Danarto Tokoh FTI 2014
A
A
A
Danarto dikuliti. Sastrawan yang dijuluki gemblung atau gilagemblung atau gila ini habishabisan dibahas luar dalam pada diskusi 10 tahun Federasi Teater Indonesia (FTI). Ia pun dinobatkan sebagai tokoh FTI tahun 2014.
Pada diskusi bertajuk “Dramaturgi Danarto dan Malam Anugrah FTI Award untuk Dramawan Danarto dan Maecenas Sapta Nirwandar” itu, hadir sebagai pembicara, antara lain Seno Gumira Ajidarma, Gandung Bondowoso, dan Sapardi Djoko Damono. Ketiga pembicara ini disebutsebut memiliki kedekatan dengan Danarto sehingga bisa memberikan pemandangan yang lebih dekat dan detail tentang sosok seorang Danarto.
Diskusi pada Selasa (30/12) siang lalu ini dilaksanakan sebelum Danarto dinobatkan menjadi tokoh FTI 2014 pada malam harinya di Taman Ismail Marzuki (TIM). Selain Danarto, mantan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta Nirwandar juga dianugerahi gelar Maecenas FTI 2014.
Maecenas merujuk pada penghargaan bagi tokoh yang dinilai selalu memberikan dukungan moril maupun materiil kepada bidang tertentu, dalam hal ini terutama teater. Dramaturgi adalah teori yang mengemukakan bahwa teater dan drama mempunyai makna yang sama dengan interaksi sosial dalam kehidupan manusia.
Setali tiga uang dengan definisi itu, di dalam diskusi ini para pembicara mencoba mengaitkan antara berbagai sisi kehidupan, yakni teater, drama, dan interaksi sosial di dalam tubuh Danarto. Acaranya terlambat satu jam dari waktu yang dijadwalkan. Awalnya diskusi tentang sastrawan yang lahir di Mojowetan, Sragen, Jawa Tengah (Jateng), 74 silam yang lalu ini masih berjalan pelan.
Namun, seiring waktu berjalan, bumbu-bumbu dramaturgi pun bisa dirasakan. Pada tahun 1970-an, nama Danarto cukup melejit. Kala itu Danarto-lah yang membuat gagasan tentang teater tanpa penonton, yakni konsep berteater yang ikut melibatkan penonton dalam pertunjukan. Ini ditumpahkan lewat naskah karyanya berjudul Bel Geduwel Beh dan Obrok Owok-Owok Ebrek Ewek-Ewek yang merupakan oleh-oleh dari studinya di Iowa City, Amerika Serikat (AS).
Adalah Gandung yang mengaku menjadi salah satu pemain lakon Bel Geduwel Beh (1978) mengatakan, apa yang menjadi buah pikiran (karya sastra) Danarto saat itu adalah hal yang gila atau sinting. “Ini naskah gila. Belum pernah kami membaca naskah seperti itu. Tapi ternyata pas latihan, kesulitannya luar biasa. Ini naskah tanpa perencanaan. Danarto seperti membuat naskah dalam kondisi teler, trans (kondisi seperti terhipnotis), tidak bertanggung jawab tentang teknis penulisan, tapi tahu-tahu sudah jadi,” tuturnya dengan nada tinggi.
Tak hanya itu, sifat Danarto yang mau segalanya, ini harus ada, itu harus ada dalam pementasannya membuat Danarto tak hilang akal. Gandung ingat betul untuk membiayai semua keinginan itu, Danarto harus rela menjual motor terbaru yang dimiliknya saat itu. Perhitungan atau kalkulasi Danarto pun dinilai payah dan tidak lebih baik dari kalkulasi yang dilakukan sastrawan lainnya seperti Putu Wijaya.
Di mata Seno Gumira Ajidarma, sosok Danarto memiliki definisi tersendiri. Menurut dia, teater bagi Danarto adalah bagaimana cara berpikir yang cukup purba. Bukan hanya ruang, tapi waktu. Danarto membebaskan diri dari ruang fisik dan membebaskan isi kepala dari impian, harapan, dan kenyataan.
Seno mencontohkan drama Obrok Owok Owok - Ebrek Ewek Ewek (1976). Di sini ada waktu linear, lalu dalam waktu bersamaan ada tokoh yang setiap saat bertambah muda, tapi dalam ruang waktu yang sama. Lalu mengapa Danarto kerap disebut berpikir dalam kondisi trans?
“Dalam tanda kutip dia itu murni. Biarlah mimpi itu seperti kenyataan, khayalan jadi mimpi. Misalkan saja genderuwo itu ada asyik, menambah keramaian. Kalau enggak ada, ya enggak apa-apa. Sama-sama konkret, riil. Inilah yang diterjemahkan dia sebagai sastra,” sebutnya.
Suasana diskusi pun langsung terasa “hidup” oleh gelak tawa pembicara dan para peserta. Suara tertawa terkekehkekeh pun terus keluar mengingat beberapa aksi Danarto yang dinilai di luar kebiasaan. Seno pun ingat betul saat pementasan Bel Geduwel Beh. Saat itu penonton diberikan peran menjadi tamu dalam alur cerita pengantin. Menurut dia, ide Danarto tidak lebih tidak kurang berasal dari dirinya sendiri, yakni tradisi.
Penonton tidak perlu terpisah disiplin yang tertib. Tidak perlu peraturan seperti harus mematikan telepon genggam, atau tidak boleh menggunakan blitz saat memotret. “Kehangatan dan totalisme yang dikejar Danarto. Dunia yang lebih hidup, karena, bagi dia, penonton ya bukan hanya nonton saja,” tegasnya.
Sosok pribadi Danarto pun dinilai telah selamat dari zaman modern saat ini. Seno pun membantah jika Danarto banyak mengalami kegagalan dalam hidupnya. Justru sebaliknya, Danarto dianggap sadar, runtun, linear, teratur. Hanya bedanya, bagi Danarto, alur seseorang itu berasal dari tua ke muda. Bukan yang terjadi pada umumnya.
Sastra adalah Danarto
Menelusuri masa lalunya, pendidikan Danarto mengecewakan kedua orang tua. Dua kali ia tidak lulus Sekolah Rakyat (tahun 1953 dan tahun 1954) di Sragen. Lalu meneruskan ke SMP Nasional, masih di Sragen. Ujian SMP tahun 1957, kembali tidak lulus. Mengulang selama setahun, akhirnya lulus juga pada tahun 1958.
Ia pun dilepas ke Solo, untuk meneruskan pelajaran di SMA Sastra di Solo, tapi tak lebih dari 28 hari, ia tidak betah di sekolah itu. Dan, tempat pendidikan yang akhirnya memberikan ketenangan ialah ASRI, Yogyakarta. Ia belajar pada jurusan seni lukis (1958-1961). “Danarto dari sananya sudah begitu. Dia tidak mengizinkan 1x1 = 1 masuk dalam kepala dia. Semua cerpen tidak perlu penjelasan untuk semua keajaiban. Strategi Danarto, ya yang ajaibajaib itu,” ungkap-nya.
Dia menjelaskan bagi Danarto sastra itu nyata. Seniman yang tidak menyukai pelajaran aljabar ini tidak membedakan fakta dan fiksi. Danarto dinilai lebih sastrawan dari sastrawan. Bagi dia, sastrawan bukanlah pekerjaan tapi adalah dirinya sendiri. Sementara itu, pujangga ternama Tanah Air, Sapardi Djoko Damono, mengaku tahu betul “kegemblungan” seorang Danarto seperti apa.
Di matanya, masalah serius yang harus ditangani Danarto adalah panggung atau pentas. Panggung itu penting karena melibatkan penonton, seperti yang diinginkan Danarto. “Pada tahun 1970-an, semua teater diaduk. Ketoprak, wayang orang, ludruk dan teater luar negeri yang absurd yang akhirnya menjadi teater seperti saat ini. Lalu, apakah ini menjadi pembangkangan bagi dunia teater? Tapi apa yang dibangkangi?” sebutnya.
Susi susanti
Pada diskusi bertajuk “Dramaturgi Danarto dan Malam Anugrah FTI Award untuk Dramawan Danarto dan Maecenas Sapta Nirwandar” itu, hadir sebagai pembicara, antara lain Seno Gumira Ajidarma, Gandung Bondowoso, dan Sapardi Djoko Damono. Ketiga pembicara ini disebutsebut memiliki kedekatan dengan Danarto sehingga bisa memberikan pemandangan yang lebih dekat dan detail tentang sosok seorang Danarto.
Diskusi pada Selasa (30/12) siang lalu ini dilaksanakan sebelum Danarto dinobatkan menjadi tokoh FTI 2014 pada malam harinya di Taman Ismail Marzuki (TIM). Selain Danarto, mantan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta Nirwandar juga dianugerahi gelar Maecenas FTI 2014.
Maecenas merujuk pada penghargaan bagi tokoh yang dinilai selalu memberikan dukungan moril maupun materiil kepada bidang tertentu, dalam hal ini terutama teater. Dramaturgi adalah teori yang mengemukakan bahwa teater dan drama mempunyai makna yang sama dengan interaksi sosial dalam kehidupan manusia.
Setali tiga uang dengan definisi itu, di dalam diskusi ini para pembicara mencoba mengaitkan antara berbagai sisi kehidupan, yakni teater, drama, dan interaksi sosial di dalam tubuh Danarto. Acaranya terlambat satu jam dari waktu yang dijadwalkan. Awalnya diskusi tentang sastrawan yang lahir di Mojowetan, Sragen, Jawa Tengah (Jateng), 74 silam yang lalu ini masih berjalan pelan.
Namun, seiring waktu berjalan, bumbu-bumbu dramaturgi pun bisa dirasakan. Pada tahun 1970-an, nama Danarto cukup melejit. Kala itu Danarto-lah yang membuat gagasan tentang teater tanpa penonton, yakni konsep berteater yang ikut melibatkan penonton dalam pertunjukan. Ini ditumpahkan lewat naskah karyanya berjudul Bel Geduwel Beh dan Obrok Owok-Owok Ebrek Ewek-Ewek yang merupakan oleh-oleh dari studinya di Iowa City, Amerika Serikat (AS).
Adalah Gandung yang mengaku menjadi salah satu pemain lakon Bel Geduwel Beh (1978) mengatakan, apa yang menjadi buah pikiran (karya sastra) Danarto saat itu adalah hal yang gila atau sinting. “Ini naskah gila. Belum pernah kami membaca naskah seperti itu. Tapi ternyata pas latihan, kesulitannya luar biasa. Ini naskah tanpa perencanaan. Danarto seperti membuat naskah dalam kondisi teler, trans (kondisi seperti terhipnotis), tidak bertanggung jawab tentang teknis penulisan, tapi tahu-tahu sudah jadi,” tuturnya dengan nada tinggi.
Tak hanya itu, sifat Danarto yang mau segalanya, ini harus ada, itu harus ada dalam pementasannya membuat Danarto tak hilang akal. Gandung ingat betul untuk membiayai semua keinginan itu, Danarto harus rela menjual motor terbaru yang dimiliknya saat itu. Perhitungan atau kalkulasi Danarto pun dinilai payah dan tidak lebih baik dari kalkulasi yang dilakukan sastrawan lainnya seperti Putu Wijaya.
Di mata Seno Gumira Ajidarma, sosok Danarto memiliki definisi tersendiri. Menurut dia, teater bagi Danarto adalah bagaimana cara berpikir yang cukup purba. Bukan hanya ruang, tapi waktu. Danarto membebaskan diri dari ruang fisik dan membebaskan isi kepala dari impian, harapan, dan kenyataan.
Seno mencontohkan drama Obrok Owok Owok - Ebrek Ewek Ewek (1976). Di sini ada waktu linear, lalu dalam waktu bersamaan ada tokoh yang setiap saat bertambah muda, tapi dalam ruang waktu yang sama. Lalu mengapa Danarto kerap disebut berpikir dalam kondisi trans?
“Dalam tanda kutip dia itu murni. Biarlah mimpi itu seperti kenyataan, khayalan jadi mimpi. Misalkan saja genderuwo itu ada asyik, menambah keramaian. Kalau enggak ada, ya enggak apa-apa. Sama-sama konkret, riil. Inilah yang diterjemahkan dia sebagai sastra,” sebutnya.
Suasana diskusi pun langsung terasa “hidup” oleh gelak tawa pembicara dan para peserta. Suara tertawa terkekehkekeh pun terus keluar mengingat beberapa aksi Danarto yang dinilai di luar kebiasaan. Seno pun ingat betul saat pementasan Bel Geduwel Beh. Saat itu penonton diberikan peran menjadi tamu dalam alur cerita pengantin. Menurut dia, ide Danarto tidak lebih tidak kurang berasal dari dirinya sendiri, yakni tradisi.
Penonton tidak perlu terpisah disiplin yang tertib. Tidak perlu peraturan seperti harus mematikan telepon genggam, atau tidak boleh menggunakan blitz saat memotret. “Kehangatan dan totalisme yang dikejar Danarto. Dunia yang lebih hidup, karena, bagi dia, penonton ya bukan hanya nonton saja,” tegasnya.
Sosok pribadi Danarto pun dinilai telah selamat dari zaman modern saat ini. Seno pun membantah jika Danarto banyak mengalami kegagalan dalam hidupnya. Justru sebaliknya, Danarto dianggap sadar, runtun, linear, teratur. Hanya bedanya, bagi Danarto, alur seseorang itu berasal dari tua ke muda. Bukan yang terjadi pada umumnya.
Sastra adalah Danarto
Menelusuri masa lalunya, pendidikan Danarto mengecewakan kedua orang tua. Dua kali ia tidak lulus Sekolah Rakyat (tahun 1953 dan tahun 1954) di Sragen. Lalu meneruskan ke SMP Nasional, masih di Sragen. Ujian SMP tahun 1957, kembali tidak lulus. Mengulang selama setahun, akhirnya lulus juga pada tahun 1958.
Ia pun dilepas ke Solo, untuk meneruskan pelajaran di SMA Sastra di Solo, tapi tak lebih dari 28 hari, ia tidak betah di sekolah itu. Dan, tempat pendidikan yang akhirnya memberikan ketenangan ialah ASRI, Yogyakarta. Ia belajar pada jurusan seni lukis (1958-1961). “Danarto dari sananya sudah begitu. Dia tidak mengizinkan 1x1 = 1 masuk dalam kepala dia. Semua cerpen tidak perlu penjelasan untuk semua keajaiban. Strategi Danarto, ya yang ajaibajaib itu,” ungkap-nya.
Dia menjelaskan bagi Danarto sastra itu nyata. Seniman yang tidak menyukai pelajaran aljabar ini tidak membedakan fakta dan fiksi. Danarto dinilai lebih sastrawan dari sastrawan. Bagi dia, sastrawan bukanlah pekerjaan tapi adalah dirinya sendiri. Sementara itu, pujangga ternama Tanah Air, Sapardi Djoko Damono, mengaku tahu betul “kegemblungan” seorang Danarto seperti apa.
Di matanya, masalah serius yang harus ditangani Danarto adalah panggung atau pentas. Panggung itu penting karena melibatkan penonton, seperti yang diinginkan Danarto. “Pada tahun 1970-an, semua teater diaduk. Ketoprak, wayang orang, ludruk dan teater luar negeri yang absurd yang akhirnya menjadi teater seperti saat ini. Lalu, apakah ini menjadi pembangkangan bagi dunia teater? Tapi apa yang dibangkangi?” sebutnya.
Susi susanti
(bbg)