Tak Harus Kaya untuk Berbagi
A
A
A
Keberhasilan Untung dalam mengurangi lahan kritis Bondowoso tak terlepas dari dukungan keluarga serta kerja sama dengan berbagai pihak. Bentuk dukungan dari keluarga ditunjukkan oleh sang istri, Suwarsih.
Suwarsih tidak keberatan kala Untung memutuskan menyisihkan sepertiga dari gajinya untuk dibelikan bibit pohon. Suwarsih mendukung penuh keinginan Untung untuk menghijaukan kembali lahan Bondowoso yang tandus. Meski berarti, Suwarsih harus pintar mengatur keuangan keluarga.
“Kami berada jauh dari pemerintahan, jadi harus dilakukan secara swadaya. Menurut saya, tak harus menunggu kaya untuk berbagi. Jika bisa berbuat kebaikan sekarang, mengapa harus ditunda,” ucap pria kelahiran Bondowoso, 30 Mei 1952 ini. Dalam menjalankan misinya, Untung merangkul seluruh masyarakat dan kalangan lintas agama. Untuk seluruh kegiatan sosialnya, Untung melibatkan para kyai, pendeta, room, dan bhiksuni.
Serta, mengajak para pemuda Islam, Nasrani, Budha, hingga Konghucu untuk terlibat aktif melakukan konservasi hutan. Selain ditujukan untuk konservasi lingkungan, apa yang Untung lakukan juga sebagai upaya menciptakan suasana kerukunan dan keharmonisan hidup antarsesama.
“Konflik agama itu sungguh menyesakkan. Pada 1998, seluruh gereja di Situbondo dibakar. Hal ini menunjukkan mudahnya masyarakat dihasut untuk melukai orang lain. Oleh sebab itu, saya merangkul semua unsur agama dalam berkegiatan agar tercipta kerukunan hidup,” tutur alumnus Universitas Bondowoso ini. Orang tua zaman dulu, Untung menuturkan, ketika memakan buah akan selalu memilih biji yang baik untuk kemudian ditanam.
Berkaca pada kearifan orang tua, Untung melibatkan ratusan anak santri dan anak sekolah untuk mulai menanam. Dengan begitu, anak-anak ini bisa menyentuh tanah dan menanam bibit pohon. Toh, imbuh Untung, dalam waktu lima tahun ke depan mereka bisa merasakan manfaatnya. “Dari bibit pohon yang ditanam tersebut, mereka sudah mewarisi adik masing-masing supaya bisa mendapatkan biaya sekolah dan memenuhi kebutuhan pesantren,” kata Untung.
Ema malini
Suwarsih tidak keberatan kala Untung memutuskan menyisihkan sepertiga dari gajinya untuk dibelikan bibit pohon. Suwarsih mendukung penuh keinginan Untung untuk menghijaukan kembali lahan Bondowoso yang tandus. Meski berarti, Suwarsih harus pintar mengatur keuangan keluarga.
“Kami berada jauh dari pemerintahan, jadi harus dilakukan secara swadaya. Menurut saya, tak harus menunggu kaya untuk berbagi. Jika bisa berbuat kebaikan sekarang, mengapa harus ditunda,” ucap pria kelahiran Bondowoso, 30 Mei 1952 ini. Dalam menjalankan misinya, Untung merangkul seluruh masyarakat dan kalangan lintas agama. Untuk seluruh kegiatan sosialnya, Untung melibatkan para kyai, pendeta, room, dan bhiksuni.
Serta, mengajak para pemuda Islam, Nasrani, Budha, hingga Konghucu untuk terlibat aktif melakukan konservasi hutan. Selain ditujukan untuk konservasi lingkungan, apa yang Untung lakukan juga sebagai upaya menciptakan suasana kerukunan dan keharmonisan hidup antarsesama.
“Konflik agama itu sungguh menyesakkan. Pada 1998, seluruh gereja di Situbondo dibakar. Hal ini menunjukkan mudahnya masyarakat dihasut untuk melukai orang lain. Oleh sebab itu, saya merangkul semua unsur agama dalam berkegiatan agar tercipta kerukunan hidup,” tutur alumnus Universitas Bondowoso ini. Orang tua zaman dulu, Untung menuturkan, ketika memakan buah akan selalu memilih biji yang baik untuk kemudian ditanam.
Berkaca pada kearifan orang tua, Untung melibatkan ratusan anak santri dan anak sekolah untuk mulai menanam. Dengan begitu, anak-anak ini bisa menyentuh tanah dan menanam bibit pohon. Toh, imbuh Untung, dalam waktu lima tahun ke depan mereka bisa merasakan manfaatnya. “Dari bibit pohon yang ditanam tersebut, mereka sudah mewarisi adik masing-masing supaya bisa mendapatkan biaya sekolah dan memenuhi kebutuhan pesantren,” kata Untung.
Ema malini
(bbg)