Tak Bisa Ekspor, Petani Bunga Merana
A
A
A
Semangat para petani bunga di Jalur Gaza, Palestina, kendur seiring dengan tidak mekarnya bisnis perdagangan bunga ke ekspor bunga sejak 2007. Padahal sebelumnya bunga hias menjadi komoditas yang cukup menjanjikan bagi para petani di Gaza.
Keberuntungan dari budi daya bunga hias kini berbalik. Mereka terjatuh dan harus kembali berjuang dari titik awal. Bisnis ekspor perdagangan bunga ke luar negeri kini hanya menjadi impian belaka. Sebab, Israel selaku negara yang menjajah dan mengendalikan Palestina, menjaga ketat semua pintu keluar sejak 2007. Israel beralasan blokade dilakukan dengan alasan keamanan.
Dirjen Pemasaran Kementerian Pertanian Gaza Tahsin al- Sakka mengatakan, blokade yang dilakukan Israel membuat ekspor perdagangan bunga dari Gaza ke luar negeri terganggu. “Sebelum 2007, kami menjual 50 juta bunga seharga USD7 juta-8 juta (berkisar Rp100 miliar), tapi pada musim lalu, kami hanya menjual 2,5 juta kuntum bunga senilai USD0,5 juta,” ujar Al-Sakka seperti dikutip Al-Arabiya.
Lebih parah lagi, sepanjang 2014, petani bunga di Gaza mengalami pailit. Mereka sama sekali tidak mengekspor bunga ke luar negeri seiring dengan memanasnya situasi di Palestina. Bunga tersebut hanya bertebaran di atas ratusan kuburan warga Palestina yang tewas sepanjang pasukan pertahanan Israel (IDF) dan Hamas melakukan kontak senjata.
“Pada tahun lalu, ekspor bunga ke luar negeri benarbenar nihil. Penutupan ekspor ke luar negeri memengaruhi ekonomi dan petani bunga Palestina,” kata al-Sakka. Atas dasar itu pula, donasi dana dari negara luar negeri seperti Belanda berkurang karena perkembangannya mengecewakan. Menurut Al-Sakka, Pemerintah Belanda mendukung ekspor bunga dari Gaza sejak 2010.
Berkurangnya dukungan dana dari Belanda membuat para petani bunga Gaza kelabakan. Mereka tidak sanggup menanam bunga tanpa modal yang kuat. Untuk penanaman bunga per dunum (1.000 meter persegi) diperlukan biaya sekitar USD10.000 (sekitar Rp125,3 juta). Berkurangnya dukungan dari Belanda menjadi pukulan telak bagi petani di jalur Gaza karena selama ini Belanda berperan hampir 50% dari bisnis bunga Gaza.
“Belanda biasanya memberikan bantuan dana USD5.000. Namun, pada tahun lalu, donasi tersebut menurun menjadi hanya USD700 per petani terlepas dari seberapa luas setiap petani menanam bunga,” terang Al-Sakka. Tantangan pilu itu melemahkan keberuntungan dan semangat para petani Gaza.
Jumlah lahan penanaman bunga di Gaza pun akhirnya menyempit. Ironisnya, beberapa petani kini jatuh miskin sehingga terpaksa hidup dari belas kasihan orang lain. Utang mereka terus menumpuk karena minim penghasilan. Mereka bahkan harus berhadapan dengan hakim di meja hijau setelah hasil penjualan tanah, properti, dan semua benda yang mereka miliki tidak mampu menutupi utang.
Muh shamil
Keberuntungan dari budi daya bunga hias kini berbalik. Mereka terjatuh dan harus kembali berjuang dari titik awal. Bisnis ekspor perdagangan bunga ke luar negeri kini hanya menjadi impian belaka. Sebab, Israel selaku negara yang menjajah dan mengendalikan Palestina, menjaga ketat semua pintu keluar sejak 2007. Israel beralasan blokade dilakukan dengan alasan keamanan.
Dirjen Pemasaran Kementerian Pertanian Gaza Tahsin al- Sakka mengatakan, blokade yang dilakukan Israel membuat ekspor perdagangan bunga dari Gaza ke luar negeri terganggu. “Sebelum 2007, kami menjual 50 juta bunga seharga USD7 juta-8 juta (berkisar Rp100 miliar), tapi pada musim lalu, kami hanya menjual 2,5 juta kuntum bunga senilai USD0,5 juta,” ujar Al-Sakka seperti dikutip Al-Arabiya.
Lebih parah lagi, sepanjang 2014, petani bunga di Gaza mengalami pailit. Mereka sama sekali tidak mengekspor bunga ke luar negeri seiring dengan memanasnya situasi di Palestina. Bunga tersebut hanya bertebaran di atas ratusan kuburan warga Palestina yang tewas sepanjang pasukan pertahanan Israel (IDF) dan Hamas melakukan kontak senjata.
“Pada tahun lalu, ekspor bunga ke luar negeri benarbenar nihil. Penutupan ekspor ke luar negeri memengaruhi ekonomi dan petani bunga Palestina,” kata al-Sakka. Atas dasar itu pula, donasi dana dari negara luar negeri seperti Belanda berkurang karena perkembangannya mengecewakan. Menurut Al-Sakka, Pemerintah Belanda mendukung ekspor bunga dari Gaza sejak 2010.
Berkurangnya dukungan dana dari Belanda membuat para petani bunga Gaza kelabakan. Mereka tidak sanggup menanam bunga tanpa modal yang kuat. Untuk penanaman bunga per dunum (1.000 meter persegi) diperlukan biaya sekitar USD10.000 (sekitar Rp125,3 juta). Berkurangnya dukungan dari Belanda menjadi pukulan telak bagi petani di jalur Gaza karena selama ini Belanda berperan hampir 50% dari bisnis bunga Gaza.
“Belanda biasanya memberikan bantuan dana USD5.000. Namun, pada tahun lalu, donasi tersebut menurun menjadi hanya USD700 per petani terlepas dari seberapa luas setiap petani menanam bunga,” terang Al-Sakka. Tantangan pilu itu melemahkan keberuntungan dan semangat para petani Gaza.
Jumlah lahan penanaman bunga di Gaza pun akhirnya menyempit. Ironisnya, beberapa petani kini jatuh miskin sehingga terpaksa hidup dari belas kasihan orang lain. Utang mereka terus menumpuk karena minim penghasilan. Mereka bahkan harus berhadapan dengan hakim di meja hijau setelah hasil penjualan tanah, properti, dan semua benda yang mereka miliki tidak mampu menutupi utang.
Muh shamil
(bbg)