Tangani Korban Bom Bali hingga MH17 di Ukraina
A
A
A
Menjalani profesi sebagai dokter forensik mungkin bukan citacitanya. Namun, panggilan jiwa membuat wanita yang memiliki nama lengkap Summy Hastry Purwanti ini memilih untuk menekuni profesi tersebut. ”Awalnya saya enggak bermimpi ingin menjadi dokter forensik. Namun, lama-lama saya suka juga,” ucapnya di sela bertugas mengidentifikasi korban AirAsia di RSUD Sultan Imanuddin, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
Ketertarikannya terhadap forensik berawal ketika dirinya masuk Sekolah Perwira Prajurit Karier di kepolisian pada 1997 silam. ”Pertama kali jadi polisi diajak ke tempat kejadian perkara (TKP) pembunuhan di Semarang, saat itu saya disarankan masuk kedokteran dan mendalami forensik,” ujarnya.
Kemudian pada 2001-2005 Hastry melanjutkan studinya di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip). ”Selama saya sekolah banyak peristiwa ledakan bom di sejumlah wilayah Indonesia. Sejak peristiwa itu jadi keterusan, fokus. Terakhir di Ukraina itu, MH17 (jatuhnya pesawat Malaysia Airlines akibat ditembak rudal),” papar Hastry yang kini menjabat kepala Subbidang Dokpol Biddokes Polda Jateng ini.
Ada banyak tantangan yang harus dihadapi dokter forensik. Selain harus bekerja tanpa kenal waktu, profesi ini menuntut kekuatan mental karena harus sering berhadapan dengan berbagai jenis mayat, baik yang sudah membusuk maupun potongan tubuh manusia yang tak lagi dikenali. Mereka adalah orang-orang yang biasanya menjadi korban dalam berbagai peristiwa kecelakaan, ledakan bom, maupun bencana alam.
Namun, berkat kehadirannya dalam berbagai misi, tidak sedikit keluarga korban yang merasa tertolong karena berhasil menemukan identitas keluarga mereka. Tugas itulah yang kini dilakukan Hastry, sapaan akrabnya yang dipercaya untuk mengidentifikasi korban hilangnya pesawat AirAsia di Selat Karimata pada Minggu (28/12) lalu. Kepercayaan yang diembankan kepada Hastry memang bukan tanpa alasan.
Sebagai satu-satunya dokter forensik di Polda Jawa Tengah dan masih sedikitnya orang yang menggeluti bidang itu di Indonesia, Hastry kerap diminta bantuan dalam mengidentifikasi jenazah dalam beberapa peristiwa. Sudah banyak kasus yang ditanganinya, dari gempa di Klaten dan Yogya, tsunami di Cilacap, tenggelamnya KM Senopati Nusantara, kecelakaan pesawat Garuda di Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta, dan letusan Gunung Merapi.
Bahkan Hastry juga menangani identifikasi peristiwa Bom Bali I dan II, ledakan bom Mega Kuningan dan JW Marriot, jatuhnya pesawat Sukhoi di Bogor dan sebagainya. ”Terakhir saya dikirim Mabes Polri menangani kasus MH17 di Ukraina. Kalau di Jateng ya pembunuhan minimal 100 kali per tahun,” ucapnya.
Karena pengalamannya yang segudang, wanita berkaca mata ini memutuskan untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam mempertahankan jenazah korban pesawat AirAsia supaya tidak mengalami pembusukan lanjut. Terutama organ-organ penting untuk identifikasi primer seperti sidik jari dan gigi. ”Langkah-langkahnya, jenazah datang kita buka, kita foto, posisi awalnya apa, mengenakan apa, apakah masih utuh organnya, apakah masih bisa dikenali.
Dari kemarin wajah para korban memang tidak bisa dikenali karena sudah dalam pembusukan. Proses air laut mempercepat pembusukan, kalau orang normal membusuk itu 4-5 hari. Kalau menunggu (hasil tes) DNA kan lama,” katanya. Hastry menambahkan, organ penting untuk identifikasi primer tersebut langsung dibersihkan dan dikeringkan, kemudian ditutup semua lubang keluar pada tubuh sebelum akhirnya dilapisi dengan plastik keras, kencang, agar kedap udara.
”Pembusukan dimulai dari lambung ke atas atau ke bawah. Apa yang kami lakukan benar-benar bisa mencegah pembusukan. Jadi temanteman yang di Surabaya bisa bekerja dengan nyaman dan cepat agar bisa segera mendapatkan hasil dari identifikasi primer itu,” ujarnya. Dibutuhkan waktu sekitar 30 menit sampai satu jam untuk mengurus satu jenazah oleh delapan orang, termasuk di dalamnya satu dokter forensik. Untuk kasus AirAsia, ada dua tim forensik yang dibentuk.
”Jadi satu dokter forensik dengan tujuh teknisi forensik. Kalau teknisi ada beberapa shift , kalau dokter forensik tidak ada shift . Kalau saya siang dan malam, sudah biasa, kalau perlu tidur di sini,” ujar Hastry yang menjadi ketua Tim I Forensik. Pada awal-awal menggeluti profesi ini keluarganya sempat keberatan, namun lambat laun bisa menerima. ”Lama-lama tahu saya dibutuhkan, jadi anak-anak sudah mengerti kalau ibu ngurus jenazah lagi,” tuturnya.
Sucipto
Pangkalan Bun
Ketertarikannya terhadap forensik berawal ketika dirinya masuk Sekolah Perwira Prajurit Karier di kepolisian pada 1997 silam. ”Pertama kali jadi polisi diajak ke tempat kejadian perkara (TKP) pembunuhan di Semarang, saat itu saya disarankan masuk kedokteran dan mendalami forensik,” ujarnya.
Kemudian pada 2001-2005 Hastry melanjutkan studinya di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip). ”Selama saya sekolah banyak peristiwa ledakan bom di sejumlah wilayah Indonesia. Sejak peristiwa itu jadi keterusan, fokus. Terakhir di Ukraina itu, MH17 (jatuhnya pesawat Malaysia Airlines akibat ditembak rudal),” papar Hastry yang kini menjabat kepala Subbidang Dokpol Biddokes Polda Jateng ini.
Ada banyak tantangan yang harus dihadapi dokter forensik. Selain harus bekerja tanpa kenal waktu, profesi ini menuntut kekuatan mental karena harus sering berhadapan dengan berbagai jenis mayat, baik yang sudah membusuk maupun potongan tubuh manusia yang tak lagi dikenali. Mereka adalah orang-orang yang biasanya menjadi korban dalam berbagai peristiwa kecelakaan, ledakan bom, maupun bencana alam.
Namun, berkat kehadirannya dalam berbagai misi, tidak sedikit keluarga korban yang merasa tertolong karena berhasil menemukan identitas keluarga mereka. Tugas itulah yang kini dilakukan Hastry, sapaan akrabnya yang dipercaya untuk mengidentifikasi korban hilangnya pesawat AirAsia di Selat Karimata pada Minggu (28/12) lalu. Kepercayaan yang diembankan kepada Hastry memang bukan tanpa alasan.
Sebagai satu-satunya dokter forensik di Polda Jawa Tengah dan masih sedikitnya orang yang menggeluti bidang itu di Indonesia, Hastry kerap diminta bantuan dalam mengidentifikasi jenazah dalam beberapa peristiwa. Sudah banyak kasus yang ditanganinya, dari gempa di Klaten dan Yogya, tsunami di Cilacap, tenggelamnya KM Senopati Nusantara, kecelakaan pesawat Garuda di Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta, dan letusan Gunung Merapi.
Bahkan Hastry juga menangani identifikasi peristiwa Bom Bali I dan II, ledakan bom Mega Kuningan dan JW Marriot, jatuhnya pesawat Sukhoi di Bogor dan sebagainya. ”Terakhir saya dikirim Mabes Polri menangani kasus MH17 di Ukraina. Kalau di Jateng ya pembunuhan minimal 100 kali per tahun,” ucapnya.
Karena pengalamannya yang segudang, wanita berkaca mata ini memutuskan untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam mempertahankan jenazah korban pesawat AirAsia supaya tidak mengalami pembusukan lanjut. Terutama organ-organ penting untuk identifikasi primer seperti sidik jari dan gigi. ”Langkah-langkahnya, jenazah datang kita buka, kita foto, posisi awalnya apa, mengenakan apa, apakah masih utuh organnya, apakah masih bisa dikenali.
Dari kemarin wajah para korban memang tidak bisa dikenali karena sudah dalam pembusukan. Proses air laut mempercepat pembusukan, kalau orang normal membusuk itu 4-5 hari. Kalau menunggu (hasil tes) DNA kan lama,” katanya. Hastry menambahkan, organ penting untuk identifikasi primer tersebut langsung dibersihkan dan dikeringkan, kemudian ditutup semua lubang keluar pada tubuh sebelum akhirnya dilapisi dengan plastik keras, kencang, agar kedap udara.
”Pembusukan dimulai dari lambung ke atas atau ke bawah. Apa yang kami lakukan benar-benar bisa mencegah pembusukan. Jadi temanteman yang di Surabaya bisa bekerja dengan nyaman dan cepat agar bisa segera mendapatkan hasil dari identifikasi primer itu,” ujarnya. Dibutuhkan waktu sekitar 30 menit sampai satu jam untuk mengurus satu jenazah oleh delapan orang, termasuk di dalamnya satu dokter forensik. Untuk kasus AirAsia, ada dua tim forensik yang dibentuk.
”Jadi satu dokter forensik dengan tujuh teknisi forensik. Kalau teknisi ada beberapa shift , kalau dokter forensik tidak ada shift . Kalau saya siang dan malam, sudah biasa, kalau perlu tidur di sini,” ujar Hastry yang menjadi ketua Tim I Forensik. Pada awal-awal menggeluti profesi ini keluarganya sempat keberatan, namun lambat laun bisa menerima. ”Lama-lama tahu saya dibutuhkan, jadi anak-anak sudah mengerti kalau ibu ngurus jenazah lagi,” tuturnya.
Sucipto
Pangkalan Bun
(bbg)