kurikulum 2013. Dia juga meminta pemerintah tegas dan bijak atas sekolah yang meneruskan Kurikulum 2013 dan yang kembali ke Kurikulum 2006.
Termasuk menentukan kriteria apa saja yang harus dipenuhi oleh sekolah yang meneruskan dan tidak. Dari segi anggaran, dia meminta anggaran buku Kurikulum 2013 dalam APBN 2015 dihentikan dan direalokasikan. Anggota Komisi X DPR Asdi Narang mengatakan, di Kalimantan mayoritas semua sekolah bingung apakah mau melanjutkan Kurikulum 2013 atau Kurikulum 2006.
Dia mengaku setuju untuk mengevaluasi kurikulum, namun harus ada kebijakan yang tidak membuat bingung. Anggota Komisi X DPR Jefri Riwu Kore berpendapat, surat yang menyatakan sekolah berhak melaksanakan kurikulum itu jangan langsung ke sekolah karena akan menimbulkan keguncangan, apalagi pemberhentian kurikulum ini terjadi secara tiba-tiba.
“Banyak buku yang sudah dicetak tentu ini akan menyulitkan distribusinya. Lalu, pelatihan guru juga sudah banyak yang jalan,” paparnya. Anggota Komisi X DPR Laila Istiana mengusulkan agar Mendikbud mengakomodasi sekolah- sekolah di luar sasaran yang merasa mampu dan siap menjalankan Kurikulum 2013.
Berdasarkan hasil kunjungan kerja, tidak sedikit sekolah-sekolah di daerah yang cocok dengan pola pengajaran Kurikulum 2013. Menurut pendapat sejumlah guru dan murid di sekolah tersebut, pola belajar-mengajar di Kurikulum 2013 memacu mereka untuk aktif menggali ilmu.
“Kurikulum 2013 dihentikan sebagian ini jadi masalah di daerah, ada sekolah yang cocok diterapkan di sekolah tersebut meskipun baru satu semester,” ungkapnya.
Neneng zubaidah
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan mengatakan, Kurikulum 2013 tetap akan dilaksanakan di 6.221 sekolah saja. Selebihnya tetap memakai kurikulum lama.
“Sekolah tidak bisa memaksa. Hanya 6.221 sekolah yang menu Dapodiknya sama dengan Kurikulum 2013, selebihnya memakai Dapodik 2006,” tandas Anies saat mengikut rapat kerja (raker) Kemendikbud dengan Komisi X DPR di Gedung DPR, Jakarta, kemarin. Dapodik adalah pendataan yang dilakukan untuk seluruh entitas data pokok pendidikan yang bersifat individual dan terintegrasi dari tiga entitas data pendidikan (satuan pendidikan, PTK, dan peserta didik) untuk jenjang dasar (SD, SDLB, SMP, SMPLB).
Pendataan ini merupakan pendataan individual baik dari satuan pendidikan, PTK, maupun siswa dalam satu aplikasi pendataan yang terintegrasi dan tidak berdiri sendiri-sendiri (parsial) dari sistem pendataan sebelumnya. Anies menjelaskan, Kemendikbud hanya memakai 6.221 sekolah itu karena untuk mengoreksi kurikulum yang ada. Jika sekolah memaksa memakai Kurikulum 2013, ujarnya, maka sama saja memakai barang yang belum diuji coba.
Evaluasinya sendiri, lanjut Anies, akan normatif sesuai dengan amanah Permendikbud No 59, yakni untuk menyesuaikan ide dan desain kurikulum, dokumen, dan implementasi kurikulum. Kesesuaian ini, terangnya, untuk memastikan apakah saat penerapannya sudah sesuai dan konsisten serta solid untuk diterapkan.
Dalam raker kemarin, Komisi X DPR mempertanyakan implementasi kurikulum yang mendua. Anggota Komisi X DPR Utut Adianto mengatakan, DPR belum mendapat penjelasan komprehensif mengenai evaluasi kurikulum.
Mulai peraturan perundangannya, evaluasi kurikulum sebelumnya, hingga bagaimana anggaran yang sudah tersusun. Utut juga mempertanyakan mengenai buku yang sudah dibeli, namun sekolah justru kembali memakai Kurikulum 2006. “Kenyataan di lapangan, dualisme kurikulum membingungkan. Pendidikan menjadi semakin bias,” tandasnya.
Karena itu, dia meminta Kemendikbud untuk menjelaskan secara komprehensif melalui berbagai sarana yang mudah diakses agar berbagai pihak mengerti, memahami, dan menerima alasan dihentikannya Kurikulum 2013. Dia juga meminta pemerintah tegas dan bijak atas sekolah yang meneruskan Kurikulum 2013 dan yang kembali ke Kurikulum 2006.
Termasuk menentukan kriteria apa saja yang harus dipenuhi oleh sekolah yang meneruskan dan tidak. Dari segi anggaran, dia meminta anggaran buku Kurikulum 2013 dalam APBN 2015 dihentikan dan direalokasikan. Anggota Komisi X DPR Asdi Narang mengatakan, di Kalimantan mayoritas semua sekolah bingung apakah mau melanjutkan Kurikulum 2013 atau Kurikulum 2006.
Dia mengaku setuju untuk mengevaluasi kurikulum, namun harus ada kebijakan yang tidak membuat bingung. Anggota Komisi X DPR Jefri Riwu Kore berpendapat, surat yang menyatakan sekolah berhak melaksanakan kurikulum itu jangan langsung ke sekolah karena akan menimbulkan keguncangan, apalagi pemberhentian kurikulum ini terjadi secara tiba-tiba.
“Banyak buku yang sudah dicetak tentu ini akan menyulitkan distribusinya. Lalu, pelatihan guru juga sudah banyak yang jalan,” paparnya. Anggota Komisi X DPR Laila Istiana mengusulkan agar Mendikbud mengakomodasi sekolah- sekolah di luar sasaran yang merasa mampu dan siap menjalankan Kurikulum 2013.
Berdasarkan hasil kunjungan kerja, tidak sedikit sekolah-sekolah di daerah yang cocok dengan pola pengajaran Kurikulum 2013. Menurut pendapat sejumlah guru dan murid di sekolah tersebut, pola belajar-mengajar di Kurikulum 2013 memacu mereka untuk aktif menggali ilmu.
“Kurikulum 2013 dihentikan sebagian ini jadi masalah di daerah, ada sekolah yang cocok diterapkan di sekolah tersebut meskipun baru satu semester,” ungkapnya.
Neneng zubaidah
(ars)