Bencana, Alam, dan Manusia
A
A
A
Bencana longsor besar mengubur Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, pada dua pekan lalu menelan ratusan korban nyawa.
Bencana senantiasa meninggalkan tangis dan kedukaan. Namun, seakan hal itu belum mampu menggugah kesadaran manusia untuk menyesali segala kekeliruannya. Bencana pun terus berlangsung. Bencana seakan menjadi cara alam mengingatkan keangkuhan manusia.
Manusia adalah makhluk kecil di tengah kuatnya kuasa alam. Inilah mungkin yang dalam bahasa Emha Ainun Najib dalam Markesot Bertutur sebagai manifestasi penciptaan manusia oleh Tuhan. Walaupun manusia terus melakukan perusakan, Tuhan Maha Asih kepadanya. Perusakan yang dilakukan oleh manusia sering membuat gunung, bumi, dan laut geram.
Namun, Tuhan Maha Penyayang. Dengan bijak Tuhan berseru kepada bumi, gunung, dan laut. ”Wahai gunung, laut, dan bumi, tenanglah! Tingkat kemakhlukan kalian lebih rendah daripada manusia. Jadi, kalian tidak akan sanggup menghayati betapa Aku amat mencintai manusia.
Manusia adalah masterpiece ciptaan-Ku. Mereka itu ahsanu taqwim. Tenanglah kalian. Aku Maha Mengerti apa yang Aku kehendaki. Dan ketahuilah, seandainya engkau yang menciptakan manusia, akan demikian juga cintamu kepada manusia...” (Emha Ainun Najib, 2012).
Saling Berkomunikasi
Namun, Ian G. Barbour dalam Nature, Human Nature and God (2002), mengingatkan bahwa hubungan manusia tidak hanya sebatas antara manusia saja akan tetapi juga termasuk sikap pertanggungjawaban dengan Tuhan, berkonsentrasi pada kesejahteraan ciptaan Tuhan yang lain. Ketika kedua hubungan ini saling berkomunikasi maka manusia akan memberikan kontribusi pada etika penjagaan dan sikap tanggung jawab terhadap sifat dasar dunia yang membutuhkan hubungan keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Manusia menjadikan alam sebagai nilai dalam dirinya sendiri, yang perlu juga untuk dihormati, dijaga dan tidak disakiti. Alam adalah tempat makhluk hidup berlindung. Dengannya makhluk bertahan hidup dan berlindung. Alam telah menyediakan berbagai kebutuhan manusia. Seperti, buah-buahan, sayuran, daging hewan dan seterusnya. Jika alam rusak, manusia tidak dapat lagi menikmati hasil alam tersebut.
Manusia dan alam selayaknya berkomunikasi. Artinya, manusia sebagai makhluk berakal selayaknya memahami posisi dan kedudukannya. Posisi manusia adalah sebagai pemimpin (khalifah ) di muka bumi. Pemimpin ialah yang mampu menjadi harmoni antar sesama hidup. Tugas seorang pemimpin adalah melakukan kebaikan (islah ).
Kebaikan demi keberlangsungan makhluk hidup di muka bumi. Manusia adalah pengembang persaudaraan semakhluk. Semua makhluk berhak mendapatkan penghidupan yang layak. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk yang dikaruniai akal dan nurani mempunyai kewajiban menjamin semua makhluk dapat berkembang biak dengan baik di alam raya ini. Saat manusia tak mampu menjaga alam raya, maka ia akan menerima buahnya. Alam raya pun akhirnya yang berkomunikasi dengan manusia. Alam mengingatkan manusia dengan dahsyatnya bencana.
Sahabat
Bencana dengan demikian merupakan komunikasi bisu alam dengan manusia. Komunikasi ini bisa menjadi awal bagi terciptanya harmoni baru. Hal itu terjadi saat manusia menyadari kesalahannya. Namun, saat manusia tak mampu menyadari segala kekhilafannya, maka alam akan terus menunjukkan superioritasnya. Alam pun terus bergerak dan menyapa manusia dengan kedukaan yang mendalam.
Bencana sekali lagi menjadi penanda betapa alam mampu mengubur setiap impian mulia manusia. Bencana kini seakan telah bersinergi dengan alam dan menyatakan diri sebagai ”pemenang”. Dan manusia pun akhirnya menjadi pecundang (the looser ). Sudah saatnya manusia menyadari bahwa alam merupakan sahabat.
Mengeksploitasi alam secara berlebihan tanpa menghiraukan kehidupan selanjutnya, menjadikannya rusak. Kerusakan alam merupakan lonceng kematian bagi manusia. Pada akhirnya, bencana dan alam kini sedang mengingatkan manusia untuk kembali ke jalan yang benar. Jalan perbaikan bukan perusakan. Semoga bencana Banjarnegara memberi pelajaran bagi manusia tentang pentingnya berkomunikasi dan berkonsentrasi menjadi harmoni sesama makhluk.
Benni setiawan
Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta,
Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity
Bencana senantiasa meninggalkan tangis dan kedukaan. Namun, seakan hal itu belum mampu menggugah kesadaran manusia untuk menyesali segala kekeliruannya. Bencana pun terus berlangsung. Bencana seakan menjadi cara alam mengingatkan keangkuhan manusia.
Manusia adalah makhluk kecil di tengah kuatnya kuasa alam. Inilah mungkin yang dalam bahasa Emha Ainun Najib dalam Markesot Bertutur sebagai manifestasi penciptaan manusia oleh Tuhan. Walaupun manusia terus melakukan perusakan, Tuhan Maha Asih kepadanya. Perusakan yang dilakukan oleh manusia sering membuat gunung, bumi, dan laut geram.
Namun, Tuhan Maha Penyayang. Dengan bijak Tuhan berseru kepada bumi, gunung, dan laut. ”Wahai gunung, laut, dan bumi, tenanglah! Tingkat kemakhlukan kalian lebih rendah daripada manusia. Jadi, kalian tidak akan sanggup menghayati betapa Aku amat mencintai manusia.
Manusia adalah masterpiece ciptaan-Ku. Mereka itu ahsanu taqwim. Tenanglah kalian. Aku Maha Mengerti apa yang Aku kehendaki. Dan ketahuilah, seandainya engkau yang menciptakan manusia, akan demikian juga cintamu kepada manusia...” (Emha Ainun Najib, 2012).
Saling Berkomunikasi
Namun, Ian G. Barbour dalam Nature, Human Nature and God (2002), mengingatkan bahwa hubungan manusia tidak hanya sebatas antara manusia saja akan tetapi juga termasuk sikap pertanggungjawaban dengan Tuhan, berkonsentrasi pada kesejahteraan ciptaan Tuhan yang lain. Ketika kedua hubungan ini saling berkomunikasi maka manusia akan memberikan kontribusi pada etika penjagaan dan sikap tanggung jawab terhadap sifat dasar dunia yang membutuhkan hubungan keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Manusia menjadikan alam sebagai nilai dalam dirinya sendiri, yang perlu juga untuk dihormati, dijaga dan tidak disakiti. Alam adalah tempat makhluk hidup berlindung. Dengannya makhluk bertahan hidup dan berlindung. Alam telah menyediakan berbagai kebutuhan manusia. Seperti, buah-buahan, sayuran, daging hewan dan seterusnya. Jika alam rusak, manusia tidak dapat lagi menikmati hasil alam tersebut.
Manusia dan alam selayaknya berkomunikasi. Artinya, manusia sebagai makhluk berakal selayaknya memahami posisi dan kedudukannya. Posisi manusia adalah sebagai pemimpin (khalifah ) di muka bumi. Pemimpin ialah yang mampu menjadi harmoni antar sesama hidup. Tugas seorang pemimpin adalah melakukan kebaikan (islah ).
Kebaikan demi keberlangsungan makhluk hidup di muka bumi. Manusia adalah pengembang persaudaraan semakhluk. Semua makhluk berhak mendapatkan penghidupan yang layak. Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk yang dikaruniai akal dan nurani mempunyai kewajiban menjamin semua makhluk dapat berkembang biak dengan baik di alam raya ini. Saat manusia tak mampu menjaga alam raya, maka ia akan menerima buahnya. Alam raya pun akhirnya yang berkomunikasi dengan manusia. Alam mengingatkan manusia dengan dahsyatnya bencana.
Sahabat
Bencana dengan demikian merupakan komunikasi bisu alam dengan manusia. Komunikasi ini bisa menjadi awal bagi terciptanya harmoni baru. Hal itu terjadi saat manusia menyadari kesalahannya. Namun, saat manusia tak mampu menyadari segala kekhilafannya, maka alam akan terus menunjukkan superioritasnya. Alam pun terus bergerak dan menyapa manusia dengan kedukaan yang mendalam.
Bencana sekali lagi menjadi penanda betapa alam mampu mengubur setiap impian mulia manusia. Bencana kini seakan telah bersinergi dengan alam dan menyatakan diri sebagai ”pemenang”. Dan manusia pun akhirnya menjadi pecundang (the looser ). Sudah saatnya manusia menyadari bahwa alam merupakan sahabat.
Mengeksploitasi alam secara berlebihan tanpa menghiraukan kehidupan selanjutnya, menjadikannya rusak. Kerusakan alam merupakan lonceng kematian bagi manusia. Pada akhirnya, bencana dan alam kini sedang mengingatkan manusia untuk kembali ke jalan yang benar. Jalan perbaikan bukan perusakan. Semoga bencana Banjarnegara memberi pelajaran bagi manusia tentang pentingnya berkomunikasi dan berkonsentrasi menjadi harmoni sesama makhluk.
Benni setiawan
Dosen di Universitas Negeri Yogyakarta,
Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity
(bbg)