Minyak, Senjata Ampuh Pertarungan Politik Dunia
A
A
A
Anjloknya harga minyak dunia bukan sekadar permainan ekonomi semata. Di belakang semua itu, ada skenario besar yang dimainkan negara-negara produsen minyak dunia. Skenario politik disebut sebagai motif utama dalam persaingan global sehingga terjadi saling sikut.
Drama minyak itu telah berlangsung selama beberapa bulan terakhir. Semua negara kini terkena dampaknya, baik positif maupun negatif. Lantas, siapakah yang memainkan politik minyak sejak Juni 2014 lalu hingga sekarang? Para analis politik menuding Arab Saudi dan Amerika Serikat (AS) menjadi dalang di balik anjloknya harga minyak dunia.
Mereka menggunakan pasar minyak yang terdepresi untuk menghancur musuh-musuhnya, khususnya Iran dan Rusia. Minyak bumi dapat menjadi senjata yang mematikan untuk melemahkan suatu negara, terutama dari segi ekonomi dan politik. Menurut Edward Lucas dari majalah Economist, Saudi maupun AS menggunakan minyak untuk melemahkan kekuasaan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Dunia tahu kalau Putin mampu membawa era keemasan bagi Rusia. Meski ada sanksi ekonomi AS dan Eropa terkait aneksasi Rusia terhadap Crimea dan permainan geopolitik di Ukraina timur, Moskow tetap tangguh dan percaya diri. Namun, turunnya harga minyak dunia belakangan ini membuat Rusia menyerah. Buktinya, Kremlin tak berkutik.
Pasalnya, Rusia merupakan produsen minyak terbesar ketiga di dunia. Rusia sangat tergantung dengan harga minyak. “Hampir separuh pendapatan Rusia berasal dari minyak dan gas,” tutur Lucas, dikutip Daily Mail . Harga minyak yang mencapai titik terendah dalam lima tahun terakhir, dibawah USD50/barel pada pekan lalu membuat Rusia hampir berhenti bernapas.
Harga minyak yang terlalu rendah itu mampu melemahkan rubel, mata uang Rusia. Itu menyebabkan kepanikan. Pergerakan uang keluar dari Rusia meningkattajam. Inimenjadimasa yang terburuk bagi Rusia. Dunia pun mengetahui bagaimana harga minyak yang sangat rendah mampu menghancurkan Uni Soviet pada 1991 karena melemahnya perekonomian.
Kini, minyak yang rendah menjadi ancaman serius atas kediktatoran Putin yang berusaha menghidupkan kembali kekaisaran Soviet. Pertanyaan kini, apakah Putin akan tumbang? Jawabannya dipastikan: Tidak! Putin mengungkapkan, jatuhnya harga minyak disebabkan manipulasi politik. Dia tidak menyalahkan negara tertentu yang memainkan skenario jahat itu.
“Komponen politik selalu menentukan harga minyak. Momen krisis juga disebabkan politik,” kata Putin dalam wawancara dengan media China yang dipublikasikan dalam situs kepresidenan Rusia. Putin telah memiliki strategi khusus. Dia tidak lagi menjual minyak dan gasnya ke pasar Eropa. Kedekatannya dengan negara-negara Asia Pasifik membuat Putin semakin percaya diri.
“Kita akan meningkatkan ekspor minyak dan gas ke negara-negara Asia-Pasifik,” tuturnya. China merupakan mitra terbaik Rusia di Asia yang menjadi pasar utama minyak Negeri Beruang Merah. Putin juga bukan pemimpin yang mudah menyerah atau pun mau mengalah. Dia tidak mau menempuh kesepakatan dengan negara-negara Eropa yang sudah terlanjur menabur sanksi.
Konsekuensi logisnya, Rusia tetap memiliki Crimea dan menanamkan pengaruhnya di Ukraina timur. Itu dianggap sebagai harga diri dan martabat negara yang berdaulat. Arab Saudi memang tidak terlalu peduli dengan langkah Rusia di Crimea dan Ukraina timur. Tapi, Riyadh sangat tidak suka dengan sikap Moskow dalam permainan politik dan perang di Suriah.
Dukungan Moskow terhadap Damaskus menjadikan Saudi berang. Apalagi, Presiden Suriah Bashar al-Assad sangat sulit ditumbangkan karena mendapatkan dukungan penuh dari Putin. Negara yang menjadi sasaran empuk dengan harga minyak yang terlalu rendah adalah Iran.
Teheran merupakan musuh politik bagi Saudi dan Arab. Teheran dan Riyadh merupakan kedua negara yang saling berkompetisi dalam segala hal. Keduanya merupakan rival abadi dalam beberapa abad terakhir. Arab Saudi merupakan muslimSunni. Sedangkan, Iran merupakan muslim Syiah. Iran menjadi pendukung utama munculnya gerakan demonstran dan pemberontakan di kawasan Timur Tengah, mulai dari Bahrain dan Yaman.
Warga Syiah minoritas di negara-negara Arab juga sudah mulai unjuk gigi. Iran dengan dukungan penganut Syiah ingin menggulingkan pemerintahan Sunni yang mendominasi negara-negara Arab. Saudi mengetahui kalau ada gejala pembangkangan warga Syiah di Arab Saudi karena provokasi Iran.
Riyadh bukannya memadamkan pergerakan di dalam negeri tetapi justru melemparkan senjata mematikan, yakni penurunan harga minyak dunia, kepada Iran. Harapan Saudi adalah Iran takluk dan menyerah karena minyak. “Riyadh tidak akan melakukan konfrontasi militer dengan Iran. Mereka selalu mencari cara lain untuk menghadapi Iran,” kata Michael Stephens, pakar Timur Tengah dari Royal United Services Institute (RUSI), Doha, Qatar.
“Hal paling mudah adalah mengurangi dompet Teheran. 60% eskpor Teheran adalah minyak,” tuturnya, dikutip BBC . Selain Rusia yang mendukung Suriah, Teheran menjadi aliansi utama Damaskus. Presiden Assad yang berhaluan Syiah menjadikan Teheran harus turun tangan dalam segala urusan berkaitan dengan Suriah.
Saudi sangat berkepentingan dengan tumbangnya Assad yang akan digantikan pemberontak dari kalangan Sunni. Riyadh beranggapan bahwa turunnya harga minyak mampu melemahkan dukungan Teheran terhadap Damaskus. Apakah Iran kalah dengan senjata minyak yang digunakan Saudi? Tidak! Berbeda dengan Putin yang tidak mau menyalahkan Saudi, Iran justru menuding Saudi memiliki tujuan politik dengan menurunkan harga minyak.
Menteri Perminyakan Iran Bijan Zanganeh menuding Saudi berniat untuk mempertahankan harga minyak tetap rendah untuk tujuan politik sementara. Hal senada juga diungkapkan Presiden Iran Hassan Rouhani. “Menurunnya harga minyak merupakan trik politik,” kata Rouhani, dikutip Teheran Times.
Selanjutnya, musuh yang ingin dilemahkan Saudi dan AS adalah Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). ISIS merupakan pecahan dari Al-Qaeda. Mereka telah menguasai sebagian wilayah Irak dan Suriah yang memiliki fasilitas pengilangan minyak. ISIS menjadi ancaman nyata jika terus menguasai minyak.
Seperti diungkapkan Robin Mills, analis energi yang berbasis di Dubai, Uni Emirat Arab, ISIS merupakan kelompok gerilyawan terkaya di dunia dengan pendapatan lebih dari USD3 juta per hari. “ISIS menjual minyak mentah ke pasar gelap. Karena itulah, ISIS selalu menargetkan wilayah yang memiliki kilang minyak sebagai daerah kekuasaan,” kata Mills, dikutip ABC News.
Dengan menurunnya harga minyak, ISIS akan mengalami kerugian terus menerus. Strategi yang dilakukan Saudi itu menyebabkan pasokan senjata bagi ISIS akan semakin menurun. Serangan di sektor minyak itu menjadi andalan utama Saudi, apalagi Riyadh tidak aktif dalam melakukan serangan militer ke basis udara ISIS di Irak dan Suriah.
Berapa Lama Minyak Jadi Senjata?
Ketika minyak dijadikan senjata, Saudi hanya akan bertahan dalam beberapa bulan. “Kalau realistis, hanya beberapa bulan. Jika harga minyak terus mengalami penurunan, Saudi mungkin akan memikirkan ulang strategi mereka,” tutur Michael Stephens, kolumnis BBC. Bagaimanapun, Saudi memiliki strategi lain dalam memainkan melemahkan kekuatan lawan. Saudi memiliki cadangan devisa negara mencapai USD741 miliar.
Pada akhir tahun fiskal saja surplusnya mencapai USD15 miliar. “Ini menunjukkan fakta kalau Saudi memiliki senjata yang kuat,” imbuh Stephens. Jawaban berbeda diungkapkan Edward Lucas, kolumnis Economist . Dia menganggap posisi Saudi masih kuat ketika mempertahankan harga minyak yang murah dalam hitungan tahun. Saudi memiliki cadangan minyak yang sangat besar.
“Saudi mampu mempertahankan harga minyak rendah itu dalam satu tahun hingga tiga tahun,” tuturnya. Sedangkan Menteri Perminyakan Arab Saudi Ali Naimi mengungkapkan, tidak ada keterkaitan antara penurunan harga minyak dan tujuan politik.
“Informasi dan analisis yang salah mengaitkan harga minyak dan politik,” tegas Naimi, dikutip New York Times . Dia mengungkapkan, tidak mungkin Saudi mengurangi produksi minyak dan memainkan harga. “Pasar minyak saat ini, kita sangat sulit mengontrol harga,” tuturnya.
Andika hendra m
Drama minyak itu telah berlangsung selama beberapa bulan terakhir. Semua negara kini terkena dampaknya, baik positif maupun negatif. Lantas, siapakah yang memainkan politik minyak sejak Juni 2014 lalu hingga sekarang? Para analis politik menuding Arab Saudi dan Amerika Serikat (AS) menjadi dalang di balik anjloknya harga minyak dunia.
Mereka menggunakan pasar minyak yang terdepresi untuk menghancur musuh-musuhnya, khususnya Iran dan Rusia. Minyak bumi dapat menjadi senjata yang mematikan untuk melemahkan suatu negara, terutama dari segi ekonomi dan politik. Menurut Edward Lucas dari majalah Economist, Saudi maupun AS menggunakan minyak untuk melemahkan kekuasaan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Dunia tahu kalau Putin mampu membawa era keemasan bagi Rusia. Meski ada sanksi ekonomi AS dan Eropa terkait aneksasi Rusia terhadap Crimea dan permainan geopolitik di Ukraina timur, Moskow tetap tangguh dan percaya diri. Namun, turunnya harga minyak dunia belakangan ini membuat Rusia menyerah. Buktinya, Kremlin tak berkutik.
Pasalnya, Rusia merupakan produsen minyak terbesar ketiga di dunia. Rusia sangat tergantung dengan harga minyak. “Hampir separuh pendapatan Rusia berasal dari minyak dan gas,” tutur Lucas, dikutip Daily Mail . Harga minyak yang mencapai titik terendah dalam lima tahun terakhir, dibawah USD50/barel pada pekan lalu membuat Rusia hampir berhenti bernapas.
Harga minyak yang terlalu rendah itu mampu melemahkan rubel, mata uang Rusia. Itu menyebabkan kepanikan. Pergerakan uang keluar dari Rusia meningkattajam. Inimenjadimasa yang terburuk bagi Rusia. Dunia pun mengetahui bagaimana harga minyak yang sangat rendah mampu menghancurkan Uni Soviet pada 1991 karena melemahnya perekonomian.
Kini, minyak yang rendah menjadi ancaman serius atas kediktatoran Putin yang berusaha menghidupkan kembali kekaisaran Soviet. Pertanyaan kini, apakah Putin akan tumbang? Jawabannya dipastikan: Tidak! Putin mengungkapkan, jatuhnya harga minyak disebabkan manipulasi politik. Dia tidak menyalahkan negara tertentu yang memainkan skenario jahat itu.
“Komponen politik selalu menentukan harga minyak. Momen krisis juga disebabkan politik,” kata Putin dalam wawancara dengan media China yang dipublikasikan dalam situs kepresidenan Rusia. Putin telah memiliki strategi khusus. Dia tidak lagi menjual minyak dan gasnya ke pasar Eropa. Kedekatannya dengan negara-negara Asia Pasifik membuat Putin semakin percaya diri.
“Kita akan meningkatkan ekspor minyak dan gas ke negara-negara Asia-Pasifik,” tuturnya. China merupakan mitra terbaik Rusia di Asia yang menjadi pasar utama minyak Negeri Beruang Merah. Putin juga bukan pemimpin yang mudah menyerah atau pun mau mengalah. Dia tidak mau menempuh kesepakatan dengan negara-negara Eropa yang sudah terlanjur menabur sanksi.
Konsekuensi logisnya, Rusia tetap memiliki Crimea dan menanamkan pengaruhnya di Ukraina timur. Itu dianggap sebagai harga diri dan martabat negara yang berdaulat. Arab Saudi memang tidak terlalu peduli dengan langkah Rusia di Crimea dan Ukraina timur. Tapi, Riyadh sangat tidak suka dengan sikap Moskow dalam permainan politik dan perang di Suriah.
Dukungan Moskow terhadap Damaskus menjadikan Saudi berang. Apalagi, Presiden Suriah Bashar al-Assad sangat sulit ditumbangkan karena mendapatkan dukungan penuh dari Putin. Negara yang menjadi sasaran empuk dengan harga minyak yang terlalu rendah adalah Iran.
Teheran merupakan musuh politik bagi Saudi dan Arab. Teheran dan Riyadh merupakan kedua negara yang saling berkompetisi dalam segala hal. Keduanya merupakan rival abadi dalam beberapa abad terakhir. Arab Saudi merupakan muslimSunni. Sedangkan, Iran merupakan muslim Syiah. Iran menjadi pendukung utama munculnya gerakan demonstran dan pemberontakan di kawasan Timur Tengah, mulai dari Bahrain dan Yaman.
Warga Syiah minoritas di negara-negara Arab juga sudah mulai unjuk gigi. Iran dengan dukungan penganut Syiah ingin menggulingkan pemerintahan Sunni yang mendominasi negara-negara Arab. Saudi mengetahui kalau ada gejala pembangkangan warga Syiah di Arab Saudi karena provokasi Iran.
Riyadh bukannya memadamkan pergerakan di dalam negeri tetapi justru melemparkan senjata mematikan, yakni penurunan harga minyak dunia, kepada Iran. Harapan Saudi adalah Iran takluk dan menyerah karena minyak. “Riyadh tidak akan melakukan konfrontasi militer dengan Iran. Mereka selalu mencari cara lain untuk menghadapi Iran,” kata Michael Stephens, pakar Timur Tengah dari Royal United Services Institute (RUSI), Doha, Qatar.
“Hal paling mudah adalah mengurangi dompet Teheran. 60% eskpor Teheran adalah minyak,” tuturnya, dikutip BBC . Selain Rusia yang mendukung Suriah, Teheran menjadi aliansi utama Damaskus. Presiden Assad yang berhaluan Syiah menjadikan Teheran harus turun tangan dalam segala urusan berkaitan dengan Suriah.
Saudi sangat berkepentingan dengan tumbangnya Assad yang akan digantikan pemberontak dari kalangan Sunni. Riyadh beranggapan bahwa turunnya harga minyak mampu melemahkan dukungan Teheran terhadap Damaskus. Apakah Iran kalah dengan senjata minyak yang digunakan Saudi? Tidak! Berbeda dengan Putin yang tidak mau menyalahkan Saudi, Iran justru menuding Saudi memiliki tujuan politik dengan menurunkan harga minyak.
Menteri Perminyakan Iran Bijan Zanganeh menuding Saudi berniat untuk mempertahankan harga minyak tetap rendah untuk tujuan politik sementara. Hal senada juga diungkapkan Presiden Iran Hassan Rouhani. “Menurunnya harga minyak merupakan trik politik,” kata Rouhani, dikutip Teheran Times.
Selanjutnya, musuh yang ingin dilemahkan Saudi dan AS adalah Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). ISIS merupakan pecahan dari Al-Qaeda. Mereka telah menguasai sebagian wilayah Irak dan Suriah yang memiliki fasilitas pengilangan minyak. ISIS menjadi ancaman nyata jika terus menguasai minyak.
Seperti diungkapkan Robin Mills, analis energi yang berbasis di Dubai, Uni Emirat Arab, ISIS merupakan kelompok gerilyawan terkaya di dunia dengan pendapatan lebih dari USD3 juta per hari. “ISIS menjual minyak mentah ke pasar gelap. Karena itulah, ISIS selalu menargetkan wilayah yang memiliki kilang minyak sebagai daerah kekuasaan,” kata Mills, dikutip ABC News.
Dengan menurunnya harga minyak, ISIS akan mengalami kerugian terus menerus. Strategi yang dilakukan Saudi itu menyebabkan pasokan senjata bagi ISIS akan semakin menurun. Serangan di sektor minyak itu menjadi andalan utama Saudi, apalagi Riyadh tidak aktif dalam melakukan serangan militer ke basis udara ISIS di Irak dan Suriah.
Berapa Lama Minyak Jadi Senjata?
Ketika minyak dijadikan senjata, Saudi hanya akan bertahan dalam beberapa bulan. “Kalau realistis, hanya beberapa bulan. Jika harga minyak terus mengalami penurunan, Saudi mungkin akan memikirkan ulang strategi mereka,” tutur Michael Stephens, kolumnis BBC. Bagaimanapun, Saudi memiliki strategi lain dalam memainkan melemahkan kekuatan lawan. Saudi memiliki cadangan devisa negara mencapai USD741 miliar.
Pada akhir tahun fiskal saja surplusnya mencapai USD15 miliar. “Ini menunjukkan fakta kalau Saudi memiliki senjata yang kuat,” imbuh Stephens. Jawaban berbeda diungkapkan Edward Lucas, kolumnis Economist . Dia menganggap posisi Saudi masih kuat ketika mempertahankan harga minyak yang murah dalam hitungan tahun. Saudi memiliki cadangan minyak yang sangat besar.
“Saudi mampu mempertahankan harga minyak rendah itu dalam satu tahun hingga tiga tahun,” tuturnya. Sedangkan Menteri Perminyakan Arab Saudi Ali Naimi mengungkapkan, tidak ada keterkaitan antara penurunan harga minyak dan tujuan politik.
“Informasi dan analisis yang salah mengaitkan harga minyak dan politik,” tegas Naimi, dikutip New York Times . Dia mengungkapkan, tidak mungkin Saudi mengurangi produksi minyak dan memainkan harga. “Pasar minyak saat ini, kita sangat sulit mengontrol harga,” tuturnya.
Andika hendra m
(bbg)