Karam di Karang Ketiga
A
A
A
PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) pergi begitu saja usai menyampaikan pernyataan di Istana Merdeka, Jumat 16 Januari 2015 malam, pekan lalu.
Dia tidak menyalami dua petinggi Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) yang berdiri tegap mengapitnya bersama Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Tedjo Edhy Purdijatno, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Padahal, nasib kedua jenderal polisi itu yakni Jenderal Sutarman dan Komisaris Jenderal Badrodin Haiti baru saja ditentukan oleh Sang Presiden.
Lewat dua buah keputusan presiden, Jokowi memberhentikan Sutarman sebagai Kapolri dan menugaskan Badrodin, Wakil Kapolri (Wakapolri), untuk melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab Kapolri.
Sementara terhadap calon Kapolri, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, yang Kamis pekan lalu sudah mengantongi restu politik DPR, Jokowi menyatakan untuk menunda pelantikannya.
Musababnya tak lain adalah penetapan Budi sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hanya empat hari setelah Presiden resmi mencalonkannya sebagai calon Kapolri.
“Jadi, menunda, bukan membatalkan. Itu yang harus digarisbawahi,” tegas Presiden.
Jokowi tampak sukses mendayung di antara dua karang. Di satu sisi, dia berhasil mengatasi tekanan partai politik pendukung yang ngotot meminta Budi segera dilantik.
Di sisi lain, Presiden masih bisa menambal kebocoran tabungan politiknya dari tudingan tidak peduli kepada pemberantasan korupsi karena mencalonkan tersangka korupsi sebagai Tri Brata 1.
“Menurut saya, keputusan itu bagus. Sekarang everybody is happy,” kata Guru Besar Universitas Pertahanan Salim Said, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu pekan lalu.
Serba terburu-buru. Itulah kesan yang tampak dari pencalonan Budi Gunawan, yang kini menjabat sebagai Kepala Lembaga Pendidikan Polisi.
Presiden, misalnya, langsung memilih nama Budi kurang dari 24 jam setelah Komisi Kepolisian Nasional menyerahkan sembilan nama kandidat pada Jumat pagi, 9 Januari 2015.
“Prosesnya cepat sekali,” ujar Adrianus Meliala, anggota Kompolnas.
Meski sudah menyerahkan nama-nama calon, Adrianus mengklaim bahwa Kompolnas sebenarnya masih akan melengkapi data dengan berkirim surat kepada KPK, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Namun, belum sempat itu dilakukan, surat pengajuan Presiden sudah mampir di Senayan sore harinya.
“Kami tidak mau disalahkan karena proses yang tidak utuh ini,” katanya.
Maklum, ketika akan memilih calon menteri untuk Kabinet Kerja, Presiden Jokowi masih menyempatkan mengirimkan daftar nama calon kepada KPK dan PPATK untuk mendapatkan pertimbangan.
Kali ini, Jokowi seakan memunggungi KPK dan PPATK. Terlebih, menurut klaim eks Kepala PPATK, Yunus Husein, nama Budi sempat mendapat “tanda merah” dari kedua lembaga itu saat pencalonan menteri.
Meski Budi Gunawan telah menyandang status sebagai tersangka, anehnya, Jokowi tetap mempertahankan pencalonan hingga DPR melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap Budi.
“Menunggu proses di DPR,” kilah Presiden. Peneliti Indonesia Corruption Watch, Agus Sunaryanto, menduga Jokowi bimbang karena partai-partai pendukung gigih membela Budi. “Seharusnya jangan mau disetir seperti ini,” kata Agus.
Proses berikutnya juga terbilang terburu-buru. Total hanya enam hari, waktu yang dibutuhkan DPR untuk secara aklamasi menyetujui pencalonan Budi Gunawan dalam rapat paripurna, Kamis, 15 Januari.
Bandingkan dengan uji kelayakan dan kepatutan terhadap Sutarman yang memakan waktu hingga 20 hari.
Bahkan, seperti dinyatakan Yunus Husein, saat memproses Sutarman, politikus Senayan masih mengundang KPK dan PPATK untuk mendengar pertimbangan kedua lembaga itu.
Hal yang tak kalah menarik adalah kompaknya kubu oposisi Koalisi Merah Putih dengan kubu koalisi pendukung Pemerintah dalam mengesahkan Budi Gunawan sebagai Kapolri.
Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo menjelaskan pihaknya tak mau berlama-lama mempersoalkan moral Budi. Lepas menjadi tersangka, bagi Bambang, Budi adalah bola panas yang dilemparkan Istana ke Senayan.
“Karena itu, kami cepat-cepat kembalikan bola panas itu ke pelemparnya,” katanya kepada Ade Nyong dari SINDO Weekly.
Bambang mengakui bola dari Senayan menjadi buah simalakama bagi Presiden. “Kalau dilantik, pasti (Presiden) dimaki-maki LSM dan akan berhadapan dengan KPK. Jika membatalkan pelantikan, ia akan berhadapan dengan DPR dan partai pendukungnya sendiri.”
Keputusan Jokowi juga dinilai telah menciptakan ketidakpastian di tubuh kepolisian. Menurut Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S. Pane, pengangkatan Pelaksana Tugas Kapolri membuat Polri berada dalam kondisi status quo tanpa kepemimpinan yang jelas.
“Jika terjadi kerusuhan massal di Indonesia saat ini, Presiden Jokowi yang harus bertanggung jawab bukan Pelaksana Tugas Kapolri,” katanya.
Pelaksana Tugas, menurut Neta, tidak bisa mengeluarkan kebijakan strategis. Pelaksana Tugas hanya bisa mengeluarkan kebijakan rutin, misalnya anggaran untuk gaji.
Namun, jika untuk anggaran operasional, seperti anggaran operasi pemberantasan terorisme, Pelaksana Tugas harus meminta izin dan persetujuan Presiden sebagai atasannya, termasuk dalam mengeluarkan kebijakan untuk mutasi para pejabat polisi.
Alih-alih ingin mengayuh di antara dua karang, Presiden Jokowi kini bisa saja karam di karang ketiga.
Baca selengkapnya di SINDO Weekly Nomor 48-03, terbit Kamis (22/1/2015) hari ini.
Dia tidak menyalami dua petinggi Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) yang berdiri tegap mengapitnya bersama Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Tedjo Edhy Purdijatno, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Padahal, nasib kedua jenderal polisi itu yakni Jenderal Sutarman dan Komisaris Jenderal Badrodin Haiti baru saja ditentukan oleh Sang Presiden.
Lewat dua buah keputusan presiden, Jokowi memberhentikan Sutarman sebagai Kapolri dan menugaskan Badrodin, Wakil Kapolri (Wakapolri), untuk melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab Kapolri.
Sementara terhadap calon Kapolri, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, yang Kamis pekan lalu sudah mengantongi restu politik DPR, Jokowi menyatakan untuk menunda pelantikannya.
Musababnya tak lain adalah penetapan Budi sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hanya empat hari setelah Presiden resmi mencalonkannya sebagai calon Kapolri.
“Jadi, menunda, bukan membatalkan. Itu yang harus digarisbawahi,” tegas Presiden.
Jokowi tampak sukses mendayung di antara dua karang. Di satu sisi, dia berhasil mengatasi tekanan partai politik pendukung yang ngotot meminta Budi segera dilantik.
Di sisi lain, Presiden masih bisa menambal kebocoran tabungan politiknya dari tudingan tidak peduli kepada pemberantasan korupsi karena mencalonkan tersangka korupsi sebagai Tri Brata 1.
“Menurut saya, keputusan itu bagus. Sekarang everybody is happy,” kata Guru Besar Universitas Pertahanan Salim Said, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu pekan lalu.
Serba terburu-buru. Itulah kesan yang tampak dari pencalonan Budi Gunawan, yang kini menjabat sebagai Kepala Lembaga Pendidikan Polisi.
Presiden, misalnya, langsung memilih nama Budi kurang dari 24 jam setelah Komisi Kepolisian Nasional menyerahkan sembilan nama kandidat pada Jumat pagi, 9 Januari 2015.
“Prosesnya cepat sekali,” ujar Adrianus Meliala, anggota Kompolnas.
Meski sudah menyerahkan nama-nama calon, Adrianus mengklaim bahwa Kompolnas sebenarnya masih akan melengkapi data dengan berkirim surat kepada KPK, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Namun, belum sempat itu dilakukan, surat pengajuan Presiden sudah mampir di Senayan sore harinya.
“Kami tidak mau disalahkan karena proses yang tidak utuh ini,” katanya.
Maklum, ketika akan memilih calon menteri untuk Kabinet Kerja, Presiden Jokowi masih menyempatkan mengirimkan daftar nama calon kepada KPK dan PPATK untuk mendapatkan pertimbangan.
Kali ini, Jokowi seakan memunggungi KPK dan PPATK. Terlebih, menurut klaim eks Kepala PPATK, Yunus Husein, nama Budi sempat mendapat “tanda merah” dari kedua lembaga itu saat pencalonan menteri.
Meski Budi Gunawan telah menyandang status sebagai tersangka, anehnya, Jokowi tetap mempertahankan pencalonan hingga DPR melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap Budi.
“Menunggu proses di DPR,” kilah Presiden. Peneliti Indonesia Corruption Watch, Agus Sunaryanto, menduga Jokowi bimbang karena partai-partai pendukung gigih membela Budi. “Seharusnya jangan mau disetir seperti ini,” kata Agus.
Proses berikutnya juga terbilang terburu-buru. Total hanya enam hari, waktu yang dibutuhkan DPR untuk secara aklamasi menyetujui pencalonan Budi Gunawan dalam rapat paripurna, Kamis, 15 Januari.
Bandingkan dengan uji kelayakan dan kepatutan terhadap Sutarman yang memakan waktu hingga 20 hari.
Bahkan, seperti dinyatakan Yunus Husein, saat memproses Sutarman, politikus Senayan masih mengundang KPK dan PPATK untuk mendengar pertimbangan kedua lembaga itu.
Hal yang tak kalah menarik adalah kompaknya kubu oposisi Koalisi Merah Putih dengan kubu koalisi pendukung Pemerintah dalam mengesahkan Budi Gunawan sebagai Kapolri.
Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo menjelaskan pihaknya tak mau berlama-lama mempersoalkan moral Budi. Lepas menjadi tersangka, bagi Bambang, Budi adalah bola panas yang dilemparkan Istana ke Senayan.
“Karena itu, kami cepat-cepat kembalikan bola panas itu ke pelemparnya,” katanya kepada Ade Nyong dari SINDO Weekly.
Bambang mengakui bola dari Senayan menjadi buah simalakama bagi Presiden. “Kalau dilantik, pasti (Presiden) dimaki-maki LSM dan akan berhadapan dengan KPK. Jika membatalkan pelantikan, ia akan berhadapan dengan DPR dan partai pendukungnya sendiri.”
Keputusan Jokowi juga dinilai telah menciptakan ketidakpastian di tubuh kepolisian. Menurut Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S. Pane, pengangkatan Pelaksana Tugas Kapolri membuat Polri berada dalam kondisi status quo tanpa kepemimpinan yang jelas.
“Jika terjadi kerusuhan massal di Indonesia saat ini, Presiden Jokowi yang harus bertanggung jawab bukan Pelaksana Tugas Kapolri,” katanya.
Pelaksana Tugas, menurut Neta, tidak bisa mengeluarkan kebijakan strategis. Pelaksana Tugas hanya bisa mengeluarkan kebijakan rutin, misalnya anggaran untuk gaji.
Namun, jika untuk anggaran operasional, seperti anggaran operasi pemberantasan terorisme, Pelaksana Tugas harus meminta izin dan persetujuan Presiden sebagai atasannya, termasuk dalam mengeluarkan kebijakan untuk mutasi para pejabat polisi.
Alih-alih ingin mengayuh di antara dua karang, Presiden Jokowi kini bisa saja karam di karang ketiga.
Baca selengkapnya di SINDO Weekly Nomor 48-03, terbit Kamis (22/1/2015) hari ini.
(dam)