Modalnya Pantang Menyerah

Sabtu, 10 Januari 2015 - 14:30 WIB
Modalnya Pantang Menyerah
Modalnya Pantang Menyerah
A A A
Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China. Agaknya peribahasa ini menjadi impian banyak orang untuk bisa belajar di luar negeri. Hanya sedikit yang beruntung dari sekian banyak pendaftar.

Apalagi yang dibiayai oleh beasiswa. Apapun negara tujuannya, tak peduli jenjang yang ditempuh, semuanya menjadi kesempatan yang menguntungkan. Salah satu dari yang beruntung itu adalah Kurniawan Zainmar. Jenmar begitu ia biasa disapa berstatus sebagai Mahasiswa Universitas Mercu Buana sebelum mendapat kesempatan untuk melanjutkan semester limanya di Beijing, China.

Tidak tanggung-tanggung, beasiswa yang Jenmar dapatkan berprogram Double Degree. Artinya, ia mendapatkan dua gelar berbeda dengan bidang keilmuan yang berbeda. ”Mulanya gue hanya iseng ikutan. Kemudian mengikuti syarat-syaratnya, mulai tes TOEFL sampe berkali-kali, juga tes psikologi,” katanya.

Namun, ketika seleksi, ada rumor yang menyebut bahwa peserta yang ikut harus membayar Rp260 juta untuk program tersebut. Sehingga banyak peserta yang sangsi, serta gugur karena tidak ingin melanjutkan lagi. ”Mereka pikir, ’ah beasiswanya belum jelas,’. Tapi entah kenapa gue terus optimistis dan terus mengikuti seleksinya,” cerita cowok berusia 20 tahun tersebut.

Ternyata perjuangan pantang menyerah Jenmar berbuah manis. Sebab, rumor tersebut ternyata tidak terbukti. Akhirnya ia pun berhasil mendapatkan beasiswa di Beijing Institute of Technology, jurusan Sistem Informasi. Diakui Jenmar, ia sama sekali tidak memiliki basicberbahasa China. ”Gue datang dengan pengetahuan nol tentang bahasa China,” katanya. Untungnya ada mata kuliah Chinese Language tiga SKS. Alhasil, ia bisa belajar. Beruntungnya lagi semua dosen ngajar pake bahasa Inggris. ”Kalau ngajar pake bahasa China mending gue pulang deh. Hahaha,”.

Susah Makanan Halal

Jenmar bercerita, di China ia sulit mendapatkan makanan halal. ”Kalau makan di luar, biasanya susah cari makanan halal. Harus nanya dulu ini daging apa, susah juga sih walaupun ada daging ayam atau sapi, tapi kita kan nggak tau dimasaknya pake bahan haram atau nggak. Paling aman ya makan di kantin khusus Muslim atau masak,” paparnya. Ia juga bercerita mengenai susahnya mencari tempat untuk beribadah.

“Di sini masjid susah banget dicarinya. Kalau mau sholat mesti balik ke kamar atau cari lahan kosong. Terus kalau gue lagi wudhu, di toilet suka pada ngeliatin. Mungkin dalam hati mereka ‘Ini orang ngapain kali ya buka sepatu, angkat-angkat kaki di westafel,’ he-he-he. Waktu itu dosen gue juga pernah nanyain, gue bilang aja ritual Muslim,” ungkapnya. Lain negara lain pula budayanya.

Jenmar mengatakan, ada beberapa hal yang tidak ia temui di Indonesia. “Yang unik di sini tuh perpustakaan selalu rame. Perpus buka jam 8 pagi sampai jam 11 malam, tiap hari pasti penuh,” katanya. Bahkan, kalau ingin ke perpus harus antri pagipagi supaya bisa mendapatkan tempat duduk. ”Datang siang pasti nggak bakal dapat tempat,” katanya. “Di sini, orang yang dateng ke perpus tuh suka bawa yang aneh-aneh. Ada yang bawa hewan peliharaannya, ada juga yang bawa bantal. Kocak deh..,” tambahnya.

Selain itu, jika ingin berpergian, harus berjalan kaki. “Gue kemana-mana jalan kaki. Tapi akhirnya gue beli sepeda, soalnya kampus gue gede banget, capek juga kalo jalan,” katanya. Jenmar mengaku ada hal yang tidak ia dapatkan di Beijing. “Semua mahasiswa selalu sibuk di sini. Nggak ada yang nongkrong-nongkrong seperti di Indonesia.

Kalau lagi di kantin, makan ya makan, ngobrol paling seadanya. Nggak ada tuh yang ngobrol sambil bercanda, ketawa-tawa. Itu sih yang kadang gue kangenin,” aku Jenmar. Meski terlihat menyenangkan, hidup di negeri orang ternyata tidak seenak hidup di negeri sendiri. Jenmar pun membenarkan hal itu. ”Tetep lah yang namanya hometownemang nggak ada yang ngalahin,” tutupnya.

Hanifah Muthmainnah
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8078 seconds (0.1#10.140)