Charlie Hebdo dan Keberadaan Muslim Eropa

Senin, 19 Januari 2015 - 10:12 WIB
Charlie Hebdo dan Keberadaan...
Charlie Hebdo dan Keberadaan Muslim Eropa
A A A
Tragedi Charlie Hebdo yang terjadi di Paris beberapa waktu lalu mengundang keprihatinan sekaligus pertanyaan dari dunia mengenai apa yang melatarbelakangi timbulnya kekerasan atas nama agama itu.

Berbicara tentang serangkaian serangan yang dilakukan umat muslim di Eropa, maka terlebih dahulu harus menelaah sejarah Islam di Eropa.

Satu dekade setelah kelahiran Islam yakni pada abad ke-7 seruan jihad meledak bahkan hingga keluar Arab Saudi. Para jihadis mengesampingkan jarak ribuan mil dari tanah peradabannya untuk menaklukkan negeri-negeri seperti Maroko,Tunisia, Libia, Mesir, Suriah, Irak, Iran dan beberapa negara Eropa juga Asia.

Dominasi muslim kala itu sangat terasa hingga mengubah banyak peradaban negara-negara di kawasan Asia Timur dan pengaruhnya sampai juga ke Portugal, Spanyol, Prancis, Italia, Sisilia, Swiss, Austria, Hungaria, Yunani, Rusia, Polandia, Bulgaria, Ukraina dan beberapa negara Skandinavia lainnya. Pergerakan jihadis itu semakin terasa pada 846 M, saat Vatikan diserang oleh sekelompok jihadis. Sedangkan daerah-daerah Eropa yang berada di tepian laut seperti Inggris dan Jermantakpernahdijamahsekalipunoleh parajihadis.

Namun, kabarkekejamandan kekuatan tentara muslim tetap terdengar oleh penduduk Inggris dan Jerman. Uniknya, selama kira-kira satu milenium kemudian justru Inggris dan Jerman-lah yang menjadi negara tujuan para imigran Islam untuk bermigrasi. Eropa tentunya tak ingin menerima muslim karena sejarah panjang penaklukan mereka atas negeri-negeri di Eropa.

Keruntuhan peradaban Islam saat masa pemerintahan Ottoman Turki juga memberi andil besar pada kemunduran pendidikan umat Islam. Berbondong- bondong mereka berinvasi ke Barat yang dianggap lebih maju dalam pendidikan ilmu pengetahuan. Sayangnya, kedatangan muslim yang tanpa persiapan ini membuat kaum muslim di Eropa lebih banyak menjadi pekerja kasar.

Belum lagi mereka juga harus merasakan diskriminasi dari masyarakat Eropa karena dendam lama. Padahal para muslim yang bermigrasi itu tidak terlibat dalam penaklukkan muslim yang dilakukan seabad silam. Muslim sebagai kaum minoritas semakin mengkhawatirkan karena keengganan mereka berbaur atau menghapuskan budaya sendiri untuk berasimilasi dengan budaya Eropa. Pengajaran Islam yang menuntut umatnya untuk mempertahankan norma-norma agama menyulitkan kaum muslim beradaptasi dengan gaya bebas ala Eropa.

Munculnya Komunitas

Walhasil, muslim menjadi komunitas yang dikucilkan dengan membentuk kawasan-kawasan tersendiri. Di Prancis misalnya, komunitas muslim lebih banyak ditemukan di Lyon dan Marseille. Di Inggris komunitas muslim banyak ditemui di Birmingham. Komunitas muslim tersebut juga terbagi lagi dalam beberapa aliran misalnya sunni dan syiah.

Dengan diskriminasi yang diterima, warga muslim pun terpaksa mengurangi aktivitas di luar rumah dan lebih banyak berkumpul dengan kelompoknya. Agama Islam sendiri belum menjadi bagian dari mata pelajaran di berbagai sekolah, sehingga pendidikan agama Islam anak-anak muslim lebih banyak didapat dari rumah maupun sekolah-sekolah agama yang dibentuk oleh masjid- masjid di Eropa.

Keterasingan dan keengganan muslim untuk berbaur inilah yang membuat muslim dan masyarakat Eropa semakin berjarak sehingga kadang menimbulkan intoleransi. “Ini adalah salah umat Islam sendiri karena mereka tidak kritis terhadap kemunduran generasi Islam masa kini. Mereka tidak mampu berjalan dan berpikir sesuai tuntutan modernitas zaman,” kata Sami Zemni, profesor ilmu politik dari Universitas Ghent Belgia, dilansir BBC .

Keengganan untuk berintegrasi dengan masyarakat Eropa, kehidupan yang terisolasi, dan memburuknya ekonomi Eropa adalah kunci yang menyebabkan munculnya gerakan radikal umat muslim di Eropa karena muslimlah yang paling sulit mendapatkan pekerjaan. Diskriminasi di pasar kerja ini kemudian membuat muslim merasa terasing kehilangan haknya dan marah.

Ketika kebencian ini menyeruak maka para muslim yang kecewa tersebut mulai tertarik dengan wacana radikal dan terlibat dalam gerakan militan radikal. Sedangkan pembangun gerakan militan radikal itu sendiri sebenarnya berasal dari luar Eropa dan lebih banyak dipimpin dari Timur Tengah khususnya di wilayah-wilayah konflik. Mereka umumnya memburu para pemuda muslim yang tengah mengalami kesulitan ekonomi.

Bukan hanya pemuda yang merasakan dampak sulitnya hidup di Eropa, orang-orang dewasa dan perempuan muslim pun banyak yang bergabung dengan militan karena krisis ekonomi. Jika disimpulkan, sejarah ekstrimisme muslim di Eropa berakar dari krisis ekonomi dan diskriminasi yang dilakukan warga Eropa sendiri. Menariknya, seiring dengan laju pertumbuhan komunitas muslim, jumlah militan semakin banyak dan jumlah serangan di Eropa mulai bermunculan.

Otoritas terkait akhirnya lebih proaktif menangani kasus ini namun hal itu sulit dilakukan mengingat komunitas muslim Eropa sangat besar dan tidak terintegrasi dengan masyarakat mayoritas. Kelompok-kelompok ini semakin mengerikan karena mulai memiliki pengaruh di kepolisian dan mulai memiliki donor yang menyokong pusat latihan untuk para ekstremis baru.

Tidak sedikit dari para calon ekstremis yang diterbangkan ke suatu tempat dan menjalani pelatihan layaknya militer sebelum akhirnya ditugaskan untuk melakukan serangan di Eropa atas nama jihad. Para tentara terlatih, koneksi internasional dan sokongan senjata menjadi fenomena baru bagi militan Eropa.

Ketika komunitas muslim radikal semakin bertumbuh, otoritas Eropa baru menyadari kehadiran dan bahaya mereka. Cukup terlambat untuk menangani gerakan yang sudah menggurita dan terorganisir ini dan hanya integrasilah yang menurut para peneliti menjadi jalan keluar terbaik. Sama seperti masyarakat Prancis meleburkan diri dengan penduduk Kanada, masyarakat Muslim pun diharapakan melakukan hal serupa dan menanggalkan identitasnya sebagai muslim untuk menjadi Eropa seutuhnya.

“Banyak masalah dalam masyarakat kita sebenarnya disebabkan karena imigrasi dan kurangnya integrasi budaya bukan karena Islam sebagai agama itu sendiri, itulah yang seharusnya diperbaiki. ”jelas Laila al-Zwaini pengacara Belanda-Irak yang mengkhususkan diri dalam hukum Islam.

Rini agustina
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9227 seconds (0.1#10.140)