Mulai Gantung Diri hingga Minum Cairan Berbahaya
A
A
A
SEMARANG - Kasus bunuh diri di Jawa Tengah cukup besar. Ratusan orang memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri sepanjang 2014. Ini bukti tingkat depresi masyarakat di provinsi ini masih tinggi.
Berdasarkan data Polda Jateng, tercatat 301 orang bunuh diri sepanjang tahun lalu. Jumlah ini puntermasuk menurun 39 kasus ketimbang 2013 yang masih mencatatkan 340 kasus orang bunuhdiri. Cara bunuh diri mereka beragam mulai gantung diri hingga minum cairan berbahaya. “Data itu tercatat dari berbagai kejadian di Jawa Tengah,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jateng Kombes Pol A Liliek Darmanto kemarin.
Kepolisian mencatat, kasus bunuh diri itu masuk data gangguan terhadap ketertiban umum. Ini masih gangguan terhadap orang. Kasus lainnya yakni pada 2014 ditemukan 451 mayat dan 971 orang meninggal dunia. Jumlah ini juga menurun dibandingkan 2013 yang tercatat ada 532 kasus penemuan mayat dan 993 orang meninggal dunia. Dari beberapa kejadian yang ada, orang bunuh diri bisa berasal dari berbagai lapisan masyarakat mulai dari pelajar hingga pensiunan polisi.
Sebut saja di daerah Tembalang, Semarang, 10 November lalu, pelajar kelas XII SMA, AS, bunuh diri menggantung lehernya dengan sarung di kamar rumahnya. Pensiunan polisi FX Soemarso, 75, juga gantung diri di ventilasi kamar rumahnya, Jalan Elang Sari Raya Tembalang, 3 Oktober lalu. Keterangan sejumlah saksi menyebut korban mengalami depresi.
Pada 1 September 2014, AD, 20, mahasiswa perguruan tinggi di Semarang nekat gantung diri di dapur tempat indekosnya daerah Bawangan, Kelurahan Siwalan, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang. Aksi AD yang asli Pati diduga karena bertengkar dengan kekasihnya. AD gantung diri meninggalkan surat wasiat. Di saku korban, ada secarik kertas tulisan tangan yang berisikan permohonan maaf untuk kekasihnya.
Dia juga mengucapkan terima kasih kepada temannya, Nanang dan Rayyin, yang diminta menghubungi ibunya jika sudah meninggal. Sementara itu, Kepala Bidang Kedokteran Kesehatan (Dokkes) Polda Jawa Tengah Kombes Pol Rini Muliawati mengatakan bahwa kasus-kasus bunuh diri, penemuan mayat, ataupun orang meninggal dunia yang ada tentu melewati pemeriksaan medis.
“Itu untuk memastikan apakah korban betul-betul meninggal dunia karena bunuh diri, meninggal wajar, atau ada penyebab lain seperti menjadi korban pembunuhan misalnya. Ahli forensik juga dilibatkan dalam penanganan kasus seperti ini,” ungkapnya. Fitri, psikolog dari RSUP dr Kariadi Semarang, menyebut banyaknya kejadian bunuh diri tersebut menunjukkan banyaknya masyarakat yang mengalami depresi.
“Depresi itu tidak langsung begitu saja muncul. Ada prosesnya, dan gejalanya bisa dilihat. Ini perlu ada upaya penyuluhan kepada masyarakat untuk mengenal dan mengetahui apa itu depresi. Jadi, bisa dicari solusi,” tegasnya. Fitri tak keliru. Masyarakat memang perlu diberikan pemahaman dan solusi mengenai persoalan-persoalan yang mereka hadapi sehingga tidak berakhir dengan aksi nekat bunuh diri.
Tanpa itu, masalah-masalah depresi bukan tak mungkin akan terus berbuntut tindakan bunuh diri. Persoalan itu juga bukan hanya menimpa Jateng yang mencatatkan 301 kasus bunuh diri akibat depresi pada 2014. Beberapa daerah lain pun mengalami hal serupa. Satu kasus bunuh diri di Bojonegoro, Jawa Timur, 27 Oktoberlalu, misalnya, jugakarena depresi.
Railda Jaini Marlina, warga Kecamatan Kanor yang masih berusia 14 tahun, nekat gantung diri lantaran frustrasi sering dimarahi orang tuanya. Siswi SMP Negeri 1 Kanor itu ditemukan pertama kali dalam keadaan tidak bernyawa dengan kondisi leher terikat kain selendang yang diikatkan di kayu belandar di dalam kamarnya. Begitu juga tewasnya Aiptu Yudika Manau, anggota Satreskrim Polresta Barelang, Kepulauan Riau, tak lepas dari persoalan pribadi yang tengah dihadapinya.
Lelaki 44 tahun itu ditemukan tewas di Kampung Belian, Batam Centre, Kepulauan Riau, 13 September lalu, setelah menembak kepalanya sendiri dengan pistol Polri jenis revolver di dalam mobilnya. Disebut-sebut tindakan itu dilakukannya tak lama setelah dia sempat ribut kecil dengan sang istri. Kejadian-kejadian ini menunjukkan bahwa setiap orang tanpa terbatas status dan kedudukan punya peluang berbuat nekat jika tak bisa menyelesaikan persoalan pribadinya. Ini yang membuat masyarakat perlu diberikan pemahaman.
Eka setiawan/Muhammad roqib/Hendra zaimi
Berdasarkan data Polda Jateng, tercatat 301 orang bunuh diri sepanjang tahun lalu. Jumlah ini puntermasuk menurun 39 kasus ketimbang 2013 yang masih mencatatkan 340 kasus orang bunuhdiri. Cara bunuh diri mereka beragam mulai gantung diri hingga minum cairan berbahaya. “Data itu tercatat dari berbagai kejadian di Jawa Tengah,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Jateng Kombes Pol A Liliek Darmanto kemarin.
Kepolisian mencatat, kasus bunuh diri itu masuk data gangguan terhadap ketertiban umum. Ini masih gangguan terhadap orang. Kasus lainnya yakni pada 2014 ditemukan 451 mayat dan 971 orang meninggal dunia. Jumlah ini juga menurun dibandingkan 2013 yang tercatat ada 532 kasus penemuan mayat dan 993 orang meninggal dunia. Dari beberapa kejadian yang ada, orang bunuh diri bisa berasal dari berbagai lapisan masyarakat mulai dari pelajar hingga pensiunan polisi.
Sebut saja di daerah Tembalang, Semarang, 10 November lalu, pelajar kelas XII SMA, AS, bunuh diri menggantung lehernya dengan sarung di kamar rumahnya. Pensiunan polisi FX Soemarso, 75, juga gantung diri di ventilasi kamar rumahnya, Jalan Elang Sari Raya Tembalang, 3 Oktober lalu. Keterangan sejumlah saksi menyebut korban mengalami depresi.
Pada 1 September 2014, AD, 20, mahasiswa perguruan tinggi di Semarang nekat gantung diri di dapur tempat indekosnya daerah Bawangan, Kelurahan Siwalan, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang. Aksi AD yang asli Pati diduga karena bertengkar dengan kekasihnya. AD gantung diri meninggalkan surat wasiat. Di saku korban, ada secarik kertas tulisan tangan yang berisikan permohonan maaf untuk kekasihnya.
Dia juga mengucapkan terima kasih kepada temannya, Nanang dan Rayyin, yang diminta menghubungi ibunya jika sudah meninggal. Sementara itu, Kepala Bidang Kedokteran Kesehatan (Dokkes) Polda Jawa Tengah Kombes Pol Rini Muliawati mengatakan bahwa kasus-kasus bunuh diri, penemuan mayat, ataupun orang meninggal dunia yang ada tentu melewati pemeriksaan medis.
“Itu untuk memastikan apakah korban betul-betul meninggal dunia karena bunuh diri, meninggal wajar, atau ada penyebab lain seperti menjadi korban pembunuhan misalnya. Ahli forensik juga dilibatkan dalam penanganan kasus seperti ini,” ungkapnya. Fitri, psikolog dari RSUP dr Kariadi Semarang, menyebut banyaknya kejadian bunuh diri tersebut menunjukkan banyaknya masyarakat yang mengalami depresi.
“Depresi itu tidak langsung begitu saja muncul. Ada prosesnya, dan gejalanya bisa dilihat. Ini perlu ada upaya penyuluhan kepada masyarakat untuk mengenal dan mengetahui apa itu depresi. Jadi, bisa dicari solusi,” tegasnya. Fitri tak keliru. Masyarakat memang perlu diberikan pemahaman dan solusi mengenai persoalan-persoalan yang mereka hadapi sehingga tidak berakhir dengan aksi nekat bunuh diri.
Tanpa itu, masalah-masalah depresi bukan tak mungkin akan terus berbuntut tindakan bunuh diri. Persoalan itu juga bukan hanya menimpa Jateng yang mencatatkan 301 kasus bunuh diri akibat depresi pada 2014. Beberapa daerah lain pun mengalami hal serupa. Satu kasus bunuh diri di Bojonegoro, Jawa Timur, 27 Oktoberlalu, misalnya, jugakarena depresi.
Railda Jaini Marlina, warga Kecamatan Kanor yang masih berusia 14 tahun, nekat gantung diri lantaran frustrasi sering dimarahi orang tuanya. Siswi SMP Negeri 1 Kanor itu ditemukan pertama kali dalam keadaan tidak bernyawa dengan kondisi leher terikat kain selendang yang diikatkan di kayu belandar di dalam kamarnya. Begitu juga tewasnya Aiptu Yudika Manau, anggota Satreskrim Polresta Barelang, Kepulauan Riau, tak lepas dari persoalan pribadi yang tengah dihadapinya.
Lelaki 44 tahun itu ditemukan tewas di Kampung Belian, Batam Centre, Kepulauan Riau, 13 September lalu, setelah menembak kepalanya sendiri dengan pistol Polri jenis revolver di dalam mobilnya. Disebut-sebut tindakan itu dilakukannya tak lama setelah dia sempat ribut kecil dengan sang istri. Kejadian-kejadian ini menunjukkan bahwa setiap orang tanpa terbatas status dan kedudukan punya peluang berbuat nekat jika tak bisa menyelesaikan persoalan pribadinya. Ini yang membuat masyarakat perlu diberikan pemahaman.
Eka setiawan/Muhammad roqib/Hendra zaimi
(bbg)