Pertaruhkan Nyawa Tembus Cuaca Ekstrem
A
A
A
Semangat juang personel gabungan Badan SAR Nasional (Basarnas) patut diapresiasi dan diacungi jempol. Bagaimana tidak, siang malam mereka bahu-membahu mencari pesawat AirAsia QZ8501 yang lost contact saat terbang dari Surabaya menuju Singapura, Minggu (28/12) lalu.
Pesawat yang mengangkut 162 penumpang beserta kru pesawat ini dinyatakan hilang setelah terbang selama lebih dari 1,5 jam. Usaha dan kerja keras para personel gabungan tanpa kenal lelah pun membuahkan hasil. Tepatnya, Selasa (30/12) lalu, sejumlah pesawat yang dikerahkan untuk melakukan pencarian berhasil menemukan serpihan pesawat milik AirAsia dan jasad penumpang di perairan Selat Karimata, Laut Jawa.
Meski begitu, perjuangan mereka belum usai. Mereka harus bekerja lebih keras lagi untuk menemukan dan mengevakuasi para korban. Tim SAR berkejaran dengan waktu mengingat semakin lama para korban akan makin sulit ditemukan. Tantangan bertambah berat karena cuaca di sana sedang tidak bersahabat.
Buruknya cuaca menjadi kendala serius Tim SAR untuk mengevakuasi para korban. Hal itulah yang dihadapi Perwira Operasi Skuadron 400 Wing Udara 2, Pusdal Pondok Cabe, Jakarta Kapten Laut (P) Candra Budiarjo saat berupaya mengevakuasi dua jenazah dari KRI Bung Tomo menuju Pangkalan Bun, sebelum akhirnya diterbangkan ke Surabaya. Pilot Boeing 737 200 seri 302 Intai Maritim Makassar menuturkan bagaimana sulitnya melakukan evakuasi para korban.
”Saat kita menuju KRI Bung Tomo untuk melaksanakan evakuasi memang terkendala cuaca. Proses landing lebih ekstra dalam situasi cuaca yang ekstrem,” ujarnya usai melakukan evakuasi di Pangkalan Bun. Namun, tantangan berat itu tidak membuat dia dan timnya menyerah. Menggunakan helikopter Dolphin buatan Prancis, dia harus menembus pekatnya awan hitam.
Belum lagi kondisi kapal yang akan dilandasinya dalam kondisi terombang-ambing karena tingginya gelombang air laut yang mencapai 3-4 meter. Hal itu membuatnya harus ekstra hati-hati. ”Kita di-guide oleh kapal KRI. Jadi bisa ke sana (lokasi KRI), kita dipandu juga dengan radar dari KRI Bung Tomo. Kita juga menggunakan radar guide yang dipandu KRI untuk bisa landing. Kapalnya goyang-goyang. Kita terbantu dengan pesawat yang baru, benar-benar all weather capability ,” ujarnya.
Meski menantang bahaya, tak membuat nyali Candra ciut. Dia tetap bersemangat agar para korban bisa secepatnya dievakuasi. Dengan pengalamannya sebagai pilot TNI AL sejak 2005, ayah dari dua orang anak ini mengaku sudah biasa mengawaki helikopter Basarnas dalam berbagai misi kemanusiaan.
”Yang penting kita tahu limitasi dari pesawat. Selama kita punya batasan keselamatan untuk landing, maka akan diusahakan landing. Semua manusia hanya berusaha, sisanya Allah yang menentukan,” ucapnya. Candra tidak memungkiri dibutuhkan keahlian khusus untuk mengendalikan helikopter landing di tempat kecil pada kapal dalam cuaca ekstrem dan situasi yang tidak stabil.
Setelah berhasil landing , proses evakuasi baru berjalan dengan lancar. Kedua jenazah kemudian dibawa ke Pangkalan Bun untuk selanjutnya diterbangkan ke Surabaya. ”Kita ambil dua. Sebenarnya ada tiga, tapi karena space-nya terbatas, kita hanya bisa angkut dua jenazah dulu. Keduanya dibungkus kantong mayat,” ucapnya.
Keberhasilan evakuasi juga tidak lepas dari kerja sama semua pihak. Apalagi dalam evakuasi, dirinya juga mengajak sejumlah kru seperti Pasukan Katak TNI AL untuk membantu proses evakuasi di bawah laut. ”Tadi kru ada tiga dan rescue ada satu dan membawa tiga Kopaska untuk tinggal di KRI Bung Tomo. Harus saling bantu. Kerja sama kru harus tertata,” ucapnya.
Melaksanakan misi kemanusiaan yang membutuhkan waktu relatif lama sering kali harus rela meninggalkan keluarga di rumah. Namun, semuanya itu dijalankan dengan baik bila ikhlas. ”Yang penting kita kerja sesuai prosedur standar keselamatan. Hatihati. Yang penting kita kerja atas dasar kemanusiaan. Jangan (kerja) buat nyari nama,” papar Candra.
Pengalaman yang sama juga dituturkan pilot Helikopter Puma SA 330 buatan Prancis dari Skuadron Udara 8 Home Base Lanud Atang Sanjaya, Bogor Kapten Penerbang Tatag Onne Setiawan yang sempat gagal saat melakukan evakuasi jenazah dari KRI Bung Tomo. Menurut dia, kesulitan yang paling utama dirasakan saat evakuasi adalah cuaca yang tidak bersahabat.
Apalagi seperti diungkapkan BMKG bahwa dari November sampai Februari cenderung curah hujan tinggi yang disertai gelombang tinggi dan angin sangat kencang. ”Jadi (cuaca ekstrem) sangat berpengaruh saat evakuasi, itu kendala utama. Bisa membahayakan operasi, bahkan sangat mengancam. Meski membahayakan tapi tentu saja tidak mengurangi semangat. Semua sudah kita perhitungkan,” katanya.
Sucipto
Pangkalan Bun
Pesawat yang mengangkut 162 penumpang beserta kru pesawat ini dinyatakan hilang setelah terbang selama lebih dari 1,5 jam. Usaha dan kerja keras para personel gabungan tanpa kenal lelah pun membuahkan hasil. Tepatnya, Selasa (30/12) lalu, sejumlah pesawat yang dikerahkan untuk melakukan pencarian berhasil menemukan serpihan pesawat milik AirAsia dan jasad penumpang di perairan Selat Karimata, Laut Jawa.
Meski begitu, perjuangan mereka belum usai. Mereka harus bekerja lebih keras lagi untuk menemukan dan mengevakuasi para korban. Tim SAR berkejaran dengan waktu mengingat semakin lama para korban akan makin sulit ditemukan. Tantangan bertambah berat karena cuaca di sana sedang tidak bersahabat.
Buruknya cuaca menjadi kendala serius Tim SAR untuk mengevakuasi para korban. Hal itulah yang dihadapi Perwira Operasi Skuadron 400 Wing Udara 2, Pusdal Pondok Cabe, Jakarta Kapten Laut (P) Candra Budiarjo saat berupaya mengevakuasi dua jenazah dari KRI Bung Tomo menuju Pangkalan Bun, sebelum akhirnya diterbangkan ke Surabaya. Pilot Boeing 737 200 seri 302 Intai Maritim Makassar menuturkan bagaimana sulitnya melakukan evakuasi para korban.
”Saat kita menuju KRI Bung Tomo untuk melaksanakan evakuasi memang terkendala cuaca. Proses landing lebih ekstra dalam situasi cuaca yang ekstrem,” ujarnya usai melakukan evakuasi di Pangkalan Bun. Namun, tantangan berat itu tidak membuat dia dan timnya menyerah. Menggunakan helikopter Dolphin buatan Prancis, dia harus menembus pekatnya awan hitam.
Belum lagi kondisi kapal yang akan dilandasinya dalam kondisi terombang-ambing karena tingginya gelombang air laut yang mencapai 3-4 meter. Hal itu membuatnya harus ekstra hati-hati. ”Kita di-guide oleh kapal KRI. Jadi bisa ke sana (lokasi KRI), kita dipandu juga dengan radar dari KRI Bung Tomo. Kita juga menggunakan radar guide yang dipandu KRI untuk bisa landing. Kapalnya goyang-goyang. Kita terbantu dengan pesawat yang baru, benar-benar all weather capability ,” ujarnya.
Meski menantang bahaya, tak membuat nyali Candra ciut. Dia tetap bersemangat agar para korban bisa secepatnya dievakuasi. Dengan pengalamannya sebagai pilot TNI AL sejak 2005, ayah dari dua orang anak ini mengaku sudah biasa mengawaki helikopter Basarnas dalam berbagai misi kemanusiaan.
”Yang penting kita tahu limitasi dari pesawat. Selama kita punya batasan keselamatan untuk landing, maka akan diusahakan landing. Semua manusia hanya berusaha, sisanya Allah yang menentukan,” ucapnya. Candra tidak memungkiri dibutuhkan keahlian khusus untuk mengendalikan helikopter landing di tempat kecil pada kapal dalam cuaca ekstrem dan situasi yang tidak stabil.
Setelah berhasil landing , proses evakuasi baru berjalan dengan lancar. Kedua jenazah kemudian dibawa ke Pangkalan Bun untuk selanjutnya diterbangkan ke Surabaya. ”Kita ambil dua. Sebenarnya ada tiga, tapi karena space-nya terbatas, kita hanya bisa angkut dua jenazah dulu. Keduanya dibungkus kantong mayat,” ucapnya.
Keberhasilan evakuasi juga tidak lepas dari kerja sama semua pihak. Apalagi dalam evakuasi, dirinya juga mengajak sejumlah kru seperti Pasukan Katak TNI AL untuk membantu proses evakuasi di bawah laut. ”Tadi kru ada tiga dan rescue ada satu dan membawa tiga Kopaska untuk tinggal di KRI Bung Tomo. Harus saling bantu. Kerja sama kru harus tertata,” ucapnya.
Melaksanakan misi kemanusiaan yang membutuhkan waktu relatif lama sering kali harus rela meninggalkan keluarga di rumah. Namun, semuanya itu dijalankan dengan baik bila ikhlas. ”Yang penting kita kerja sesuai prosedur standar keselamatan. Hatihati. Yang penting kita kerja atas dasar kemanusiaan. Jangan (kerja) buat nyari nama,” papar Candra.
Pengalaman yang sama juga dituturkan pilot Helikopter Puma SA 330 buatan Prancis dari Skuadron Udara 8 Home Base Lanud Atang Sanjaya, Bogor Kapten Penerbang Tatag Onne Setiawan yang sempat gagal saat melakukan evakuasi jenazah dari KRI Bung Tomo. Menurut dia, kesulitan yang paling utama dirasakan saat evakuasi adalah cuaca yang tidak bersahabat.
Apalagi seperti diungkapkan BMKG bahwa dari November sampai Februari cenderung curah hujan tinggi yang disertai gelombang tinggi dan angin sangat kencang. ”Jadi (cuaca ekstrem) sangat berpengaruh saat evakuasi, itu kendala utama. Bisa membahayakan operasi, bahkan sangat mengancam. Meski membahayakan tapi tentu saja tidak mengurangi semangat. Semua sudah kita perhitungkan,” katanya.
Sucipto
Pangkalan Bun
(bbg)