Pakar Hukum Minta MK Nyatakan Inkonstitusional
A
A
A
JAKARTA - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 dan 2 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dinilai inkonstitusional. Perppu ini terbit tanpa ada syarat kegentingan memaksa.
Karena itu, Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai layak untuk menyatakan Perppu Nomor 1 dan 2 Tahun 2014 inkonstitusional. Itu diungkapkan pakar hukum tata negara Irman Putra Siddin saat menjadi saksi ahli dalam sidang lanjutan uji materi Perppu Pilkada di MK, Jakarta, kemarin. Menurut Irman, ihwal keadaan genting yang memaksa memang sepenuhnya menjadi hak subjektif presiden untuk mengeluarkan perppu.
Namun, MK melalui putusan tahun 2009 dan 2014 membatasi hak subjektif presiden agar tidak seenaknya mengeluarkan perppu atas keadaan genting yang memaksa. Dia mengatakan, ada syarat khusus yang harus tercermin dalam lahirnya perppu yakni ada keadaan mendesak untuk menyelesaikan hukum secara cepat, ada kebutuhan hukum karena ketiadaan aturan sehingga terjadi kekosongan hukum, dan apabila terjadi kekosongan hukum, tidak bisa dibuat UU secara prosedural karena memerlukan waktu yang lama.
“Tidak terdapat ada keadaan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Masalah yang muncul bisa jadi cenderung masalah politik pribadi, kelompok, atau parpol sang pejabat presiden yang kemudian paralel dengan ketidaksetujuan kelompok kepentingan sebagian masyarakat atas keluarnya UU Nomor 22 Tahun 2014,” ungkap Irman.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Supardji mengatakan, Perppu Nomor 1 dan 2 Tahun 2014 lahir karena situasi dan desakan dari publik setelah ada unsur kekecewaan. Jika bermula dari kekecewaan, apa yang dihasilkan tidak akan rasional.
Nurul adriyana
Karena itu, Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai layak untuk menyatakan Perppu Nomor 1 dan 2 Tahun 2014 inkonstitusional. Itu diungkapkan pakar hukum tata negara Irman Putra Siddin saat menjadi saksi ahli dalam sidang lanjutan uji materi Perppu Pilkada di MK, Jakarta, kemarin. Menurut Irman, ihwal keadaan genting yang memaksa memang sepenuhnya menjadi hak subjektif presiden untuk mengeluarkan perppu.
Namun, MK melalui putusan tahun 2009 dan 2014 membatasi hak subjektif presiden agar tidak seenaknya mengeluarkan perppu atas keadaan genting yang memaksa. Dia mengatakan, ada syarat khusus yang harus tercermin dalam lahirnya perppu yakni ada keadaan mendesak untuk menyelesaikan hukum secara cepat, ada kebutuhan hukum karena ketiadaan aturan sehingga terjadi kekosongan hukum, dan apabila terjadi kekosongan hukum, tidak bisa dibuat UU secara prosedural karena memerlukan waktu yang lama.
“Tidak terdapat ada keadaan kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Masalah yang muncul bisa jadi cenderung masalah politik pribadi, kelompok, atau parpol sang pejabat presiden yang kemudian paralel dengan ketidaksetujuan kelompok kepentingan sebagian masyarakat atas keluarnya UU Nomor 22 Tahun 2014,” ungkap Irman.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Supardji mengatakan, Perppu Nomor 1 dan 2 Tahun 2014 lahir karena situasi dan desakan dari publik setelah ada unsur kekecewaan. Jika bermula dari kekecewaan, apa yang dihasilkan tidak akan rasional.
Nurul adriyana
(bbg)