Petinggi Khmer Merah Kembali Diadili
A
A
A
PHNOM PENH - Pengadilan Kamboja kembali melakukan sidang terhadap dua mantan pimpinan Khmer Merah, Nuon Chea dan Khieu Samphan, atas tuduhan pembunuhan massal (genosida) terhadap beragam etnis dan kaum minoritas, pemaksaan pernikahan, dan pemerkosaan akhir 1970-an.
Chea, yang dikenal dengan sebutan “Brother Number Two”, dan Samphan, yang pernah menjadi presiden Kamboja, merupakan dua terdakwa papan atas yang menghadapi meja hijau dengan kasus kemanusiaan yang sangat kompleks. Dua mantan politisi Kamboja tersebut sudah dijatuhi hukuman seumur hidup Agustus tahun lalu.
Chea dan Samphan merupakan petinggi pertama Kamboja yang pernah diadili dan dipenjara di Kamboja atas kasus pertanggungjawaban kemanusiaan pada 1975-1979. Saat itu Chea dan Samphan dituduh terlibat dalam kasus penangkapan, penyiksaan, dan eksekusi mati terhadap setiap pendukung pemerintah, intelek, dan etnis minoritas. Berdasarkan riset modern, kuburan massal dari era rezim Khmer Merah mencapai 20.000.
Jumlah perhitungan korban tewas paling tinggi adalah 3 juta. Namun, beberapa periset kebanyakan menetapkan angka 1,4 juta sampai 2,2 juta. Sebagian dari jumlah korban diduga tewas akibat eksekusi, sisanya akibat kelaparan atau penyakit. Dimulainya kembali sidang kasus itu akan mengakhiri upaya “pemboikotan” yang dilakukan Chea dan Samphan dalam dua sidang sebelumnya.
Duo petinggi Khmer Merah tersebut selalu mengelak dari pengadilan. Faktanya, sejak sidang dimulai Juli 2014, Chea dan Samphan, termasuk pengacara mereka, berulang kali melakukan penundaan. Kemarin Chea meminta izin tidak menghadiri sidang di pengadilan karena alasan kesehatan. Dia mendengarkan pembacaan tuduhan hakim dari balik jeruji besi. Sementara itu, Samphan hadir di pengadilan.
Dia duduk dikelilingi tim pengacaranya. Kedua politisi itu menolak semua tuduhan yang dilayangkan hakim. Kasus Chea dan Samphan sering dipecah hakim menjadi seri yang lebih kecil untuk mempercepat proses sidang mengingat Chea dan Samphan sudah tua. Agustus, pengadilan lebih fokus pada keterlibatan Chea dan Samphan dalam kasus proses evakuasi paksa terhadap dua juta warga Kamboja dari Phnom Penh ke kamp kerja paksa di pedesaan.
Juga, satu lokasi eksekusi. Sementara itu, jurnalis Kamboja yang lama mengikuti perkembangan krisis kemanusiaan era Khmer Merah, Thet Sambath, mengatakan ingin memberikan kesaksian di pengadilan. Sambath mengaku memiliki kesaksian dan hasil riset yang kuat mengenai kasus itu. Sejauh ini, pengadilan masih belum mengeluarkan keputusan mengenai permintaan itu.
“Saya berharap dapat memiliki kesempatan untuk menjelaskan penemuan saya kepada pengadilan. Jika pengadilan setuju dan memberikan kebebasan, saya akan melakukannya,” ujar Sambath dikutip Voacambodia. “Namun jika mereka membatasi hak saya untuk berbicara hanya pada isuisu tertentu, saya tidak akan melakukannya,” sambungnya.
Sejauh ini, kata Sambath, pengadilan tidak pernah memberikan kebebasan kepada beberapa saksi untuk memberikan testimoni yang terbuka. Menurut Sambath, tuduhan pembunuhan di Tuol Por Chrey, Provinsi Pursat, terhadap Chea dan Samphan tidak akurat. “Saya punya bukti. Dan saya kira kasus sidang itu salah,” katanya.
Sambath mengatakan, pertentangan ini tidak mengartikan dia mendukung Chea atau Samphan. Menurutnya, pengadilan di Kamboja memiliki masalah internal. Kenyataannya, kebenaran kasus kriminal Khmer Merah hampir benarbenar tidak ada. Pengadilan, kata Sambath, tidak menyelidiki secara dalam kasus ini sehingga sidang ini terkesan seperti aksi “balas dendam”.
Muh shamil
Chea, yang dikenal dengan sebutan “Brother Number Two”, dan Samphan, yang pernah menjadi presiden Kamboja, merupakan dua terdakwa papan atas yang menghadapi meja hijau dengan kasus kemanusiaan yang sangat kompleks. Dua mantan politisi Kamboja tersebut sudah dijatuhi hukuman seumur hidup Agustus tahun lalu.
Chea dan Samphan merupakan petinggi pertama Kamboja yang pernah diadili dan dipenjara di Kamboja atas kasus pertanggungjawaban kemanusiaan pada 1975-1979. Saat itu Chea dan Samphan dituduh terlibat dalam kasus penangkapan, penyiksaan, dan eksekusi mati terhadap setiap pendukung pemerintah, intelek, dan etnis minoritas. Berdasarkan riset modern, kuburan massal dari era rezim Khmer Merah mencapai 20.000.
Jumlah perhitungan korban tewas paling tinggi adalah 3 juta. Namun, beberapa periset kebanyakan menetapkan angka 1,4 juta sampai 2,2 juta. Sebagian dari jumlah korban diduga tewas akibat eksekusi, sisanya akibat kelaparan atau penyakit. Dimulainya kembali sidang kasus itu akan mengakhiri upaya “pemboikotan” yang dilakukan Chea dan Samphan dalam dua sidang sebelumnya.
Duo petinggi Khmer Merah tersebut selalu mengelak dari pengadilan. Faktanya, sejak sidang dimulai Juli 2014, Chea dan Samphan, termasuk pengacara mereka, berulang kali melakukan penundaan. Kemarin Chea meminta izin tidak menghadiri sidang di pengadilan karena alasan kesehatan. Dia mendengarkan pembacaan tuduhan hakim dari balik jeruji besi. Sementara itu, Samphan hadir di pengadilan.
Dia duduk dikelilingi tim pengacaranya. Kedua politisi itu menolak semua tuduhan yang dilayangkan hakim. Kasus Chea dan Samphan sering dipecah hakim menjadi seri yang lebih kecil untuk mempercepat proses sidang mengingat Chea dan Samphan sudah tua. Agustus, pengadilan lebih fokus pada keterlibatan Chea dan Samphan dalam kasus proses evakuasi paksa terhadap dua juta warga Kamboja dari Phnom Penh ke kamp kerja paksa di pedesaan.
Juga, satu lokasi eksekusi. Sementara itu, jurnalis Kamboja yang lama mengikuti perkembangan krisis kemanusiaan era Khmer Merah, Thet Sambath, mengatakan ingin memberikan kesaksian di pengadilan. Sambath mengaku memiliki kesaksian dan hasil riset yang kuat mengenai kasus itu. Sejauh ini, pengadilan masih belum mengeluarkan keputusan mengenai permintaan itu.
“Saya berharap dapat memiliki kesempatan untuk menjelaskan penemuan saya kepada pengadilan. Jika pengadilan setuju dan memberikan kebebasan, saya akan melakukannya,” ujar Sambath dikutip Voacambodia. “Namun jika mereka membatasi hak saya untuk berbicara hanya pada isuisu tertentu, saya tidak akan melakukannya,” sambungnya.
Sejauh ini, kata Sambath, pengadilan tidak pernah memberikan kebebasan kepada beberapa saksi untuk memberikan testimoni yang terbuka. Menurut Sambath, tuduhan pembunuhan di Tuol Por Chrey, Provinsi Pursat, terhadap Chea dan Samphan tidak akurat. “Saya punya bukti. Dan saya kira kasus sidang itu salah,” katanya.
Sambath mengatakan, pertentangan ini tidak mengartikan dia mendukung Chea atau Samphan. Menurutnya, pengadilan di Kamboja memiliki masalah internal. Kenyataannya, kebenaran kasus kriminal Khmer Merah hampir benarbenar tidak ada. Pengadilan, kata Sambath, tidak menyelidiki secara dalam kasus ini sehingga sidang ini terkesan seperti aksi “balas dendam”.
Muh shamil
(bbg)