Beban Masyarakat Bertambah Berat
A
A
A
JAKARTA - Memasuki tahun 2015, beban masyarakat semakin berat. Kenaikan harga elpiji kemasan 12 kg dan tarif tenaga listrik yang hampir bersamaan akan menekan daya beli masyarakat.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi berpandangan, kenaikan tarif listrik tidak selayaknya dibebankan kepada masyarakat karena pelayanan PT PLN (Persero) belum maksimal, bahkan masih jauh dari harapan. “Jangan lantas dilepas ke mekanisme pasar karena ini sangat memberatkan,” ujar Tulus saat dihubungi di Jakarta kemarin. Belum lagi masyarakat juga dibebani kenaikan harga elpiji nonsubsidi 12 kg.
Kenaikan harga dua komoditas energi ini membuat beban masyarakat semakin bertambah. “Belum setahun memerintah (pemerintah baru), tapi kenaikan sudah bertubi-tubi,” katanya. Dia menilai kenaikan tarif listrik dan elpiji menunjukkan pemerintah telah melakukan perhitungan layaknya perusahaan swasta, berdasarkan untung dan rugi. Padahal, perhitungan dengan melepas ke mekanisme pasar tidak boleh dilakukan.
Pemerintah harus ikut andil dalam menentukan harga domestik, khususnya untuk komoditas yang berhubungan langsung dengan masyarakat. “Persoalan seperti ini harus bisa diselesaikan. Tidak semua komoditas kemudian diselesaikan dengan kenaikan tarif,” sebutnya. Ekonom Indef Enny Sri Hartati mengkritik kebijakan pemerintah yang menyerahkan harga komoditas energi seperti bahan bakar minyak (BBM), elpiji, serta listrik pada mekanisme pasar.
Selain melanggar konstitusi, kebijakan itu kontraproduktif bagi pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, penyerahan harga sesuai dengan mekanisme pasar bisa mengancam stabilitas ekonomi. Pasalnya, Indonesia masih sangat tergantung pada impor energi. Dia mencontohkan, jika harga minyak dunia berfluktuasi, mau tak mau harga-harga barang juga akan fluktuatif sehingga sasaran inflasi sulit ditargetkan.
“Jika inflasi tinggi, bisa dipastikan daya beli masyarakat akan makin lemah. Pertumbuhan ekonomi pun akan melambat karena selama ini konsumsi merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi,” paparnya. Enny mengatakan, untuk mendapatkan ruang fiskal yang lebih besar bagi pembangunan infrastruktur, pemerintah semestinya tidak hanya melakukan efisiensi, tapi juga optimalisasi.
Oleh karena itu dia mengingatkan pemerintah untuk tidak mendesain suatu kebijakan yang seolah- olah efisien, tetapi justru menimbulkan ketidakstabilan. Dengan penurunan harga minyak dunia, pemerintah memang memiliki momentum untuk mencabut subsidi BBM dan mengalihkan anggarannya untuk program produktif. Namun realokasi untuk memberi stimulus fiskal pada sektor riil harus segera dilakukan.
Adapun untuk kenaikan harga elpiji dikhawatirkan akan semakin menekan daya beli masyarakat. Demikian pula dengan tarif listrik, pemerintah diharapkan memiliki kebijakan yang mendorong sektor industri, bukan justru memberatkan. Seperti diberitakan, per 1 Januari ini tarif dan harga beberapa komoditas energi akan disesuaikan dengan harga pasar.
Pemerintah telah mengumumkan pencabutan subsidi premium serta pemberlakuan subsidi tetap sebesar Rp1.000/liter untuk solar. Artinya, harga premium akan disesuaikan dengan harga keekonomiannya tiap bulan. PLN mulai 1 Januari 2015 juga akan mengubah tarif listrik untuk 8 golongan. Dengan demikian, PLN telah memberlakukan tarif adjustment untuk 12 golongan pelanggan.
Sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM31/2014tentangTarifListrik, PLN akan menyesuaikan tarif tiap bulan sesuai dengan perubahan harga indikator, yaitu inflasi sesuai dengan rilis Badan Pusat Statistik (BPS), nilai tukar rupiah berdasar kurs Bank Indonesia (BI), dan harga minyak mentah Indonesia (ICP). Pemerintah tidak lagi memberikan subsidi bagi pelanggangolongan-golongan tertentu itu.
Selain itu, Pertamina per 3 Januari 2015 menaikkan harga elpiji nonsubsidi kemasan 12 kg sebesar Rp1.500/kg atau Rp18.000/tabung. Selanjutnya Pertamina akan melakukan penyesuaian harga elpiji secara berkala setiap tiga bulan sesuai dengan pergerakan harga pasar. Dengan kenaikan ini, harga elpiji yang sebelumnya sebesar Rp7.569/kg naik menjadi Rp9.069/kg.
Ditambah komponen biaya lain untuk transportasi, pengisian di stasiun pengisian dan pengangkutan bulk elpiji (SPPBE), margin agen, dan pajak pertambahan nilai (PPN), harga jual diagen menjadi Rp11.225/kg atau Rp134.700/tabung dari sebelumnya Rp114.900/tabung. Direktur IRESS Marwan Batubara mengatakan, pencabutan subsidi seharusnya tidak dilakukan jika pemerintah belum siap dengan program-program perlindungan sosial.
Meski harga minyak dunia saat ini turun, dia mengingatkan harga minyak rendah tak bisa bertahan lama. “Karena itu kita mau pemerintah menyiapkan sistem perlindungan sosial yang tepercaya danandalsaat hargakembalinormal. Sebelum itu ada kita harus pertahankan subsidi,” katanya.
Tarif Angkutan Umum Tidak Turun
Di bagian lain, penurunan harga BBM yang dilakukan pemerintah tidak berpengaruh pada tarif angkutan umum baik bus antarkota maupun dalam kota. Sebab evaluasi penurunan tarif angkutan umum tidak semata berdasar pada harga BBM.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Organda Eka Sari Lorena Soerbakti mencontohkan harga suku cadang kendaraan yang dalam satu tahun terakhir naik sekitar 15-30%. “Kalau semua harganyamasihsepertiitu, kitatidak bisa berbuat apa-apa,” ujarnya.
Dia menjelaskan, untuk tarif kelas ekonomi diatur pemerintah berdasarkan kesepakatan dengan operator. Contohnya angkutan antarkota antarprovinsi (AKAP) diatur oleh Kementerian Perhubungan, sedangkan angkutan kota dalam provinsi (AKDP) dan angkutan perkotaan diatur oleh dinas perhubungan tiap pemerintah daerah.
“Tarif kelas ini yang akan direviu tiap enam bulan,” tegasnya. Adapun untuk angkutan kelas nonekonomi dibuat berdasarkan mekanisme pasar.
Ria martati/ Helmi syarif/ Nanang wijayanto
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi berpandangan, kenaikan tarif listrik tidak selayaknya dibebankan kepada masyarakat karena pelayanan PT PLN (Persero) belum maksimal, bahkan masih jauh dari harapan. “Jangan lantas dilepas ke mekanisme pasar karena ini sangat memberatkan,” ujar Tulus saat dihubungi di Jakarta kemarin. Belum lagi masyarakat juga dibebani kenaikan harga elpiji nonsubsidi 12 kg.
Kenaikan harga dua komoditas energi ini membuat beban masyarakat semakin bertambah. “Belum setahun memerintah (pemerintah baru), tapi kenaikan sudah bertubi-tubi,” katanya. Dia menilai kenaikan tarif listrik dan elpiji menunjukkan pemerintah telah melakukan perhitungan layaknya perusahaan swasta, berdasarkan untung dan rugi. Padahal, perhitungan dengan melepas ke mekanisme pasar tidak boleh dilakukan.
Pemerintah harus ikut andil dalam menentukan harga domestik, khususnya untuk komoditas yang berhubungan langsung dengan masyarakat. “Persoalan seperti ini harus bisa diselesaikan. Tidak semua komoditas kemudian diselesaikan dengan kenaikan tarif,” sebutnya. Ekonom Indef Enny Sri Hartati mengkritik kebijakan pemerintah yang menyerahkan harga komoditas energi seperti bahan bakar minyak (BBM), elpiji, serta listrik pada mekanisme pasar.
Selain melanggar konstitusi, kebijakan itu kontraproduktif bagi pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, penyerahan harga sesuai dengan mekanisme pasar bisa mengancam stabilitas ekonomi. Pasalnya, Indonesia masih sangat tergantung pada impor energi. Dia mencontohkan, jika harga minyak dunia berfluktuasi, mau tak mau harga-harga barang juga akan fluktuatif sehingga sasaran inflasi sulit ditargetkan.
“Jika inflasi tinggi, bisa dipastikan daya beli masyarakat akan makin lemah. Pertumbuhan ekonomi pun akan melambat karena selama ini konsumsi merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi,” paparnya. Enny mengatakan, untuk mendapatkan ruang fiskal yang lebih besar bagi pembangunan infrastruktur, pemerintah semestinya tidak hanya melakukan efisiensi, tapi juga optimalisasi.
Oleh karena itu dia mengingatkan pemerintah untuk tidak mendesain suatu kebijakan yang seolah- olah efisien, tetapi justru menimbulkan ketidakstabilan. Dengan penurunan harga minyak dunia, pemerintah memang memiliki momentum untuk mencabut subsidi BBM dan mengalihkan anggarannya untuk program produktif. Namun realokasi untuk memberi stimulus fiskal pada sektor riil harus segera dilakukan.
Adapun untuk kenaikan harga elpiji dikhawatirkan akan semakin menekan daya beli masyarakat. Demikian pula dengan tarif listrik, pemerintah diharapkan memiliki kebijakan yang mendorong sektor industri, bukan justru memberatkan. Seperti diberitakan, per 1 Januari ini tarif dan harga beberapa komoditas energi akan disesuaikan dengan harga pasar.
Pemerintah telah mengumumkan pencabutan subsidi premium serta pemberlakuan subsidi tetap sebesar Rp1.000/liter untuk solar. Artinya, harga premium akan disesuaikan dengan harga keekonomiannya tiap bulan. PLN mulai 1 Januari 2015 juga akan mengubah tarif listrik untuk 8 golongan. Dengan demikian, PLN telah memberlakukan tarif adjustment untuk 12 golongan pelanggan.
Sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM31/2014tentangTarifListrik, PLN akan menyesuaikan tarif tiap bulan sesuai dengan perubahan harga indikator, yaitu inflasi sesuai dengan rilis Badan Pusat Statistik (BPS), nilai tukar rupiah berdasar kurs Bank Indonesia (BI), dan harga minyak mentah Indonesia (ICP). Pemerintah tidak lagi memberikan subsidi bagi pelanggangolongan-golongan tertentu itu.
Selain itu, Pertamina per 3 Januari 2015 menaikkan harga elpiji nonsubsidi kemasan 12 kg sebesar Rp1.500/kg atau Rp18.000/tabung. Selanjutnya Pertamina akan melakukan penyesuaian harga elpiji secara berkala setiap tiga bulan sesuai dengan pergerakan harga pasar. Dengan kenaikan ini, harga elpiji yang sebelumnya sebesar Rp7.569/kg naik menjadi Rp9.069/kg.
Ditambah komponen biaya lain untuk transportasi, pengisian di stasiun pengisian dan pengangkutan bulk elpiji (SPPBE), margin agen, dan pajak pertambahan nilai (PPN), harga jual diagen menjadi Rp11.225/kg atau Rp134.700/tabung dari sebelumnya Rp114.900/tabung. Direktur IRESS Marwan Batubara mengatakan, pencabutan subsidi seharusnya tidak dilakukan jika pemerintah belum siap dengan program-program perlindungan sosial.
Meski harga minyak dunia saat ini turun, dia mengingatkan harga minyak rendah tak bisa bertahan lama. “Karena itu kita mau pemerintah menyiapkan sistem perlindungan sosial yang tepercaya danandalsaat hargakembalinormal. Sebelum itu ada kita harus pertahankan subsidi,” katanya.
Tarif Angkutan Umum Tidak Turun
Di bagian lain, penurunan harga BBM yang dilakukan pemerintah tidak berpengaruh pada tarif angkutan umum baik bus antarkota maupun dalam kota. Sebab evaluasi penurunan tarif angkutan umum tidak semata berdasar pada harga BBM.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Organda Eka Sari Lorena Soerbakti mencontohkan harga suku cadang kendaraan yang dalam satu tahun terakhir naik sekitar 15-30%. “Kalau semua harganyamasihsepertiitu, kitatidak bisa berbuat apa-apa,” ujarnya.
Dia menjelaskan, untuk tarif kelas ekonomi diatur pemerintah berdasarkan kesepakatan dengan operator. Contohnya angkutan antarkota antarprovinsi (AKAP) diatur oleh Kementerian Perhubungan, sedangkan angkutan kota dalam provinsi (AKDP) dan angkutan perkotaan diatur oleh dinas perhubungan tiap pemerintah daerah.
“Tarif kelas ini yang akan direviu tiap enam bulan,” tegasnya. Adapun untuk angkutan kelas nonekonomi dibuat berdasarkan mekanisme pasar.
Ria martati/ Helmi syarif/ Nanang wijayanto
(ars)