Proses Peradilan Masih Bermasalah

Senin, 12 Januari 2015 - 10:49 WIB
Proses Peradilan Masih Bermasalah
Proses Peradilan Masih Bermasalah
A A A
JAKARTA - Proses peradilan di Indonesia dinilai masih bermasalah. Salah satu buktinya masih banyak pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK) atas vonis tingkat bawahnya.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan, jika putusan pengadilan tingkat pertama hingga kasasi sudah benar tanpa kehilangan fakta, pengajuan PK tidak akan banyak dilakukan. Jimly mengatakan, idealnya tidak perlu ada batasan pengajuan PK jika proses peradilan di Indonesia sudah matang. Bukan hanya batasan PK, kalimat PK berkali-kali pun seharusnya tidak perlu dilakukan.

Namun, ini bukan berarti menghilangkan para pencari keadilan atas haknya mengajukan PK. Apalagi, jika PK itu dikaitkan dengan hak asasi manusia (HAM) dan ditemukan fakta baru, sah-sah saja diajukan. Menurut dia, yang harus menjadi perhatian dari seluruh kalangan adalah bagaimana mengevaluasi sistem peradilan saat ini. “Sehingga tidak ada fakta ketinggalan. Kalau PK ini berkali-kali, artinya ada masalah dalam proses peradilan kita,” ungkap Jimly di Jakarta kemarin.

Dia menyebutkan, di negara yang sistem hukumnya sudah matang seperti Belanda, pembatasan perkara khususnya PK itu jarang ditemukan. Proses peradilan yang berjalan sudah benar-benar matang sehingga proses hukumnya tidak perlu sampai tingkat PK. Hal senada diungkapkan pakar hukum tata negara Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf.

Dia menilai, jika kualitas putusan pengadilan tingkat pertama sudah baik, tidak akan menyebabkan banyak tumpukkan perkara pengadilan tingkat lanjutan, baik itu tingkat banding, kasasi, maupun PK. Menurut dia, tidak perlu melihat jauh ke tingkat PK untuk mengukur apakah proses peradilan di Indonesia sudah tepat. Banyaknya upaya hukum kasasi yang diajukan para terdakwa, sudah bisa menunjukkan ada permasalahan dalam proses peradilan di Indonesia.

“Menumpuknya perkara menunjukkan masyarakat tidak terima dengan putusan di bawahnya. Itu tidak terselesaikan dengan baik, masih terasa tidak adil makanya mereka tidak puas,” paparnya. Salah satu bahan pertimbangan dalam mengevaluasi dunia peradilan bukan hanya sistemnya, melainkan juga kualitas dan integritas hakim serta penerapan prinsip pengadilan hukum yang cepat, sederhana, dan murah. “Kita lihat prinsip cepat itu berarti tidak perlu ada putusan yang lama dan sederhana. Jadi yang utama harus dibenahi itu aparat pengadilannya, bisa hakim juga penyidiknya,” ungkapnya.

Dia menilai, jika dilihat dari sistem peradilan saat ini, sebenarnya sudah cukup memadai. Namun, ke depan dia berharap pada MA untuk melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi (PT) khususnya fakultas hukum untuk mendesain calon hakim dari awal. Sebelumnya perbedaan pendapat terkait pengajuan PK sempat terjadi antara MA dan MK. Perbedaan itu muncul saat MA melalui surat edaran membatasi pengajuan PK hanya satu kali.

Edaran itu berlandaskan dua ketentuan yakni Pasal 24 ayat 2 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat 1 UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA. Keduanya mengatur pembatasan PK hanya satu kali. Ketua MA Hatta Ali pun menginstruksikan kepada ketua pengadilan tinggi di seluruh Indonesia untuk tidak mengirimkan berkas pengajuan PK ke MA.

Hatta Ali dalam jumpa pers Rabu (6/1) juga menegaskan lembaganya tidak akan menarik surat edaran tersebut. Namun, MA masih membolehkan pengajuan PK kepada pelaku tindak pidana maupun perdata jika putusan PK pertama yang telah diajukan bertentangan dengan putusan pengadilan sebelumnya. Peraturan tersebut termaktub dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009.

Surat edaran MA tersebut diterbitkan menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan Pasal 268 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam putusan tersebut, MK justru mengizinkan PK lebih dari satu kali.

Atas hal ini, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) pun mengambil langkah tegas. Kemenkumham mengumpulkan Kemenko Polhukam, Kejaksaan Agung, Komnas HAM, KPK, Kabareskrim Polri, Mahkamah Konstitusi (MK), dan Mahkamah Agung (MA) untuk membahas polemik ini. Dari pertemuan itu, disetujui sejumlah poin keputusan bersama.

Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly menyatakan, ada tiga poin yang tertuang dalam keputusan bersama untuk menindaklanjuti pengajuan PK serta pelaksanaan eksekusi hukuman mati. Dia mengatakan, sebagai jalan tengah polemik tersebut, akan dibuat peraturan pelaksana yang mengakomodasi putusan MK soal PK itu melalui peraturan pemerintah (PP).

Nurul adriyana
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6946 seconds (0.1#10.140)