Pemerintah Terbitkan PP Pengajuan PK
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) akhirnya mengambil langkah tegas atas polemik upaya hukum pengajuan peninjauan kembali (PK) kasus pidana.
Kemarin Kemenkumham mengumpulkan Kemenko Polhukam, Kejaksaan Agung, Komnas HAM, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kabareskrim Polri, Mahkamah Konstitusi (MK), dan Mahkamah Agung (MA) untuk membahas polemik tersebut. Pertemuan itu menyetujui sejumlah poin keputusan bersama.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly menyatakan, ada tiga poin yang tertuang dalam keputusan bersama untuk menindaklanjuti pengajuan PK serta pelaksanaan eksekusi hukuman mati. Menurut Yasona, sebagai jalan tengah polemik tersebut akan dibuat peraturan pelaksana yang mengakomodasi putusan MK soal PK itu melalui peraturan pemerintah (PP).
Dengan adanya keputusan bersama ini, lanjut Yasona, pelaksanaan eksekusi mati tetap bisa dilakukan. Namun eksekusi ini hanya berlaku untuk terpidana mati yang pengajuan grasinya ditolak presiden. “Sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku,” tandas Yasona saat konferensi pers di Gedung Kemenkumham, Jakarta, kemarin.
Pada poin kedua, menurutnya, menindaklanjuti putusan MK Nomor 32 Tahun 2013, masih diperlukan peraturan pelaksanaan (dalam hal ini PP) secepatnya tentang pengajuan permohonan PK menyangkut pengertian novum, pembatasan waktu pengajuan, dan tata cara pengajuan PK. Adapun poin terakhir menyatakan, sebelum adanya peraturan pelaksana (PP), terpidana tidak dapat mengajukan PK berikutnya sesuai dengan undang- undang yang telah diputuskan MK.
Dengan demikian dapat dikatakan pengajuan PK berkalikali tidak bisa dijalankan hingga terbitnya PP. “Jadi, masih berlaku yang disebut dalam UU Kekuasaan Kehakiman (KK) dan UU MA. Nanti (pelaksanaan) teknisnya untuk mengakomodasi putusan MK ada dalam PP. Jadi itu tiga putusannya, mudah- mudahan perbedaan pendapat menyangkut antarlembaga dan hukum bisa diselesaikan,” tandas Yasona.
Dia pun mengungkapkan tidak menutup kemungkinan pengaturan pengajuan PK direvisi dalam KUHAP. Hanya saja, menurutya, revisi KUHAP masih di prolegnas dan bukan prioritas untuk diselesaikan tahun ini. Karena itu, perlu adanya PP untuk mengakhiri kesimpangsiuran atas PK. Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan, dengan selesainya polemik hukum pengajuan PK, eksekusi hukum (bagi terpidana mati) akan segera dilakukan.
“Grasi yang ditolak akan kita laksanakan (eksekusinya). Kalau orang sudah mengajukan grasi mengaku salah dan minta pengampunan, tidak ada upaya hukum lain,” tandasnya. Namun ketika ditanya langkah konkret pelaksanaan eksekusi, Prasetyo belum bisa memberikan jawaban pasti. Dia hanya mengatakan, setelah selesainya masalah hukum PK, terpidana mati yang ditolak grasinya akan dieksekusi.
“Ya kita sedang persiapkan lebih konkret lagi, waktunya, tempatnya, koordinasinya, kita segera laksanakan. Tempatnya kita pertimbangkan keamanan, lalu efektivitas,” paparnya. Adapun mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengatakan, seharusnya memang putusan MK dihormati dan dilaksanakan dengan baik.
Namun, permasalahannya, perihal teknis pengajuan PK, novum, dan batasan pengajuan PK belum diatur secara jelas. Adapun mengenai polemik hukum yang terjadi saat ini, MK hanya memutus PK pidana. Di sisi lain, dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA pun mengatur PK hanya satu kali. Karena itu, menurut UU diperbolehkan pengaturan teknis dalam PP sebagai eksekutif akta pelaksana UU untuk menjalankan UU sendiri.
“Boleh karena kebutuhan. Secara objektif ada kebutuhan untuk memerinci pengaturan normatifnya, batas waktu bagaimana. Bedanya yang pidana dan nonpidana bagaimana? Tidak boleh disamakan. Karena memang putusan MK hanya fokus pada human right, human right based,” ungkap Jimly. Jika sudah ada PP, lanjutnya, Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tidak bisa dijadikan acuan lagi.
“Nanti kalau ada PP, tentu PP harus ditaati oleh semua pejabat, termasuk para hakim,” tandasnya. Sebelumnya, polemik muncul saat MA melalui surat edaran membatasi pengajuan PK hanya satu kali. Edaran itu berlandaskan dua ketentuan, yakni Pasal 24 ayat 2 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat 1 UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA.
Keduanya mengatur pembatasan PK hanya satu kali. Ketua MA Hatta Ali pun menginstruksikan kepada ketua pengadilan tinggi di seluruh Indonesia untuk tidak mengirimkan berkas pengajuan PK ke MA. Hatta Ali dalam jumpa pers Rabu (6/1) juga menegaskan lembaganya tidak akan menarik surat edaran tersebut.
Namun MA masih membolehkan pengajuan PK kepada pelaku tindak pidana maupun perdata jika putusan PK pertama yang telah diajukan bertentangan dengan putusan pengadilan sebelumnya. Peraturan tersebut termaktub dalam SEMA Nomor 10 Tahun 2009. SEMA tersebut diterbitkan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan Pasal 268 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam putusan tersebut, MK mengizinkan PK lebih dari satu kali.
Nurul adriyana
Kemarin Kemenkumham mengumpulkan Kemenko Polhukam, Kejaksaan Agung, Komnas HAM, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kabareskrim Polri, Mahkamah Konstitusi (MK), dan Mahkamah Agung (MA) untuk membahas polemik tersebut. Pertemuan itu menyetujui sejumlah poin keputusan bersama.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly menyatakan, ada tiga poin yang tertuang dalam keputusan bersama untuk menindaklanjuti pengajuan PK serta pelaksanaan eksekusi hukuman mati. Menurut Yasona, sebagai jalan tengah polemik tersebut akan dibuat peraturan pelaksana yang mengakomodasi putusan MK soal PK itu melalui peraturan pemerintah (PP).
Dengan adanya keputusan bersama ini, lanjut Yasona, pelaksanaan eksekusi mati tetap bisa dilakukan. Namun eksekusi ini hanya berlaku untuk terpidana mati yang pengajuan grasinya ditolak presiden. “Sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku,” tandas Yasona saat konferensi pers di Gedung Kemenkumham, Jakarta, kemarin.
Pada poin kedua, menurutnya, menindaklanjuti putusan MK Nomor 32 Tahun 2013, masih diperlukan peraturan pelaksanaan (dalam hal ini PP) secepatnya tentang pengajuan permohonan PK menyangkut pengertian novum, pembatasan waktu pengajuan, dan tata cara pengajuan PK. Adapun poin terakhir menyatakan, sebelum adanya peraturan pelaksana (PP), terpidana tidak dapat mengajukan PK berikutnya sesuai dengan undang- undang yang telah diputuskan MK.
Dengan demikian dapat dikatakan pengajuan PK berkalikali tidak bisa dijalankan hingga terbitnya PP. “Jadi, masih berlaku yang disebut dalam UU Kekuasaan Kehakiman (KK) dan UU MA. Nanti (pelaksanaan) teknisnya untuk mengakomodasi putusan MK ada dalam PP. Jadi itu tiga putusannya, mudah- mudahan perbedaan pendapat menyangkut antarlembaga dan hukum bisa diselesaikan,” tandas Yasona.
Dia pun mengungkapkan tidak menutup kemungkinan pengaturan pengajuan PK direvisi dalam KUHAP. Hanya saja, menurutya, revisi KUHAP masih di prolegnas dan bukan prioritas untuk diselesaikan tahun ini. Karena itu, perlu adanya PP untuk mengakhiri kesimpangsiuran atas PK. Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan, dengan selesainya polemik hukum pengajuan PK, eksekusi hukum (bagi terpidana mati) akan segera dilakukan.
“Grasi yang ditolak akan kita laksanakan (eksekusinya). Kalau orang sudah mengajukan grasi mengaku salah dan minta pengampunan, tidak ada upaya hukum lain,” tandasnya. Namun ketika ditanya langkah konkret pelaksanaan eksekusi, Prasetyo belum bisa memberikan jawaban pasti. Dia hanya mengatakan, setelah selesainya masalah hukum PK, terpidana mati yang ditolak grasinya akan dieksekusi.
“Ya kita sedang persiapkan lebih konkret lagi, waktunya, tempatnya, koordinasinya, kita segera laksanakan. Tempatnya kita pertimbangkan keamanan, lalu efektivitas,” paparnya. Adapun mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengatakan, seharusnya memang putusan MK dihormati dan dilaksanakan dengan baik.
Namun, permasalahannya, perihal teknis pengajuan PK, novum, dan batasan pengajuan PK belum diatur secara jelas. Adapun mengenai polemik hukum yang terjadi saat ini, MK hanya memutus PK pidana. Di sisi lain, dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA pun mengatur PK hanya satu kali. Karena itu, menurut UU diperbolehkan pengaturan teknis dalam PP sebagai eksekutif akta pelaksana UU untuk menjalankan UU sendiri.
“Boleh karena kebutuhan. Secara objektif ada kebutuhan untuk memerinci pengaturan normatifnya, batas waktu bagaimana. Bedanya yang pidana dan nonpidana bagaimana? Tidak boleh disamakan. Karena memang putusan MK hanya fokus pada human right, human right based,” ungkap Jimly. Jika sudah ada PP, lanjutnya, Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tidak bisa dijadikan acuan lagi.
“Nanti kalau ada PP, tentu PP harus ditaati oleh semua pejabat, termasuk para hakim,” tandasnya. Sebelumnya, polemik muncul saat MA melalui surat edaran membatasi pengajuan PK hanya satu kali. Edaran itu berlandaskan dua ketentuan, yakni Pasal 24 ayat 2 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat 1 UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA.
Keduanya mengatur pembatasan PK hanya satu kali. Ketua MA Hatta Ali pun menginstruksikan kepada ketua pengadilan tinggi di seluruh Indonesia untuk tidak mengirimkan berkas pengajuan PK ke MA. Hatta Ali dalam jumpa pers Rabu (6/1) juga menegaskan lembaganya tidak akan menarik surat edaran tersebut.
Namun MA masih membolehkan pengajuan PK kepada pelaku tindak pidana maupun perdata jika putusan PK pertama yang telah diajukan bertentangan dengan putusan pengadilan sebelumnya. Peraturan tersebut termaktub dalam SEMA Nomor 10 Tahun 2009. SEMA tersebut diterbitkan setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan Pasal 268 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam putusan tersebut, MK mengizinkan PK lebih dari satu kali.
Nurul adriyana
(bbg)