Tiga Problem Klasik Belum Teratasi

Jum'at, 16 Januari 2015 - 10:01 WIB
Tiga Problem Klasik...
Tiga Problem Klasik Belum Teratasi
A A A
JAKARTA - Sudah 11 tahun bus Transjakarta melayani masyarakat. Selama ini banyak keluhan muncul. Tiga masalah klasik yakni kedatangan antarbus (headway) masih lama, sterilisasi jalur, dan sulit mendapatkan bahan bakar gas (BBG) hingga kini belum tertangani.

Sejumlah cara sudah diambil pengelola untuk memaksimalkan pelayanan Transjakarta salah satunya mengubah sistem. Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) PT Transportasi Jakarta Sri Kuncoro mengatakan, sistem yang ada saat ini belum dapat meningkatkan pelayanan.

Penyebabnya masih banyak gesekan antara operator dan pengelola. “Saya 30 tahun di kereta api. Dahulu banyak penumpang yang berada di atas kereta. Karena sistem pembelian tiket diubah, saat ini tidak ada lagi yang menumpang di atas. Artinya, salah satu cara yang efektif adalah mengubah sistem,” kata Sri Kuncoro dalam diskusi Refleksi 11 Tahun Transjakarta di Kantor KPBB, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat kemarin.

Terkait sistem, Sri Kuncoro menjelaskan, pertama, yang akan dikerjakan dalam waktu dekat adalah memonitor operasional armada di satu ruangan (operational center /OC). Pemberangkatan bus di setiap koridor terpantau dan berjalan satu komando sehingga tidak ada lagi keterlambatan headway. Kedua , mengubah standar pelayanan minimal (SPM) antara operator dan pengelola.

Salah satunya pemberian sanksi bagi operator yang armada terlambat, mogok, dan terbakar. Sanksi bisa berupa membayar per kilometer kepada para operator yang terkena dampak, pemberhentian operasi, dan sebagainya. Mengenai sterilisasi jalur, PT Transportasi Jakarta akan bekerja sama dengan pihak kepolisian.

Entah itu menggunakan kamera pengintai (closed circuit television/CCTV) atau meminta polisi menjaga jalur Transjakarta. Mereka dibayar PT Transportasi Jakarta. “Jadi saya kepingin operator jelas dengan kita. Operator sangat kami butuhkan. SPM harus mutlak dan haram kalau mogok,” ucapnya.

Selain itu, mantan pengelola SDM PT Kereta Api Indonesia (KAI) ini juga akan membenahi sumber daya manusia (SDM) yang selama ini masih belum dapat memaksimalkan pelayanan, baik itu pramudi ataupun masinis, dan bagian perawatan. PT Transportasi Jakarta juga berencana membangun feeder busway yang terintegrasi dengan kereta api berikut fasilitas toilet dan tempat bisnis.

Jika perubahan ini berhasil, Sri Kuncoro optimistis bisa meningkatkan penumpang hingga 30% dari jumlah yang saat ini berjumlah 400.000 orang per hari. “Pramudi nanti akan digaji Rp7 juta. Kalau buruk, dia hanya mendapatkan Rp2 juta. Artinya, pendapatan tinggi harus dibarengi dengan profesionalitas dan risiko yang tinggi,” ungkapnya.

Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta Benjamin Bukit menegaskan, pihaknya akan membantu PT Transportasi Jakarta membenahi tiga permasalahan tersebut. “Semua kan kewenangan PT Transportasi Jakarta, mulai dari pengadaan dan sebagainya. Kami akan membantu memperlancar saja. Untuk BBG tahun ini akan dibangun 16 lokasi agar tidak ada lagi alasan mengantre BBG,” tuturnya.

Direktur Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas mengatakan, tidak mudah bagi direksi PT Transportasi Jakarta mewujudkan pelayanan yang lebih baik karena persoalannya terlalu kompleks. Baik menyangkut soal penyediaan infrastruktur, sarana, operasional, hingga sarana pendukung lain. Ini berbeda dengan kereta api yang memiliki jalur sendiri.

“Seluruh pihak terkait, baik operator, pengelola, maupun kepolisian harus bersinergi. Jangan mencari keuntungan, perlihatkan peningkatan ke pengguna,” ungkapnya. Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, sejak 2004 dari mulai badan pengelola, badan layanan umum (BLU), hingga badan usaha milik daerah (BUMD), pengelola busway belum dapat membenahi permasalahan headway, sterilisasi, dan pasokan BBG.

Apabila tiga permasalahan tersebut dapat dibenahi, kenyamanan pasti akan meningkat. “Meski sudah menjadi PT, pengelola Transjakarta tidak akan bisa berbuat banyak kalau tidak didukung para stakeholder ,” tuturnya.

Solusinya, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) harus berperan penuh dalam mendukung perbaikan pelayanan Transjakarta misalnya dalam pengadaan pasokan BBG. Jika kebijakan ini tidak dibarengi dengan pengadaan bus, dipastikan akan muncul permasalahan baru. Begitu juga dengan pemasangan CCTV dan pembangunan OC. Artinya, lanjut Tulus, Ahok tidak boleh sekadar mengancam, tetapi tidak ikut mengatasi permasalahan tersebut.

“Sejauh ini saya perhatikan Ahok hanya bisa mengancam dan menyerahkan sepenuhnya ke PT Transjakarta. Kalau tidak benar copot dirutnya. Itu bukan sifat seorang pemimpin,” ungkapnya.

Bima setiyadi
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7497 seconds (0.1#10.140)