Produk Rumahan yang Jadi Penguasa Pasar
A
A
A
NURHAYATI mengaku, sebenarnya dia sedang berada pada zona nyaman atau comfort zonedengan pekerjaannya di salah satu perusahaan kosmetik terkemuka ketika memutuskan untuk membuka usaha sendiri.
”Tapi saat itu saya harus mencurahkan perhatian lebih besar kepada ketiga anak saya yang masih kecil. Kantor pun cukup jauh dari rumah saya di Tangerang. Jadi pilihan saya adalah mundur,” kenangnya. Di rumah, Nurhayati ternyata memiliki banyak waktu luang setelah menyiapkan berbagai keperluan anak-anaknya. Bermodalkan ilmunya sebagai lulusan Jurusan Farmasi ITB dan pengalaman bekerja di perusahaan kosmetik besar, Nurhayati mencoba memproduksi sampo pada 1985.
Pembuatannya dilakukan di rumah dengan modal Rp2 juta. Dia hanya dibantu oleh seorang asisten rumah tangga. Sampo itu pun dipasarkan secara door to doorke warung-warung, rumah-rumah, dan salon. Promosinya dari mulut ke mulut. Sesuai harapan, sampo produksinya ternyata mendapat respons besar dari konsumen. Tidak sampai satu tahun, nyaris semua salon di Tangerang sudah menggunakan produknya.
”Saya yakin sekali memasarkan produk sampo ini. Karena saya tahu kualitasnya kelas internasional. He he he,” kenang Nurhayati. Menurut dia, ide memproduksi kosmetik berlabel halal muncul ketika bersilaturahmi dengan temanteman dan tamunya dari sebuah pesantren. Saat itu sekitar 1995. Mereka menyarankannya untuk menjual produk islami. Nurhayati lalu meluncurkan merek Wardah dengan titik tekan sebagai kosmetik halal untuk perempuan Indonesia. Produk itu laris manis di pasar.
Dia pun memulai produksi massal yang penjualannya terus berkembang. Memasuki tahun kelima, pabrik kosmetik yang dibangunnya terbakar. Dia sempat terpikir untuk menutup usaha. Namun, Nurhayati tidak tega melihat nasib para karyawannya bila di-PHK. Setelah mendapat pinjaman, dia membangun kembali bisnisnya dan berhasil. Kali ini jauh lebih besar dari sebelumnya dengan pertumbuhan luar biasa. Laju pertumbuhan perusahaannya tidak pernah kurang dari 60%.
Pada 2006, pertumbuhan bisnisnya bahkan di atas 90%! Sementara itu, selama empat tahun terakhir, perkembangan omzet Wardah Cosmetics mencapai 75% per tahun. Padahal berdasarkan survei AC Nielsen, perkembangan omzet kosmetik rata-rata hanya 15% per tahun. Ini karena Wardah nyaris menjadi pemain satu-satunya di pasar kosmetik berlabel halal di Indonesia. Yang jelas, Wardah adalah yang terbesar dan market leaderdi pasar kosmetik dalam negeri.
Saat ini, PTI memiliki dua pabrik di Cibodas dan Tangerang dengan sekitar 35 distribution centerdan 5.100 karyawan di seluruh Indonesia. Berbagai produknya juga sudah dipasarkan ke pasar Malaysia. Dalam waktu dekat, Wardah akan dipasarkan secara global. Untuk pasar domestik, Wardah Beauty House rencananya akan hadir di setiap kota besar.
Pada 2015 ini, Nurhayati menargetkan memiliki 50 distribution centerdi Tanah Air. Saat ini, Nurhayati telah mendelegasikan sebagian besar pengelolaan perusahaan terutama manajemen, produksi, dan pemasaran kepada ketiga anaknya. Dia cukup memantau kinerja harian perusahaan mulai hulu hingga hilir dan memberi masukan yang dianggap perlu.
”Perusahaan ini semakin maju setelah anakanak saya terlibat di manajemen mulai 2002. Mereka membawa semangat muda sehingga Wardah memiliki imej muda juga. Peran saya sebenarnya lebih condong sebagai konsultan. He he he,” terangnya. Menurut perempuan berdarah Minang ini, faktor utama keberhasilan bisnis kosmetik berlabel halal yang dilakoninya adalah karena usaha yang dilakukan bersamabersama.
Tidak ada yang dominan di semua lini melainkan melangkah pasti sambil terus saling menyatukan visi. Meski kompetisi di bisnis kosmetik cukup ketat, dia yakin usahanya akan terus berkembang.
”Persaingan kanbagus. Semua pemainnya jadi termotivasi untuk terus berkreasi, berinovasi, dan meningkatkan kualitas. Yang diuntungkan tentu konsumen,” kata ketua umum Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkosmi) ini. Nurhayati juga rajin memotivasi para karyawannya untuk terus belajar dan mencoba berwirausaha. Dia pun sibuk menjadi pembicara di berbagai seminar dan diskusi hingga ke pelosok daerah.
”Saya menikmati kegiatan seperti sekarang ini. Berbagi ilmu dan pengalaman kanibadah. Lagi pula saya hobi jalan-jalan,” ujar nenek tujuh cucu yang rutin berjalan kaki satu jam setiap pagi bila tidak ada kegiatan ke luar kota ini.
Dina angelina/ ema malini
”Tapi saat itu saya harus mencurahkan perhatian lebih besar kepada ketiga anak saya yang masih kecil. Kantor pun cukup jauh dari rumah saya di Tangerang. Jadi pilihan saya adalah mundur,” kenangnya. Di rumah, Nurhayati ternyata memiliki banyak waktu luang setelah menyiapkan berbagai keperluan anak-anaknya. Bermodalkan ilmunya sebagai lulusan Jurusan Farmasi ITB dan pengalaman bekerja di perusahaan kosmetik besar, Nurhayati mencoba memproduksi sampo pada 1985.
Pembuatannya dilakukan di rumah dengan modal Rp2 juta. Dia hanya dibantu oleh seorang asisten rumah tangga. Sampo itu pun dipasarkan secara door to doorke warung-warung, rumah-rumah, dan salon. Promosinya dari mulut ke mulut. Sesuai harapan, sampo produksinya ternyata mendapat respons besar dari konsumen. Tidak sampai satu tahun, nyaris semua salon di Tangerang sudah menggunakan produknya.
”Saya yakin sekali memasarkan produk sampo ini. Karena saya tahu kualitasnya kelas internasional. He he he,” kenang Nurhayati. Menurut dia, ide memproduksi kosmetik berlabel halal muncul ketika bersilaturahmi dengan temanteman dan tamunya dari sebuah pesantren. Saat itu sekitar 1995. Mereka menyarankannya untuk menjual produk islami. Nurhayati lalu meluncurkan merek Wardah dengan titik tekan sebagai kosmetik halal untuk perempuan Indonesia. Produk itu laris manis di pasar.
Dia pun memulai produksi massal yang penjualannya terus berkembang. Memasuki tahun kelima, pabrik kosmetik yang dibangunnya terbakar. Dia sempat terpikir untuk menutup usaha. Namun, Nurhayati tidak tega melihat nasib para karyawannya bila di-PHK. Setelah mendapat pinjaman, dia membangun kembali bisnisnya dan berhasil. Kali ini jauh lebih besar dari sebelumnya dengan pertumbuhan luar biasa. Laju pertumbuhan perusahaannya tidak pernah kurang dari 60%.
Pada 2006, pertumbuhan bisnisnya bahkan di atas 90%! Sementara itu, selama empat tahun terakhir, perkembangan omzet Wardah Cosmetics mencapai 75% per tahun. Padahal berdasarkan survei AC Nielsen, perkembangan omzet kosmetik rata-rata hanya 15% per tahun. Ini karena Wardah nyaris menjadi pemain satu-satunya di pasar kosmetik berlabel halal di Indonesia. Yang jelas, Wardah adalah yang terbesar dan market leaderdi pasar kosmetik dalam negeri.
Saat ini, PTI memiliki dua pabrik di Cibodas dan Tangerang dengan sekitar 35 distribution centerdan 5.100 karyawan di seluruh Indonesia. Berbagai produknya juga sudah dipasarkan ke pasar Malaysia. Dalam waktu dekat, Wardah akan dipasarkan secara global. Untuk pasar domestik, Wardah Beauty House rencananya akan hadir di setiap kota besar.
Pada 2015 ini, Nurhayati menargetkan memiliki 50 distribution centerdi Tanah Air. Saat ini, Nurhayati telah mendelegasikan sebagian besar pengelolaan perusahaan terutama manajemen, produksi, dan pemasaran kepada ketiga anaknya. Dia cukup memantau kinerja harian perusahaan mulai hulu hingga hilir dan memberi masukan yang dianggap perlu.
”Perusahaan ini semakin maju setelah anakanak saya terlibat di manajemen mulai 2002. Mereka membawa semangat muda sehingga Wardah memiliki imej muda juga. Peran saya sebenarnya lebih condong sebagai konsultan. He he he,” terangnya. Menurut perempuan berdarah Minang ini, faktor utama keberhasilan bisnis kosmetik berlabel halal yang dilakoninya adalah karena usaha yang dilakukan bersamabersama.
Tidak ada yang dominan di semua lini melainkan melangkah pasti sambil terus saling menyatukan visi. Meski kompetisi di bisnis kosmetik cukup ketat, dia yakin usahanya akan terus berkembang.
”Persaingan kanbagus. Semua pemainnya jadi termotivasi untuk terus berkreasi, berinovasi, dan meningkatkan kualitas. Yang diuntungkan tentu konsumen,” kata ketua umum Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkosmi) ini. Nurhayati juga rajin memotivasi para karyawannya untuk terus belajar dan mencoba berwirausaha. Dia pun sibuk menjadi pembicara di berbagai seminar dan diskusi hingga ke pelosok daerah.
”Saya menikmati kegiatan seperti sekarang ini. Berbagi ilmu dan pengalaman kanibadah. Lagi pula saya hobi jalan-jalan,” ujar nenek tujuh cucu yang rutin berjalan kaki satu jam setiap pagi bila tidak ada kegiatan ke luar kota ini.
Dina angelina/ ema malini
(ars)