Griya yang Memberikan Relaksasi
A
A
A
Jika sebagian orang memilih bepergian ke mal atau pusat rekreasi untuk menghilangkan penat usai bekerja dalam sepekan, hal berbeda justru dipilih Kepala Riset MNC Securities Edwin Sebayang. Ketimbang memboyong anak dan istrinya keluar, Edwin lebih senang menikmati waktu bersama di dalam rumah kala akhir pekan.
Edwin dan istri sengaja mendesain hunian mereka senyaman mungkin dan melengkapinya dengan berbagai fasilitas. Ada kolam renang untuk berolahraga, alat karaoke untuk hiburan, dan tentu saja suasana homey yang membuat penghuninya betah berada di rumah. Hal ini ia lakukan agar ketika pulang benar-benar bisa refreshing dan relaxing.
Selain itu, dengan berbagai fasilitas yang ada, aktivitas di luar rumah bisa dikurangi. “Bagaimana caranya agar rumah benarbenar menjadi tempat untuk melepas lelah, rumah sebagai tempat memanjakan diri. Dengan begitu, pulang ke rumah ya untuk beristirahat,” kata Edwin kepada KORAN SINDO saat dijumpai di kediamannya, kawasan Cimanggis, Depok, beberapa waktu lalu.
Bagi Edwin, rumah merupakan tempat berkumpul dan membangun komunikasi keluarga. Pria berdarah Sumatera Utara ini juga memaknai rumah sebagai tempat relaksasi dan menggali inspirasi untuk menulis. Soal relaksasi, Edwin tidak muluk-muluk. Cukup dengan berlari keliling kompleks, berenang, berkaraoke, atau menonton. Relaksasi yang bisa ia lakukan di rumahnya.
Griya nan homey ditambah lingkungan yang tenang membuat Edwin ogah beranjak dari kediamannya. Di lingkungan sini, Edwin mengatakan, suasana kampung masih terasa. Alasan ketenangan itulah yang membuat Edwin membangun istananya di kawasan Cimanggis. “Masa sudah lelah bekerja di Jakarta dengan segala kepadatan dan kebisingan, begitu tiba di rumah juga masih dihadapkan pada keramaian?” ujar ayah Adriel Reuben itu.
Edwin dan keluarga mulai menempati griya seluas 370 meter persegi (m2) ini sejak Juli 2014. Meski terbilang baru, mereka tidak merasa asing dengan lingkungan kompleks ini. Maklum, mereka sudah tinggal di dalam perumahan ini selama tujuh tahun. Sebelumnya mereka mendiami rumah yang juga berada di kompleks ini selama sekitar enam tahun.
“Lingkungan yang tenang dan dekat dengan akses tol membuat kami jatuh cinta pada perumahan ini,” ucap pria berkaca mata itu. Edwin menuturkan, rumah yang terdahulu ukurannya relatif kecil. Sebagai orang Batak dan kerap mengadakan kumpul keluarga, ia membutuhkan ruang gerak yang lebih leluasa. Biasanya, mereka mengadakan pertemuan keluarga untuk arisan atau kebaktian.
Oleh karenanya, Edwin membeli dua kavling tanah dan mulai membangun griya sesuai dengan yang diinginkan. “Intinya, kami ingin konsep rumah yang banyak ruang plong, sedikit sekat atau lekuk-lekuk agar bisa mengakomodasi aktivitas saat pertemuan keluarga. Kami berasal dari keluarga besar,” kata Edwin.
Selain ruang plong, keberadaan ruang terbuka juga menjadi salah satu perhatian Edwin dan keluarga. Hal ini dimaksudkan agar sirkulasi udara dan cahaya berjalan baik. Untuk itu, mereka tidak memaksimalkan seluruh lahan dijadikan bangunan. Di bagian belakang dibuat taman dan kolam renang. Di teras belakang ini pula biasanya mereka melakukan barbeque.
Di antara berbagai ruang yang ada pada griya bertingkat ini, ruang televisi dan kamar menjadi area favorit bagi Edwin beserta istri. “Kamar utama menghadap kolam renang biar seolah-olah berada di sebuah vila di Bali. Konsep kami buat-buat sendiri saja, ha ha ha ,” seloroh istri Edwin, Fahma Riniarti. Proses pembangunan rumah di lahan seluas 500 m2 ini membutuhkan waktu sekitar satu tahun.
Pembangunan disesuaikan kontur tanah yang menanjak sehingga posisi bangunan berada lebih tinggi dari jalanan. Selain itu, rumah ini juga tampak menonjol dari rumah lain di sekitarnya dengan polesan cat warna putih untuk bagian eksterior. Tak heran jika griya mereka dijuluki sebagai white house.
Untuk konsep dan desain interior, Edwin mempercayakannya kepada sang istri, Rini, sapaan Fahma. Rini memilih gaya klasik Amerika sebagai desain hunian mereka. Pemilihan gaya rumah ini terinspirasi saat Rini berpelesir ke Negeri Paman Sam. “Saya tidak suka minimalis, tapi juga tidak terlalu suka Victorian Klasik karena menurut saya kesannya berat. Begitu ke Amerika, kok konsep rumah mereka menarik ya.
Akhirnya, kami menerapkan konsep klasik Amerika dengan sentuhan yang lebih ringan,” ujar Rini. Pemilihan warna putih pada fasad makin menegaskan nuansa klasik Amerika yang diusung. Menurut Rini, desain klasik Amerika hanya menonjol di bagian eksterior.
Sementara untuk desain interior lebih beragam. Ada sentuhan modern, juga etnik dari penggunaan kayu jati untuk furnitur. “Sampai sekarang kami masih tahap mengisi rumah karena baru setengah tahun tinggal di sini,” kata perempuan berdarah Jawa itu.
Ema malini
Edwin dan istri sengaja mendesain hunian mereka senyaman mungkin dan melengkapinya dengan berbagai fasilitas. Ada kolam renang untuk berolahraga, alat karaoke untuk hiburan, dan tentu saja suasana homey yang membuat penghuninya betah berada di rumah. Hal ini ia lakukan agar ketika pulang benar-benar bisa refreshing dan relaxing.
Selain itu, dengan berbagai fasilitas yang ada, aktivitas di luar rumah bisa dikurangi. “Bagaimana caranya agar rumah benarbenar menjadi tempat untuk melepas lelah, rumah sebagai tempat memanjakan diri. Dengan begitu, pulang ke rumah ya untuk beristirahat,” kata Edwin kepada KORAN SINDO saat dijumpai di kediamannya, kawasan Cimanggis, Depok, beberapa waktu lalu.
Bagi Edwin, rumah merupakan tempat berkumpul dan membangun komunikasi keluarga. Pria berdarah Sumatera Utara ini juga memaknai rumah sebagai tempat relaksasi dan menggali inspirasi untuk menulis. Soal relaksasi, Edwin tidak muluk-muluk. Cukup dengan berlari keliling kompleks, berenang, berkaraoke, atau menonton. Relaksasi yang bisa ia lakukan di rumahnya.
Griya nan homey ditambah lingkungan yang tenang membuat Edwin ogah beranjak dari kediamannya. Di lingkungan sini, Edwin mengatakan, suasana kampung masih terasa. Alasan ketenangan itulah yang membuat Edwin membangun istananya di kawasan Cimanggis. “Masa sudah lelah bekerja di Jakarta dengan segala kepadatan dan kebisingan, begitu tiba di rumah juga masih dihadapkan pada keramaian?” ujar ayah Adriel Reuben itu.
Edwin dan keluarga mulai menempati griya seluas 370 meter persegi (m2) ini sejak Juli 2014. Meski terbilang baru, mereka tidak merasa asing dengan lingkungan kompleks ini. Maklum, mereka sudah tinggal di dalam perumahan ini selama tujuh tahun. Sebelumnya mereka mendiami rumah yang juga berada di kompleks ini selama sekitar enam tahun.
“Lingkungan yang tenang dan dekat dengan akses tol membuat kami jatuh cinta pada perumahan ini,” ucap pria berkaca mata itu. Edwin menuturkan, rumah yang terdahulu ukurannya relatif kecil. Sebagai orang Batak dan kerap mengadakan kumpul keluarga, ia membutuhkan ruang gerak yang lebih leluasa. Biasanya, mereka mengadakan pertemuan keluarga untuk arisan atau kebaktian.
Oleh karenanya, Edwin membeli dua kavling tanah dan mulai membangun griya sesuai dengan yang diinginkan. “Intinya, kami ingin konsep rumah yang banyak ruang plong, sedikit sekat atau lekuk-lekuk agar bisa mengakomodasi aktivitas saat pertemuan keluarga. Kami berasal dari keluarga besar,” kata Edwin.
Selain ruang plong, keberadaan ruang terbuka juga menjadi salah satu perhatian Edwin dan keluarga. Hal ini dimaksudkan agar sirkulasi udara dan cahaya berjalan baik. Untuk itu, mereka tidak memaksimalkan seluruh lahan dijadikan bangunan. Di bagian belakang dibuat taman dan kolam renang. Di teras belakang ini pula biasanya mereka melakukan barbeque.
Di antara berbagai ruang yang ada pada griya bertingkat ini, ruang televisi dan kamar menjadi area favorit bagi Edwin beserta istri. “Kamar utama menghadap kolam renang biar seolah-olah berada di sebuah vila di Bali. Konsep kami buat-buat sendiri saja, ha ha ha ,” seloroh istri Edwin, Fahma Riniarti. Proses pembangunan rumah di lahan seluas 500 m2 ini membutuhkan waktu sekitar satu tahun.
Pembangunan disesuaikan kontur tanah yang menanjak sehingga posisi bangunan berada lebih tinggi dari jalanan. Selain itu, rumah ini juga tampak menonjol dari rumah lain di sekitarnya dengan polesan cat warna putih untuk bagian eksterior. Tak heran jika griya mereka dijuluki sebagai white house.
Untuk konsep dan desain interior, Edwin mempercayakannya kepada sang istri, Rini, sapaan Fahma. Rini memilih gaya klasik Amerika sebagai desain hunian mereka. Pemilihan gaya rumah ini terinspirasi saat Rini berpelesir ke Negeri Paman Sam. “Saya tidak suka minimalis, tapi juga tidak terlalu suka Victorian Klasik karena menurut saya kesannya berat. Begitu ke Amerika, kok konsep rumah mereka menarik ya.
Akhirnya, kami menerapkan konsep klasik Amerika dengan sentuhan yang lebih ringan,” ujar Rini. Pemilihan warna putih pada fasad makin menegaskan nuansa klasik Amerika yang diusung. Menurut Rini, desain klasik Amerika hanya menonjol di bagian eksterior.
Sementara untuk desain interior lebih beragam. Ada sentuhan modern, juga etnik dari penggunaan kayu jati untuk furnitur. “Sampai sekarang kami masih tahap mengisi rumah karena baru setengah tahun tinggal di sini,” kata perempuan berdarah Jawa itu.
Ema malini
(bbg)