Pemilihan Sekda Rawan Politisasi
A
A
A
JAKARTA - Pemilihan sekretaris daerah (sekda) dinilai rawan politisasi. Pasalnya, selain jabatan tinggi di daerah, posisi sekda cukup strategis.
“Sekda paling strategis. Bahkan dalam hal pengaruh di tataran birokrasi, kepala daerah nomor dua. Nomor satunya sekda,” ungkap Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pemekaran dan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng kepada KORAN SINDO kemarin. Endi mengatakan, posisi strategis itulah yang menyebabkan pemilihan sekda rawan dipolitisasi.
Karena itu, terbuka peluang pemilihan sekda bukan karena kompetensi, tapi lebih didasarkan hitung-hitungan politik. “Pasti ada permainan. Misalnya, kepala daerah berusaha menempatkan sekda yang tidak hanya kompeten, tapi loyal, patuh, dan taat. Bahkan terkadang asal pilih. Biasanya begitu,” ujarnya. Adanya Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan UU Pemerintah Daerah (Pemda) mengokohkan posisi sekda di daerah.
Sekda dapat dikatakan penguasa birokrasi karena mengurus rekrutmen, promosi, demosi, hingga pensiun aparat di daerah. “Tidak hanya soal birokrasi, pengambilan keputusan penting juga melibatkan sekda. Di daerah memang yang memegang jabatan politik adalah kepala daerah, tapi otaknya sekda,” ungkapnya.
Dalam kasus seorang terdakwa yang terpilih sebagai sekda Sumut, Endi menilai ada dua kemungkinan. Antara lain, buruknya basis data yang dimiliki pemerintah pusat atau adanya permainan politik pusat di daerah. “Aneh memang jika pemerintah pusat tidak tahu ada kandidat sekda berstatus terdakwa. Itu kan informasi yang bahkan sangat mudah kita temukan di internet,” katanya.
Padahal, dengan mekanisme pemilihan yang sekarang ini seharusnya dapat meminimalisasi politisasi dan kepala daerah tidak memilih sekda sesukanya. Sebab, pemerintah pusatlah yang memilih nama sekda dari calon yang diusulkan kepala daerah.
“Ini sangat ironis. Posisi strategis itu jangan sampai diisi oleh orang yang sembarangan. Bayangkan jika sekdanya terdakwa akan jadi apa bawahannya nantinya? Bagaimana sapu kotor dapat menyapu lantai dengan bersih,” gugatnya. Karena itu, dalam hal pengangkatan sekda, Endi mengatakan perlu adanya pembenahan basis data kepegawaian, terutama jabatan strategis seperti kepala dinas, kepala kantor, atau kepala badan.
“Jadi mereka tidak hanya terima yang disodorkan, tapi juga cari tahu informasi tambahan tentang kandidat sekda,” ujarnya. Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) I Made Suwandi mengatakan, sekda adalah bosnya birokrasi. Sebab, pengusulan pejabat daerah haruslah melalui sekda. Menurut dia, dalam hal pengangkatan pejabat terdapat aspek norma dan aspek hukum.
Lolosnya pejabat bermasalah karena dalam aspek hukum tidak diatur secara lengkap. “Larangan pejabat tersangka atau terpidana ini belum diatur. Makanya, mereka selalu menggunakan celah ini untuk berkelit. Padahal yang karier politik saja jika terpidana langsung dinonaktifkan. Makanya perlu diatur,” katanya. Sebenarnya, lanjut Made, dalam kaitan dengan aspek norma sudah diatur.
Misalnya, pejabat harus berintegritas, memiliki kode etik, dan berkompeten. Namun, ini tidak diterjemahkan secara jelas, terutama maksud dari berintegritas. “Orang Indonesia kalau tidak benar-benar ada kalimat di dalam undang-undang pasti akan berkelit,” paparnya. Dia pun berharap aturan teknis UU ASN nantinya dapat menerjemahkan aspek norma tersebut.
Dengan begitu, tidak ada lagi ruang untuk berkelit. Sejak dilantik KASN sudah mulai mengawasi mekanisme pengangkatan pejabat tinggi. Bahkan, KASN sebagaimana yang diatur undang-undang, dapat memanggil dan meminta klarifikasi atas pengangkatan pejabat tinggi.
“Sekda DKI Jakarta pernah kami panggil untuk memastikan proses pengangkatannya. Tapi, tentu kerja kami harus dibantu masyarakat. Tanpa informasi dari masyarakat sulit kami jangkau seluruh Indonesia,” ujarnya.
Dita angga
“Sekda paling strategis. Bahkan dalam hal pengaruh di tataran birokrasi, kepala daerah nomor dua. Nomor satunya sekda,” ungkap Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pemekaran dan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng kepada KORAN SINDO kemarin. Endi mengatakan, posisi strategis itulah yang menyebabkan pemilihan sekda rawan dipolitisasi.
Karena itu, terbuka peluang pemilihan sekda bukan karena kompetensi, tapi lebih didasarkan hitung-hitungan politik. “Pasti ada permainan. Misalnya, kepala daerah berusaha menempatkan sekda yang tidak hanya kompeten, tapi loyal, patuh, dan taat. Bahkan terkadang asal pilih. Biasanya begitu,” ujarnya. Adanya Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan UU Pemerintah Daerah (Pemda) mengokohkan posisi sekda di daerah.
Sekda dapat dikatakan penguasa birokrasi karena mengurus rekrutmen, promosi, demosi, hingga pensiun aparat di daerah. “Tidak hanya soal birokrasi, pengambilan keputusan penting juga melibatkan sekda. Di daerah memang yang memegang jabatan politik adalah kepala daerah, tapi otaknya sekda,” ungkapnya.
Dalam kasus seorang terdakwa yang terpilih sebagai sekda Sumut, Endi menilai ada dua kemungkinan. Antara lain, buruknya basis data yang dimiliki pemerintah pusat atau adanya permainan politik pusat di daerah. “Aneh memang jika pemerintah pusat tidak tahu ada kandidat sekda berstatus terdakwa. Itu kan informasi yang bahkan sangat mudah kita temukan di internet,” katanya.
Padahal, dengan mekanisme pemilihan yang sekarang ini seharusnya dapat meminimalisasi politisasi dan kepala daerah tidak memilih sekda sesukanya. Sebab, pemerintah pusatlah yang memilih nama sekda dari calon yang diusulkan kepala daerah.
“Ini sangat ironis. Posisi strategis itu jangan sampai diisi oleh orang yang sembarangan. Bayangkan jika sekdanya terdakwa akan jadi apa bawahannya nantinya? Bagaimana sapu kotor dapat menyapu lantai dengan bersih,” gugatnya. Karena itu, dalam hal pengangkatan sekda, Endi mengatakan perlu adanya pembenahan basis data kepegawaian, terutama jabatan strategis seperti kepala dinas, kepala kantor, atau kepala badan.
“Jadi mereka tidak hanya terima yang disodorkan, tapi juga cari tahu informasi tambahan tentang kandidat sekda,” ujarnya. Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) I Made Suwandi mengatakan, sekda adalah bosnya birokrasi. Sebab, pengusulan pejabat daerah haruslah melalui sekda. Menurut dia, dalam hal pengangkatan pejabat terdapat aspek norma dan aspek hukum.
Lolosnya pejabat bermasalah karena dalam aspek hukum tidak diatur secara lengkap. “Larangan pejabat tersangka atau terpidana ini belum diatur. Makanya, mereka selalu menggunakan celah ini untuk berkelit. Padahal yang karier politik saja jika terpidana langsung dinonaktifkan. Makanya perlu diatur,” katanya. Sebenarnya, lanjut Made, dalam kaitan dengan aspek norma sudah diatur.
Misalnya, pejabat harus berintegritas, memiliki kode etik, dan berkompeten. Namun, ini tidak diterjemahkan secara jelas, terutama maksud dari berintegritas. “Orang Indonesia kalau tidak benar-benar ada kalimat di dalam undang-undang pasti akan berkelit,” paparnya. Dia pun berharap aturan teknis UU ASN nantinya dapat menerjemahkan aspek norma tersebut.
Dengan begitu, tidak ada lagi ruang untuk berkelit. Sejak dilantik KASN sudah mulai mengawasi mekanisme pengangkatan pejabat tinggi. Bahkan, KASN sebagaimana yang diatur undang-undang, dapat memanggil dan meminta klarifikasi atas pengangkatan pejabat tinggi.
“Sekda DKI Jakarta pernah kami panggil untuk memastikan proses pengangkatannya. Tapi, tentu kerja kami harus dibantu masyarakat. Tanpa informasi dari masyarakat sulit kami jangkau seluruh Indonesia,” ujarnya.
Dita angga
(ars)