Pelajar Aset Bangsa dan Pembinaan Berkelanjutan
A
A
A
Kepala Subdirektorat Kelembagaan dan Peserta Didik Ditjen Pendidikan Dasar Kemendikbud Supriano menyadari hasil IJSO bukanlah segala-galanya. Para siswa yang mengharumkan nama bangsa di kancah internasional ini masih memiliki jalan panjang untuk masa depan mereka.
Medali dan bonus saja belum cukup. Untuk sekadar diketahui, peraih medali emas di ajang IJSO 2014 menerima bonus uang Rp12,5 juta, medali perak Rp10 juta, dan medali perunggu Rp7,5 juta. Menurut Supriano, pemerintah tidak abai mengawal para pelajar yang berkemampuan dan berprestasi tinggi, termasuk mereka yang berhasil mengharumkan nama bangsa dalam kompetisi atau lomba tingkat internasional maupun regional.
Berdasarkan Peraturan Mendikbud No 95/2013 tentang Beasiswa Unggulan, pemerintah akan memberikan beasiswa pendidikan baik di dalam negeri maupun di mancanegara hingga jenjang strata 3 (S-3) kepada pelajar SMA yang memenangi kompetisi internasional.
“Ketika para pelajar SMP ini duduk di bangku SMA, mereka diharapkan lolos seleksi untuk mengikuti OSN tingkat SMA. Para juara tingkat nasional akan disaring untuk masuk tim delegasi Indonesia dalam kompetisi serupa di level internasional. Mereka yang berhasil meraih medali berhak atas beasiswa di perguruan tinggi,” papar Supriano.
Pelajar SMA yang dikirim ke kompetisi atau olimpiade sains internasional dan kemudian meraih medali emas akan diberi beasiswa hingga S-3, peraih medali perak mendapat beasiswa hingga jenjang S-2, dan peraih medali perunggu berhak atas beasiswa S-1. “Silakan pilih perguruan tingginya. Nanti setelah selesai studi, mereka diharapkan bekerja di Indonesia untuk membangun negeri dengan bekal ilmu yang sudah diperolehnya,” urainya.
Dia mengaku, pemerintah tidak menutup mata bahwa banyak negara lain yang mengincar bibit-bibit unggul Indonesia, para pelajar yang berprestasi luar biasa. Seperti pencari bakat, berbagai kampus atau lembaga donor di mancanegara seolah berlomba menawarkan beasiswa kepada para pelajar berprestasi kita yang sangat diandalkan membangun negeri ini di masa depan. Beasiswa yang ditawarkan sungguh menggiurkan karena berikut fasilitas hidup, bahkan hingga mereka meraih gelar doktor.
Akhirnya, pelajar seperti ini menjadi enggan kembali ke Indonesia setelah lulus. Mereka lebih memilih bekerja di luar negeri. Terlebih umumnya mereka langsung terikat kontrak atau perjanjian dengan institusi atau negara pemberi beasiswa. “Untuk kasus-kasus seperti ini, pemerintah tidak bisa mencegahnya. Itu kan hak anak yang bersangkutan dan orang tuanya,” kata Supriano.
Bagaimana kekuatan Peraturan Mendikbud No 95/2013? “Ada saja yang lebih memilih mengambil beasiswa dari mancanegara. Mungkin karena tawarannya dinilai lebih menjanjikan atau lebih cepat datang kepada mereka,” jawabnya. Pengamat yang juga praktisi pendidikan Yohanes Surya menyatakan, di ajang kompetisi atau olimpiade sains internasional, Indonesia tak pernah dipandang sebelah mata.
“Itu karena para pelajar kita selalu menjadi langganan juara,” ujarnya. Meski begitu, Surya menggarisbawahi insentif dan pembinaan demi masa depan para pelajar yang pernah berprestasi dalam kompetisi ilmu pengetahuan internasional.
“Memang ada kebijakan beasiswa bagi mereka. Tapi kenyataannya birokrasi di negara kita masih rumit untuk mengurus beasiswa tersebut. Akhirnya orang tua dan siswa bersangkutan jenuh kemudian menerima tawaran beasiswa dari luar negeri yang lebih menarik dan prosesnya sangat cepat,” urai guru besar fisika Universitas Kristen Satya Wacana ini.
Surya berharap persoalan birokrasi itu dapat segera diatasi agar bibit-bibit muda unggulan kita tidak “lepas”. “Alokasi dana sudah ada, peraturan ada, perintah sudah ada. Kenapa masih sulit?” pungkas fisikawan pembimbing (TOFI) ini.Pengamat pendidikan Arief Rachman memandang para siswa berprestasi di ajang olimpiade sains layak mendapat perlakuan khusus saat akan melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi.
Misalnya berhak lolos tanpa tes dengan standardisasi tertentu. “Para pelajar berprestasi kita harus dijaga sebagai bagian dari aset negara. Jangan sampai diambil dan berkiprah demi kepentingan negara lain,” kata nya.
Dina Angelina/Ilham safutra
Medali dan bonus saja belum cukup. Untuk sekadar diketahui, peraih medali emas di ajang IJSO 2014 menerima bonus uang Rp12,5 juta, medali perak Rp10 juta, dan medali perunggu Rp7,5 juta. Menurut Supriano, pemerintah tidak abai mengawal para pelajar yang berkemampuan dan berprestasi tinggi, termasuk mereka yang berhasil mengharumkan nama bangsa dalam kompetisi atau lomba tingkat internasional maupun regional.
Berdasarkan Peraturan Mendikbud No 95/2013 tentang Beasiswa Unggulan, pemerintah akan memberikan beasiswa pendidikan baik di dalam negeri maupun di mancanegara hingga jenjang strata 3 (S-3) kepada pelajar SMA yang memenangi kompetisi internasional.
“Ketika para pelajar SMP ini duduk di bangku SMA, mereka diharapkan lolos seleksi untuk mengikuti OSN tingkat SMA. Para juara tingkat nasional akan disaring untuk masuk tim delegasi Indonesia dalam kompetisi serupa di level internasional. Mereka yang berhasil meraih medali berhak atas beasiswa di perguruan tinggi,” papar Supriano.
Pelajar SMA yang dikirim ke kompetisi atau olimpiade sains internasional dan kemudian meraih medali emas akan diberi beasiswa hingga S-3, peraih medali perak mendapat beasiswa hingga jenjang S-2, dan peraih medali perunggu berhak atas beasiswa S-1. “Silakan pilih perguruan tingginya. Nanti setelah selesai studi, mereka diharapkan bekerja di Indonesia untuk membangun negeri dengan bekal ilmu yang sudah diperolehnya,” urainya.
Dia mengaku, pemerintah tidak menutup mata bahwa banyak negara lain yang mengincar bibit-bibit unggul Indonesia, para pelajar yang berprestasi luar biasa. Seperti pencari bakat, berbagai kampus atau lembaga donor di mancanegara seolah berlomba menawarkan beasiswa kepada para pelajar berprestasi kita yang sangat diandalkan membangun negeri ini di masa depan. Beasiswa yang ditawarkan sungguh menggiurkan karena berikut fasilitas hidup, bahkan hingga mereka meraih gelar doktor.
Akhirnya, pelajar seperti ini menjadi enggan kembali ke Indonesia setelah lulus. Mereka lebih memilih bekerja di luar negeri. Terlebih umumnya mereka langsung terikat kontrak atau perjanjian dengan institusi atau negara pemberi beasiswa. “Untuk kasus-kasus seperti ini, pemerintah tidak bisa mencegahnya. Itu kan hak anak yang bersangkutan dan orang tuanya,” kata Supriano.
Bagaimana kekuatan Peraturan Mendikbud No 95/2013? “Ada saja yang lebih memilih mengambil beasiswa dari mancanegara. Mungkin karena tawarannya dinilai lebih menjanjikan atau lebih cepat datang kepada mereka,” jawabnya. Pengamat yang juga praktisi pendidikan Yohanes Surya menyatakan, di ajang kompetisi atau olimpiade sains internasional, Indonesia tak pernah dipandang sebelah mata.
“Itu karena para pelajar kita selalu menjadi langganan juara,” ujarnya. Meski begitu, Surya menggarisbawahi insentif dan pembinaan demi masa depan para pelajar yang pernah berprestasi dalam kompetisi ilmu pengetahuan internasional.
“Memang ada kebijakan beasiswa bagi mereka. Tapi kenyataannya birokrasi di negara kita masih rumit untuk mengurus beasiswa tersebut. Akhirnya orang tua dan siswa bersangkutan jenuh kemudian menerima tawaran beasiswa dari luar negeri yang lebih menarik dan prosesnya sangat cepat,” urai guru besar fisika Universitas Kristen Satya Wacana ini.
Surya berharap persoalan birokrasi itu dapat segera diatasi agar bibit-bibit muda unggulan kita tidak “lepas”. “Alokasi dana sudah ada, peraturan ada, perintah sudah ada. Kenapa masih sulit?” pungkas fisikawan pembimbing (TOFI) ini.Pengamat pendidikan Arief Rachman memandang para siswa berprestasi di ajang olimpiade sains layak mendapat perlakuan khusus saat akan melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi.
Misalnya berhak lolos tanpa tes dengan standardisasi tertentu. “Para pelajar berprestasi kita harus dijaga sebagai bagian dari aset negara. Jangan sampai diambil dan berkiprah demi kepentingan negara lain,” kata nya.
Dina Angelina/Ilham safutra
(bbg)