Reinterpretasi Lukisan Monokrom

Minggu, 18 Januari 2015 - 09:35 WIB
Reinterpretasi Lukisan...
Reinterpretasi Lukisan Monokrom
A A A
Awal tahun ini ruang seni dibuka cukup istimewa oleh Galeri Nasional Indonesia (GNI). Pameran Seni Kontemporer Empty Fullness: Materialitas dan Spiritualitas dalam Seni Modern Korea, seolah menjadi jawaban atas pertanyaan kapan pameran karya seni selain Barat bisa ditampilkan.

Digelar sejak 9-20 Januari di Gedung A GNI, para pengunjung dibawa untuk berkenalan dengan seni modern Korea, tentunya di luar Korean- Pop (K-Pop) ataupun drama- drama romantis Korea yang sedang bergema. Memang tidak mudah mengenal atau memahami goresan tangan sang seniman Korea.

Namun, pameran yang dikuratori Chung Joon-Mo (Kepala Kurator dan Direktur Seni), Park Young-Rin, dan Asikin Hasan ini setidaknya bisa memberikan sisi lain atau perspektif lain tentang dunia seni di Korea. Pameran ini menonjolkan keindahan lukisan monokrom, yakni lukisan yang menjadi poros besar dalam seni kontemporer Korea, dan seni moderat yang berperan sebagai poros dasar dari budaya Korea.

Keduanya digabungkan untuk memperkenalkan kebudayaan cendekiawan Korea yang bisa dinilai sederhana namun anggun, berbeda dari seni minimalis Barat. Konsep pameran berupa pengosongan secara material, yakni sekitar 52 karya yang ditampilkan. Terdiri atas 47 lukisan yang menonjolkan keindahan lukisan monokrom, dan lima keramik yang disebar.

Kesemuanya ini merupakan hasil olah tangan 16 seniman Korea yang berhasil menunjukkan keindahan ”Guci Bulan: yang memiliki dunia spiritual berlimpah. Mereka adalah Choi Myoung-Young, Chung Chang- Sup, Chung Sang-Hwa, Ha Chong-Hyun, Jang Seung-Taik, Kim Taek-Sang, Kim Yik-Yung, Kwon Dae-Sup, Kwon Young- Woo, Lee Gee-Jo, Lee Kang- Hyo, Min Byung-Hun, Moon Beom, Park Ki-Won, Wen Ping, dan Yun Hyong-Keu.

Yang cukup unik, karya seni di pameran ini sebagian besar ditampilkan alami atau apa adanya. Kebanyakan karya memang dibiarkan kosong dengan banyak permainan warna. Seperti karya Kim Taek-Sang berjudul Breath Hue-Gently...softly yang menampilkan warna oranye segar atau BreathHu-Violet yang menampilkan warna violet serta Breath Hue-Smoke dengan warna biru muda agak pudar.

Lalu karya Jang Seung-Taik yang berjudul Floating Circle sebanyak enam karya seni. Semua terlihat seperti cermin yang memiliki bayangan segumpal noda. Namun, ketika dilihat dari jarak dekat, noda-noda itu pun berbentuk seperti garis-garis yang melingkar dan mengambang. Para pengunjung pun terlihat begitu antusias melihat apa dan bagaimana seni modern negeri ginseng itu.

Selama ini, mungkin mereka hanya mengenal Korea dari K-Pop dan berbagai judul drama Korea yang begitu romantis dan menguras air mata. Tak heran banyak pengunjung didominasi oleh kalangan muda. Mereka pun tak ingin membuang waktu lagi, dan dengan sigap langsung melakukan pemotretan ala selfie . Sebelum sampai di Tanah Air, pameran ini telah terlebih dahulu mendarat di Shanghai, Beijing, Jerman, Hungaria dan negara lain di Eropa.

Pameran ini juga sekaligus menandai perjalanan 1 tahun dari Program Bisnis Pusat Kebudayaan Asing yang bertujuan untuk menempatkan diri sebagai salah satu poros dari budaya universal. Acara pun semakin lengkap dengan kehadiran Duta Besar (Dubes) Korea Selatan (Korsel) Cho Tai-Young yang membuka pameran secara resmi beserta Kepala GNI Tubagus Andre Sukmana pada Jumat (09/01) pekan lalu.

Sulit Menjelaskan

Menurut Chung Joon-Mo, memang tidak mudah untuk menjelaskan asal mula seni rupa kontemporer Korea. Tidak seperti karakteristik dan keaslian bentuk seni rupa dari Asia, Amerika Latin, dan bagian dari Timur Tengah (Timteng), yang lebih mudah untuk didefinisikan. Langkah ini pun diibaratkan seperti menyentuh seekor gajah dengan mata tertutup.

Mengapa? karena keberagaman dan kompleksitas terminologi ketika kita membicarakan tentang seni rupa negara-negara non-Eropa dalam memaknai kontemporer, yang mengindikasikan sebuah konsep waktu. Hal yang sama diterapkan dalam mendefinisikan Reduksionisme Korea, Dansaekhwehwa (lukisan monokrom), Dansaekhwa dan Danhwa, yang merupakan bentuk representatif dari seni rupa kontemporer Korea.

Dia mengungkapkan, dari segi style, lukisan monokrom di Korea mirip dengan lukisan minimalis di Amerika dan Eropa pada era 1960-an. Karena itu, lukisan monokrom Korea tampak mengikuti konsep minimalisme yang menjangkau realitas murni dengan meminimalkan teknik dan dramatisasi Barat serta menyatukan aktualitas dengan karya seni rupa sebagai esensi dari objek.

Meski seni rupa Korea di tahun 1970-an dipengaruhi oleh angin globalisasi dan internalisasi, namun sungguh sebuah kesalahan yang serius jika menganggap konten lukisan monokrom Korea serupa dengan minimalisme Barat hanya dengan melihat kemiripan gayanya.

Selain itu, tim kurator juga sepakat jika mengategorisasikan karya monokrom Korea generasi pertama dan generasi kedua sebagai satu kecenderungan hanya karena kesamaan bentuknya juga merupakan kesalahan yang harus dihindari. Lukisan monokrom generasi pertama memiliki basis yang kuat pada tradisi Konfusius dan semangat Seonbi (lelaki terpelajar).

Sedangkan generasi kedua lebih banyak terpengaruh oleh modernisme. Bagaimanapun, karya-karya kedua generasi tersebut sama-sama berusaha untuk merestorasi seni rupa tradisional dan menyatu dengan alam, yang sulit dilakukan selama masa kolonial.

Terutama ada ciri khas yang membedakan lukisan Korea dengan minimalisme Barat seperti kerandoman dan abstraksi yang tidak terencana. Selain itu, lukisan Korea menyajikan aspek umum dari transformasi perspektif tradisional terhadap alam dan warisan tradisi serta transisi kreatifnya.

Meskipun lukisan Korea memiliki beragam aspek seperti aktivisme, strukturalisasi permukaan datar, netralisasi, hubungan, orisinalitas, spiritualitas, identifikasi, integrasi materialitas dan lukisan, serta berdasarkan kesederhanaan dan berpegang teguh pada tradisi Korea, namun kecenderungan tersebut dikelompokkan sebagai lukisan monokrom Korea terlepas dari karakteristik individunya.

Melalui pameran ini, tim kurator berharap bisa menginterpretasikan kembali lukisan monokromKoreaterutamaterfokus pada strukturalisasi permukaan datar, netralisasi, dan penyatuan materialitas dan lukisan. Terutama Dalhangari (guci bulan), salah satu keramik tradisional Korea yang memberikan petunjuk untuk membaca penyatuan karakteristik gaya dan konten atau perbedaan di antara keduanya.

Tubuh dari Dalhangari tampak seksi dan bentuk bundarnya sangat halus. Karena sulitnya teknik pembentukan bagian tengah dari tubuh utama tersebut, bagian atas dan bawahnya dibuat terpisah dan kemudian disatukan. Karena guci tanah liat yang masih basah tersebut dikeringkan kemudian dipanggang dalam oven, bentuknya menjadi terdistorsi (terpiuh) dan bertransformasi menjadi karakteristiknya sendiri.

Oleh karena itu, harapan pengunjung untuk membaca kekuatan tersembunyi atau memaknai dibalik lukisan monokrom akan memberi makna tersendiri dari guci tersebut. Bentuk itu sendiri sering dimengerti sebagaia speklain dari konten atau sebagai sebuah cara. Bagaimanapun juga, lukisan monokrom Korea masih eksis melampaui atau sebelum sebuah bentuk ketimbang bentuk itu sendiri sebagai sebuah konten.

Susi susanti
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0736 seconds (0.1#10.140)