Diplomasi Meja Makan Pemimpin Dunia

Senin, 05 Januari 2015 - 14:43 WIB
Diplomasi Meja Makan Pemimpin Dunia
Diplomasi Meja Makan Pemimpin Dunia
A A A
Beragam cara dilakukan dalam diplomasi internasional. Jika diplomasi konvensional biasanya dilakukan dalam ruang tertutup yang menegangkan, seiring berjalannya waktu gaya diplomasi pun berkembang. Negosiasi antarnegara kini lebih banyak terjadi di atas meja makan.

Diplomasi adalah tindakan umum yang dilakukan dua pihak untuk mencapai kesepakatan. Diplomasi memiliki banyak bentuk untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak.

Setiap pemimpin negara mempunyai gaya diplomasi berbeda. Begitu pula tempat yang dipilih untuk melakukan perundingan diplomasi. Ruangan tertutup yang sunyi tidak lagi menjadi primadona. Sebaliknya, tempat- tempat terbuka yang menyajikan pemandangan indah kini menjadi pilihan para pemimpin negara.

Restoran adalah salah satu tempat yang sangat sering digunakan para diplomat untuk bernegosiasi, terutama pada jam makan malam. Amerika Serikat (AS) mungkin menjadi pionir gaya diplomasi ini dengan memiliki Diplomatic Reception Room. Ruangan yang digagas pada masa Benjamin Franklin ini didesain khusus desainer interior ternama John Blatteau dan selesai dibangun pada 1985.

Ruangan yang dipenuhi dengan berbagai ornamen dari emas ini menjadi pemikat para tamu yang membuat mereka betah berlama-lama melakukan negosiasi dengan para presiden AS. Selain AS, India dan Inggris juga memiliki ruangan serupa. India memiliki Mughal Garden yang terletak di Rashtrapati Bhavan. Mantan presiden AS George W. Bush adalah salah satu pemimpin negara yang pernah mencicipi jamuan makanan mewah dan lezat sembari ditemani alunan musik lembut dari band Angkatan Laut India.

Di Inggris juga serupa, semua pembicaraan yang diselenggarakan kepala negara akan diadakan di Istana Buckingham karena posisinya di jantung Kota London. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, jamuan makan lebih sering diadakan di Windsor Castle di Berkshire. India dan Inggris dikenal sangat disiplin dalam menjalani ritual diplomasi ini. Hal ini jauh berbeda dengan AS yang lebih fleksibel dalam melakukan negosiasi.

Mereka cenderung lebih suka melakukan negosiasi di luar Gedung Putih, terutama ketika partner negosiasinya berasal dari wilayah Asia dan Eropa Barat. Menteri Luar Negeri AS John Kerry pernah melakukan negosiasi dengan Menteri Luar Negeri Iran Mohammed Javad Zarif di restoran ternama di Vienna, Palais Coburg Hotel Residenz. Kerry dan Zarif menghabiskan waktu 11 jam dalam hotel paling mewah di Wina ini untuk membicarakan perihal pembuatan nuklir Iran.

Kendati pembicaraan ini belum memperlihatkan kesepakatan sesuai dengan keinginan AS dan masih terus berlanjut hingga saat ini, namun berkat diplomasi di atas meja makan dengan hidangan mahal Eropa ini, Zarif menjadi lebih terbuka kepada AS. Sajian hangat mampu meluluhkan kebekuan hati seseorang bahkan mereka yang menaruh curiga.

Oleh sebab itu, Inggris sangat selektif dalam melakukan jamuan di istananya. Mereka mempekerjakan koki-koki terbaik untuk membuat hidangan tradisional Inggris paling lezat. Kerajaan Inggris bahkan selalu memeriksa makanan mereka dengan sangat detail sebelum sajian chef terbaik terhampar di depan meja tamu kerajaan.

Kerajaan Inggris tahu bahwa makanan adalah salah satu poin penting dalam suksesnya sebuah negosiasi. Ketika jamuan kurang sedap, negosiasi berisiko rusak karena sang tamu sudah mengalami bad mood lebih dulu. Menurut para psikolog University College Cork, Irlandia, makanan berperan penting dalam mengatur suasana hati. Makanan yang lezat dan berbudaya sangat berperan penting menghasilkan keputusan menguntungkan dalam sebuah diplomasi.

Makanan terutama yang dihidangkan pada saat makan malam mampu menguatkan hubungan nasional, mendorong pariwisata dan meningkatkan kerja sama antarnegara. Menurut Prof. Joseph S. Nye dari Institut for Cultural Diplomacy, Berlin, negosiasi dapat dilakukan dengan dua cara, yakni hard power dan soft power.

Diplomasibudaya, salahsatunya diplomasi meja makan, adalah bagian dari soft power diplomatic sebagai upaya pendekatan terhadap negara lain dengan cara lembut. “Soft power adalah kemampuan membujuk melalui budaya, nilai-nilai dan ide-ide sebagai lawan dari hard power yang mengalahkan atau membujuk melalui kekuatan militer,” kata Joseph S. Nye dilansir situs resmi Institute for Cultural Diplomacy.

Sejarah diplomasi makan malamsudahadasejakawalabad ke-19 oleh AS. Ketika itu makan malam diadakan setiap musim dingin untuk menghormati Kongres, Mahkamah Agung, dan anggota korps diplomatik AS. Baru pada akhir abad ke-19, makan malam kenegaraan lebih identik diselenggarakan presiden AS untuk menjamu atau menghormati kepala negara asing.

Raja Hawaii Raja Daud Kalakaua adalah orang pertama yang merasakan jamuan AS ketika diundang Gedung Putih pada Desember 1874. Metode ini kemudian ditiru negaranegara Barat dan Asia dengan makanan sebagai kunci utama. Jepang menjadi salah satu negara Asia yang paling sering menggunakan makanan sebagai media diplomasi, terutama dengan negara-negara Amerika Latin.

Berbeda dengan negara lain yang berusaha menyajikan hidangan favorit para tamunya, sebaliknya Jepang justru terkesan memaksa para tamu untuk menikmati selera orangorang Jepang. Tapi justru inilah yang membuat Jepang kerap menjadi pihak yang superior atau yang mengendalikan proses negosiasi.

Rini agustina
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1439 seconds (0.1#10.140)