Publik Tak Puas Kinerja 100 Hari Jokowi
A
A
A
JAKARTA - Kinerja Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dalam 100 hari pertama pemerintahan belum mampu memenuhi harapan publik. Ketidakpuasan itu dipicu sejumlah kebijakan kontroversial Jokowi dan menteri Kabinet Kerja.
Kesimpulan tersebut berdasarkan hasil survei yang dirilis Pusat Studi Sosial dan Politik (Puspol) Indonesia di Jakarta kemarin. “Sebanyak 74,60% yang menyatakan tidak puas terhadap kepemimpinan Jokowi-JK dan hanya 25,40% yang merasa puas,” ungkap Direktur Eksekutif Puspol Indonesia Ubedilah Badrun.
Ketidakpuasan publik antara lain mengarah pada kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Sebanyak 44% yang menganggap kebijakan menaikkan harga BBM di saat harga minyak dunia turun tidak tepat dan hanya 20,64% yang menilai kebijakan itu tidak masalah asalkan dilaksanakan secara tepat. Selebihnya menjawab tidak tahu.
“Sebagian besar responden atau 51,58% juga tak yakin pengalihan subsidi BBM dapat mendorong terciptanya pembangunan di sektor produktif, sedangkan 48,15% yakin bisa,” ungkap Ubedilah. Beberapa kebijakan menteri Kabinet Kerja juga dinilai negatif oleh publik. Misalnya kebijakan Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah yang menghentikan Kurikulum 2013.
Berdasarkan survei, 26,98% yang menilai perubahan itu menimbulkan ketidakjelasan kurikulum, 19,05% menilai perubahan itu menyulitkan guru dan siswa, dan hanya 25,4% yang setuju perubahan dilakukan. “Dari kinerja menteri, hanya kebijakan penenggelaman kapal asing oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang dinilai publik positif.
Sebanyak 45% menilai setuju dilakukan, 20% menyatakan sebagai bentuk ketegasan, dan 34% menilai penenggelaman itu harus sesuai prosedur,” terangnya. Survei ini dilakukan pada 6- 16Januari2015. Penentuan responden menggunakan teknik multistage random sampling. Konsentrasi riset dilakukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Jumlah responden 756 orang dengan mempertimbangkan tingkat heterogenitas wilayah, jenis kelamin, dan mata pencaharian.
Margin of error 3% pada tingkat kepercayaan 95%. Penelitian dilakukan menggunakan paradigma pospositivistis yang bertumpu pada pendekatan mixed method. Ubedilah mengatakan ini merupakan perbaikan terhadap paradigma positivisme yang hanya mengandalkan pengamatan langsung terhadap objek penelitian. Survei ini juga memotret penilaian publik terhadap performa Jokowi secara pribadi.
Hal yang dinilai terutama pada gaya komunikasi dan gaya berpakaian mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut. Jika diukur dengan skor 1-10, responden memberikan nilai 5,76 untuk gaya komunikasi Jokowi dan 5,8 untuk gaya berpakaiannya. “Kalau siswa, ini nilainya kurang dari cukup. Jokowi mesti mengangkat juru bicara yang ahli di bidang komunikasi tiga hingga empat orang. Presiden sebelumnya (SBY) yang memiliki kemampuan komunikasi bagus saja punya juru bicara,” katanya.
Berdasarkan hasil survei tersebut, Ubedilah menilai rakyat di masa tiga bulan pertama pemerintahan Jokowi-JK ini dalam kondisi labil. “Masyarakat bingung sebenarnya dalam berbagai kebijakan pemerintah, mereka mau dibawa kemana,” ujarnya. Sementara itu, Direktur Kajian Puspol Kusfiardi mengatakan, pertanyaan besar publik kepada Jokowi-JK adalah mengapa pernyataan populis pemerintah justru sangat kontraproduktif dengan kebijakan yang diterapkan.
Dia mencontohkan Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (NK-RAPBN-P) 2015 yang menunjukkan tak ada perubahan paradigmatis dalam kebijakan pemerintah. “Kita hanya melihat retorika pemerintah termasuk soal kemandirian bangsa. Kini, semuanya, terutama hal yang berhubungan dengan hajat orang banyak, telah diserahkan ke mekanisme pasar,” ujarnya.
Dengan pencabutan subsidi BBM, kata dia, negara kini tak lagi berkeinginan melindungi hajat hidup rakyat. Subsidi dianggap beban, padahal itu kewajiban negara dan amanat undang- undang (UU). “Sementara pemerintah harus membayar bunga obligasi rekap Rp60 triliun-Rp80 triliun per tahun dan yang menikmati para bankir, itu tidak dianggap beban,” ungkap Kusfiardi.
Sebaliknya, Kusfiardi mengatakan pemerintah sangat kooperatif terhadap kepentingan pemilik modal dalam hal penerimaan negara dari pajak. Optimalisasi pajak itu tak dilakukan dengan dalih agar tidak mengganggu perkembangan investasi dan dunia usaha. “Sementara rakyat dengan penghasilan kecil dipaksa untuk membuat NPWP (nomor pokok wajib pajak), pemerintah justru menanggung pajak dan bea masuk pemilik modal di sektor usaha tertentu,” katanya.
Kusfiardi menegaskan, pemerintah saat ini mengarahkan kebijakan belanja negara sejalan dengan tujuan untuk memfasilitasi kepentingan kelompok by safeweb">investor dan dunia usaha. Dalih efisiensi dengan menghilangkan subsidi jelas mengarahkan pengelolaan faktor produksi penting negara ke tangan by safeweb">investor. “SPBU asing menyambut gembira, Pertamina akan merugi dan nasibnya akan sama seperti Indosat,” paparnya.
Kebijakan pemerintahan Jokowi-JK yang tak sejalan dengan amanat konstitusi itu menurut Kusfiardi mestinya mendapatkan pengawalan ketat dari DPR. “Sudah jelas keberpihakan pemerintah kepada siapa, yang penting membuat investor nyaman. Rakyat tak dapat apa-apa. Jika NK-RAPBN-P itu disetujui oleh DPR, selayaknya kita menggugat ke MK (Mahkamah Konstitusi) karena itu berseberangan dengan amanat konstitusi,” jelasnya.
Ketua DPP Partai Hanura Sarifuddin Sudding mengatakan, menilai kinerja pemerintah dalam 100 hari tidak tepat karena para menteri baru melakukan pemetaan masalah. “Terlalu dini jika diukur sekarang. Blusukan yang dilakukan menteri saat ini bertujuan memetakan masalah untuk menjadi skala prioritas program- program mereka ke depan,” ujar anggota DPR dari fraksi Partai Hanura itu.
Sudding tidak ingin mengomentari parameter yang digunakan lembaga survei dalam penelitian ini karena menurutnya setiap lembaga memiliki sudut pandang masing-masing saat melakukan riset. “Lembaga survei pasti punya sudut pandang masing-masing,” ujarnya.
Khoirul muzakki
Kesimpulan tersebut berdasarkan hasil survei yang dirilis Pusat Studi Sosial dan Politik (Puspol) Indonesia di Jakarta kemarin. “Sebanyak 74,60% yang menyatakan tidak puas terhadap kepemimpinan Jokowi-JK dan hanya 25,40% yang merasa puas,” ungkap Direktur Eksekutif Puspol Indonesia Ubedilah Badrun.
Ketidakpuasan publik antara lain mengarah pada kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Sebanyak 44% yang menganggap kebijakan menaikkan harga BBM di saat harga minyak dunia turun tidak tepat dan hanya 20,64% yang menilai kebijakan itu tidak masalah asalkan dilaksanakan secara tepat. Selebihnya menjawab tidak tahu.
“Sebagian besar responden atau 51,58% juga tak yakin pengalihan subsidi BBM dapat mendorong terciptanya pembangunan di sektor produktif, sedangkan 48,15% yakin bisa,” ungkap Ubedilah. Beberapa kebijakan menteri Kabinet Kerja juga dinilai negatif oleh publik. Misalnya kebijakan Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah yang menghentikan Kurikulum 2013.
Berdasarkan survei, 26,98% yang menilai perubahan itu menimbulkan ketidakjelasan kurikulum, 19,05% menilai perubahan itu menyulitkan guru dan siswa, dan hanya 25,4% yang setuju perubahan dilakukan. “Dari kinerja menteri, hanya kebijakan penenggelaman kapal asing oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang dinilai publik positif.
Sebanyak 45% menilai setuju dilakukan, 20% menyatakan sebagai bentuk ketegasan, dan 34% menilai penenggelaman itu harus sesuai prosedur,” terangnya. Survei ini dilakukan pada 6- 16Januari2015. Penentuan responden menggunakan teknik multistage random sampling. Konsentrasi riset dilakukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Jumlah responden 756 orang dengan mempertimbangkan tingkat heterogenitas wilayah, jenis kelamin, dan mata pencaharian.
Margin of error 3% pada tingkat kepercayaan 95%. Penelitian dilakukan menggunakan paradigma pospositivistis yang bertumpu pada pendekatan mixed method. Ubedilah mengatakan ini merupakan perbaikan terhadap paradigma positivisme yang hanya mengandalkan pengamatan langsung terhadap objek penelitian. Survei ini juga memotret penilaian publik terhadap performa Jokowi secara pribadi.
Hal yang dinilai terutama pada gaya komunikasi dan gaya berpakaian mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut. Jika diukur dengan skor 1-10, responden memberikan nilai 5,76 untuk gaya komunikasi Jokowi dan 5,8 untuk gaya berpakaiannya. “Kalau siswa, ini nilainya kurang dari cukup. Jokowi mesti mengangkat juru bicara yang ahli di bidang komunikasi tiga hingga empat orang. Presiden sebelumnya (SBY) yang memiliki kemampuan komunikasi bagus saja punya juru bicara,” katanya.
Berdasarkan hasil survei tersebut, Ubedilah menilai rakyat di masa tiga bulan pertama pemerintahan Jokowi-JK ini dalam kondisi labil. “Masyarakat bingung sebenarnya dalam berbagai kebijakan pemerintah, mereka mau dibawa kemana,” ujarnya. Sementara itu, Direktur Kajian Puspol Kusfiardi mengatakan, pertanyaan besar publik kepada Jokowi-JK adalah mengapa pernyataan populis pemerintah justru sangat kontraproduktif dengan kebijakan yang diterapkan.
Dia mencontohkan Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (NK-RAPBN-P) 2015 yang menunjukkan tak ada perubahan paradigmatis dalam kebijakan pemerintah. “Kita hanya melihat retorika pemerintah termasuk soal kemandirian bangsa. Kini, semuanya, terutama hal yang berhubungan dengan hajat orang banyak, telah diserahkan ke mekanisme pasar,” ujarnya.
Dengan pencabutan subsidi BBM, kata dia, negara kini tak lagi berkeinginan melindungi hajat hidup rakyat. Subsidi dianggap beban, padahal itu kewajiban negara dan amanat undang- undang (UU). “Sementara pemerintah harus membayar bunga obligasi rekap Rp60 triliun-Rp80 triliun per tahun dan yang menikmati para bankir, itu tidak dianggap beban,” ungkap Kusfiardi.
Sebaliknya, Kusfiardi mengatakan pemerintah sangat kooperatif terhadap kepentingan pemilik modal dalam hal penerimaan negara dari pajak. Optimalisasi pajak itu tak dilakukan dengan dalih agar tidak mengganggu perkembangan investasi dan dunia usaha. “Sementara rakyat dengan penghasilan kecil dipaksa untuk membuat NPWP (nomor pokok wajib pajak), pemerintah justru menanggung pajak dan bea masuk pemilik modal di sektor usaha tertentu,” katanya.
Kusfiardi menegaskan, pemerintah saat ini mengarahkan kebijakan belanja negara sejalan dengan tujuan untuk memfasilitasi kepentingan kelompok by safeweb">investor dan dunia usaha. Dalih efisiensi dengan menghilangkan subsidi jelas mengarahkan pengelolaan faktor produksi penting negara ke tangan by safeweb">investor. “SPBU asing menyambut gembira, Pertamina akan merugi dan nasibnya akan sama seperti Indosat,” paparnya.
Kebijakan pemerintahan Jokowi-JK yang tak sejalan dengan amanat konstitusi itu menurut Kusfiardi mestinya mendapatkan pengawalan ketat dari DPR. “Sudah jelas keberpihakan pemerintah kepada siapa, yang penting membuat investor nyaman. Rakyat tak dapat apa-apa. Jika NK-RAPBN-P itu disetujui oleh DPR, selayaknya kita menggugat ke MK (Mahkamah Konstitusi) karena itu berseberangan dengan amanat konstitusi,” jelasnya.
Ketua DPP Partai Hanura Sarifuddin Sudding mengatakan, menilai kinerja pemerintah dalam 100 hari tidak tepat karena para menteri baru melakukan pemetaan masalah. “Terlalu dini jika diukur sekarang. Blusukan yang dilakukan menteri saat ini bertujuan memetakan masalah untuk menjadi skala prioritas program- program mereka ke depan,” ujar anggota DPR dari fraksi Partai Hanura itu.
Sudding tidak ingin mengomentari parameter yang digunakan lembaga survei dalam penelitian ini karena menurutnya setiap lembaga memiliki sudut pandang masing-masing saat melakukan riset. “Lembaga survei pasti punya sudut pandang masing-masing,” ujarnya.
Khoirul muzakki
(bbg)