Pajak Progresif di Jakarta Naik 150%
A
A
A
JAKARTA - Pajak progresif kendaraan bermotor di Jakarta tahun ini naik hingga 150%. Kebijakan bertujuan membatasi peningkatan kendaraan bermotor di Ibu Kota. Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Iwan Setiawan mengatakan, pajak progresif adalah pengenaan pajak berdasarkan jumlah kendaraan bermotor yang dimiliki satu orang.
Dengan demikian, pajak progresif diberlakukan kepada wajib pajak yang memiliki kendaraan lebih dari satu dengan jenis yang sama. Misalnya satu orang memiliki dua atau lebih kendaraan roda empat atas nama dan alamat yang sama, maka dia terkena pajak progresif.
“Pajak progresif itu hanya berlaku untuk kendaraan milik pribadi. Bagi pengusaha angkutan umum, perusahaan taksi maupun lainnya tidak akan dikenakan pajak progresif tersebut,” kata Iwan kemarin. Menurutnya, orang yang memiliki ekonomi lebih sudah seharusnya terkena pajak yang besar sehingga filosofi keadilan secara vertikal dapat diwujudkan.
Selain itu, kata Iwan, pajak progresif tersebut juga sesuai dengan tindak lanjut penanganan kepadatan lalu lintas di Ibu Kota dengan cara membatasi kendaraan bermotor melalui instrumen perpajakan, sekaligus menggalang peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) untuk menunjang pembangunan transportasi massal. “Dengan naiknya PAD, pemerintah bisa menata transportasi massal. Kalau transportasi sudah nyaman, saya rasa pengguna kendaraan pribadi akan beralih ke transportasi massal,” ujarnya.
Besaran pajak progresif, kata Iwan, dimulai 2% untuk kendaraan kedua dari sebelumnya hanya 1,5%. Untuk kendaraan ketiga, kenaikan mencapai 120%, dari yang sebelumnya 2,5% menjadi 6%. Adapun kendaraan keempat dan seterusnya dikenakan pajak 10% dari yang sebelumnya hanya 4% atau naik 150%.
“Perda tentang pajak harus mendapatkan evaluasi dan rekomendasi dari Kemendagri. Nantinya apakah ada perubahan atau tidak, akan kami perbaiki lagi. Kemungkinan pajak progresif ini diberlakukan pertengahan Januari,” jelasnya. Pengamat perkotaan Universitas Trisakti Yayat Supriatna mengatakan, pajak progresif sebenarnya kebijakan lama yang tidak memberikan pengaruh besar.
“Mau berapa besar pajaknya tidak akan memengaruhi daya beli masyarakat, khususnya yang berekonomi lebih,” ungkapnya. Solusinya, lanjut Yayat, kebijakan tersebut harus dibarengi dengan perbaikan manajemen pembatasan lalu lintas dan perbaikan transportasi massal. Menurutnya, pemilik kendaraan lebih takut apabila kebijakan tarif parkir dimahalkan, harga bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan, danpemberlakuan electronic road pricing (ERP) ketimbang pajak dinaikkan.
“Kalau transportasi massal sudah bisa mengalahkan kenyamanan kendaraan pribadi, baru tujuan pengendalian kepadatan lalu lintas dapat terwujud,” tegasnya. Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia Lisman Manurung mengatakan, pajak progresif merupakan standar dunia yang diterapkan untuk menekan angka kendaraan bermotor. Misalnya yang dilakukan pemerintah Australia yang menerapkan pajak progresif untuk menekan angka kendaraan.
“Hanya, harus diimbangi dengan kebijakan lain sehingga tujuan dari penerapan kebijakan ini tercapai. Misalnya dengan pembatasan berbasis kelengkapan sarana,” kata Lisman. Maksudnya ketika seseorang ingin mendapatkan lisensi kepemilikan kendaraan maka harus dipastikan jika dia memiliki sarana parkir yang memadai. Jadi, mereka tidak sembarangan memarkir kendaraan.
“Ujung-ujungnya juga akan membatasi bagi mereka yang berkemampuan lebih,” tegasnya. Yang tidak kalah penting adalah perbaikan dan peningkatan kualitas sarana transportasi umum. Dengan demikian, warga lebih memilih menggunakan transportasi umum ketimbang kendaraan pribadi. Yang disayangkan, saat ini kualitas transportasi umum di Ibu Kota belum memadai. “Ini yang menyebabkan orang enggan menggunakan transportasi umum dan memilih kendaraan pribadi,” terangnya.
Angka Kecelakaan Turun
Sementara itu, selama 2014 terjadi ribuan kasus kecelakaan lalu lintas terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Unggung Cahyono mengatakan, angka kecelakaan lalu lintas 2014 turun dibanding 2013. Pada 2013 terdapat 5.991 kecelakaan lalu lintas dan tahun lalu 5.472 kejadian. “Begitu juga korban yang meninggal dunia turun dari 626 orang menjadi 578 orang,” tuturnya.
Untuk korban luka berat itu 2.515 orang dan luka ringan 3.618 orang. Kendaraan yang terlibat kecelakaan 8.282 unit dan penyelesaian perkara 3.227 kasus. Kerugian materiil yang ditimbulkan akibat kecelakaan selama 2014 sebesar Rp19,624 miliar. Kasubdit Pembinaan dan Penegakan Hukum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Hindarsono menegaskan, maraknya kecelakaan di Ibu Kota karena rendahnya disiplin pengguna jalan dalam berlalu lintas.
Misalnya banyaknya rambu lalu lintas yang dilanggar. “Ada beberapa kasus yang melanggar traffic light, menerobos jalur bus Transjakarta (busway), dan menerobos pintu perlintasan kereta api,” tegasnya.
Bima setiyadi/R ratna purnama/Helmi syarif
Dengan demikian, pajak progresif diberlakukan kepada wajib pajak yang memiliki kendaraan lebih dari satu dengan jenis yang sama. Misalnya satu orang memiliki dua atau lebih kendaraan roda empat atas nama dan alamat yang sama, maka dia terkena pajak progresif.
“Pajak progresif itu hanya berlaku untuk kendaraan milik pribadi. Bagi pengusaha angkutan umum, perusahaan taksi maupun lainnya tidak akan dikenakan pajak progresif tersebut,” kata Iwan kemarin. Menurutnya, orang yang memiliki ekonomi lebih sudah seharusnya terkena pajak yang besar sehingga filosofi keadilan secara vertikal dapat diwujudkan.
Selain itu, kata Iwan, pajak progresif tersebut juga sesuai dengan tindak lanjut penanganan kepadatan lalu lintas di Ibu Kota dengan cara membatasi kendaraan bermotor melalui instrumen perpajakan, sekaligus menggalang peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) untuk menunjang pembangunan transportasi massal. “Dengan naiknya PAD, pemerintah bisa menata transportasi massal. Kalau transportasi sudah nyaman, saya rasa pengguna kendaraan pribadi akan beralih ke transportasi massal,” ujarnya.
Besaran pajak progresif, kata Iwan, dimulai 2% untuk kendaraan kedua dari sebelumnya hanya 1,5%. Untuk kendaraan ketiga, kenaikan mencapai 120%, dari yang sebelumnya 2,5% menjadi 6%. Adapun kendaraan keempat dan seterusnya dikenakan pajak 10% dari yang sebelumnya hanya 4% atau naik 150%.
“Perda tentang pajak harus mendapatkan evaluasi dan rekomendasi dari Kemendagri. Nantinya apakah ada perubahan atau tidak, akan kami perbaiki lagi. Kemungkinan pajak progresif ini diberlakukan pertengahan Januari,” jelasnya. Pengamat perkotaan Universitas Trisakti Yayat Supriatna mengatakan, pajak progresif sebenarnya kebijakan lama yang tidak memberikan pengaruh besar.
“Mau berapa besar pajaknya tidak akan memengaruhi daya beli masyarakat, khususnya yang berekonomi lebih,” ungkapnya. Solusinya, lanjut Yayat, kebijakan tersebut harus dibarengi dengan perbaikan manajemen pembatasan lalu lintas dan perbaikan transportasi massal. Menurutnya, pemilik kendaraan lebih takut apabila kebijakan tarif parkir dimahalkan, harga bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan, danpemberlakuan electronic road pricing (ERP) ketimbang pajak dinaikkan.
“Kalau transportasi massal sudah bisa mengalahkan kenyamanan kendaraan pribadi, baru tujuan pengendalian kepadatan lalu lintas dapat terwujud,” tegasnya. Pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia Lisman Manurung mengatakan, pajak progresif merupakan standar dunia yang diterapkan untuk menekan angka kendaraan bermotor. Misalnya yang dilakukan pemerintah Australia yang menerapkan pajak progresif untuk menekan angka kendaraan.
“Hanya, harus diimbangi dengan kebijakan lain sehingga tujuan dari penerapan kebijakan ini tercapai. Misalnya dengan pembatasan berbasis kelengkapan sarana,” kata Lisman. Maksudnya ketika seseorang ingin mendapatkan lisensi kepemilikan kendaraan maka harus dipastikan jika dia memiliki sarana parkir yang memadai. Jadi, mereka tidak sembarangan memarkir kendaraan.
“Ujung-ujungnya juga akan membatasi bagi mereka yang berkemampuan lebih,” tegasnya. Yang tidak kalah penting adalah perbaikan dan peningkatan kualitas sarana transportasi umum. Dengan demikian, warga lebih memilih menggunakan transportasi umum ketimbang kendaraan pribadi. Yang disayangkan, saat ini kualitas transportasi umum di Ibu Kota belum memadai. “Ini yang menyebabkan orang enggan menggunakan transportasi umum dan memilih kendaraan pribadi,” terangnya.
Angka Kecelakaan Turun
Sementara itu, selama 2014 terjadi ribuan kasus kecelakaan lalu lintas terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Unggung Cahyono mengatakan, angka kecelakaan lalu lintas 2014 turun dibanding 2013. Pada 2013 terdapat 5.991 kecelakaan lalu lintas dan tahun lalu 5.472 kejadian. “Begitu juga korban yang meninggal dunia turun dari 626 orang menjadi 578 orang,” tuturnya.
Untuk korban luka berat itu 2.515 orang dan luka ringan 3.618 orang. Kendaraan yang terlibat kecelakaan 8.282 unit dan penyelesaian perkara 3.227 kasus. Kerugian materiil yang ditimbulkan akibat kecelakaan selama 2014 sebesar Rp19,624 miliar. Kasubdit Pembinaan dan Penegakan Hukum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Hindarsono menegaskan, maraknya kecelakaan di Ibu Kota karena rendahnya disiplin pengguna jalan dalam berlalu lintas.
Misalnya banyaknya rambu lalu lintas yang dilanggar. “Ada beberapa kasus yang melanggar traffic light, menerobos jalur bus Transjakarta (busway), dan menerobos pintu perlintasan kereta api,” tegasnya.
Bima setiyadi/R ratna purnama/Helmi syarif
(bbg)