Penjualan Senjata di AS Melonjak
A
A
A
WASHINGTON - Lebih dari 500 senjata terjual setiap hari di Amerika Serikat (AS) pada musim liburan Natal dan Tahun Baru 2015. Senjata dianggap sebagai hadiah liburan paling tepat bagi sebagian keluarga di AS.
Makin meningkat angka kriminalitas di Negeri Paman Sam juga memicu sebagian besar keluarga berkeinginan memiliki senjata. Apalagi kepemilikan senjata bukan hal langka di AS. Biro Penyidik Federal AS (FBI) melaporkan, penjualan senjata mengalami peningkatan sangat tajam selama musim belanja akhir tahun ini.
FBI melaporkan, selama berlangsung Black Friday, sebanyak 175.000 pengecekan data catatan kriminal warga AS dilakukan agen penjual senjata pada satu hari saja. Black Friday merupakan hari setelah perayaan Thanksgiving dan biasanya merupakan awal dari musim belanja Natal dan Tahun Baru 2015.
“Lebih dari 175.000 data latar belakang warga negara milik pemerintahan federal telah diakses ribuan kali (oleh penjual senjata),” kata juru bicara FBI, Stephen Fischer, dikutip CNN. Dia menjelaskan, 600 petugas FBI telah menyelesaikan pengecekan latar belakang pembeli senjata. Fasilitas pengecekan data warga negara itu dapat diakses oleh penjual senjata di seluruh AS.
Para penjual senjata dapat membatalkan penjualan ketika pembelinya adalah buronan, pencandu narkotika, memiliki penyakit jiwa, imigran ilegal, dipecat dari militer, dan terlibat dalam kejahatan. Bagi siapa saja yang ingin membeli senjata di AS, masyarakat harus mengisi formulir informasi identifikasi pada Biro Alkohol, Tembakau, Senjata, dan Bahan Peledak.
“Itu (pengecekan) untuk menyelamatkan nyawa dan melindungi orang sehingga senjata tidak jatuh ke tangan yang salah,” kata Manajer FBI Kimberly Del Greco. “Pengecekan data itu juga menjamin pengalihan senjata api ke pembeli yang bertanggung jawab,” tuturnya.
Meski ada pengecekan latar belakang pembeli senjata, FBI tidak mampu mendeteksi berapa banyak senjata yang resmi dijual kepada masyarakat. Akses pengecekan latar belakang itu bukan sebagai data pembelian senjata. Penjualan senjata sangat bergantung pada pemilik toko senjata.
Sementara itu, toko senjata The Arms Room di Spring Texas salah satu toko yang mengalami peningkatan penjualan senjata pada musim liburan. “Kita merekomendasikan ini (senjata) sebagai hadiah,” kata Travis James, pemilik toko The Arms Room, dikutip Channel News Asia.
Dia mengungkapkan, pembeli dapat memilih senjata apa yang diinginkan. Penjual akan mengecek latar belakang untuk menentukan si pembeli diperbolehkan memiliki senjata atau tidak. Bagi aktivis anti senjata, warga AS terlalu mudah untuk membeli senjata. Josh Sugarman, direktur eksekutif Pusat Kebijakan Kekerasan, mengatakan, tidak ada pembatasan berapa senjata yang dapat dibeli masyarakat.
“Ketika pengecekan latar belakang Anda dinyatakan lulus, Anda boleh berjalan-jalan dengan membawa senjata sebanyaknya yang Anda sukai,” katanya. Kepemilikan senjata dijamin dalam Konstitusi AS amandemen kedua yang menjelaskan kepemilikan senjata. Padahal, hasil penelitian membuktikan, satu orang mati karena ditembak setiap 16 menit di AS.
Kelompok lobi prosenjata, National Riffle Association, berdalih kepemilikan latar belakang merupakan cara yang tepat untuk mengecek siapa pembeli senjata itu sebenarnya. “Pada 2012 sebanyak 33.000 orang meninggal akibat senjata,” tutur Sugarman. Khusus di St Louis, Missouri, penjualan senjata meningkat drastis sejak kerusuhan di Ferguson beberapa waktu lalu.
Seorang pemilik toko senjata di St Louis mengungkapkan, penjualan senjata di tokonya meningkat enam kali lipat. Itu dibenarkan Paul Bastean, petugas polisi di Missouri. Bastean yang memiliki Pusat Latihan Tembak dan Pertahanan itu mengaku juga menjual 20 hingga 30 senjata setiap hari.
Padahal, pada hari normal dia hanya mampu menjual dua atau tiga senjata. Mayoritas pembeli senjata adalah warga kulit putih. Jenis senjata yang laris adalah pistol revolver dan senjata genggam lain. Adapun harga senjata yang dijualnya beragam, dari USD320 hingga USD3.000.
”Kita telah melihat peningkatan jumlah penjualan senjata, terutama karena orang memiliki ketakutan dengan apa yang terjadi di Ferguson,” tutur Bastean. Dia menambahkan, jumlah orang yang datang ke fasilitas pelatihan menembak mengalami peningkatan. “Sedikitnya 18.000 peluru ditembakkan dalam satu hari,” imbuhnya, dikutip New Zealand Herald.
Kerusuhan besar terjadi di Ferguson pada 24 November lalu disertai perusakan dan pembakaran gedung, penjarahan, dan penyerangan. Kerusuhan dapat dihentikan setelah 2.200 pasukan Garda Nasional dikerahkan ke Ferguson. Penduduk Ferguson yang berjumlah 21.000 orang terdiri atas 63% warga kulit hitam dan 34% orang kulit putih.
Kasus Ferguson bermula pada penembakan seorang remaja kulit hitam bernama Michael Bown oleh polisi kulit putih Darren Wilson. Dewan juri pengadilan St Louis membebaskan Wilson dari semua dakwaan karena dianggap telah menjalankan tugas sesuai prosedur. Warga yang tidak menerima ketidakadilan itu menggelar demonstrasi yang berujung pada kerusuhan massal.
Andika hendra m
Makin meningkat angka kriminalitas di Negeri Paman Sam juga memicu sebagian besar keluarga berkeinginan memiliki senjata. Apalagi kepemilikan senjata bukan hal langka di AS. Biro Penyidik Federal AS (FBI) melaporkan, penjualan senjata mengalami peningkatan sangat tajam selama musim belanja akhir tahun ini.
FBI melaporkan, selama berlangsung Black Friday, sebanyak 175.000 pengecekan data catatan kriminal warga AS dilakukan agen penjual senjata pada satu hari saja. Black Friday merupakan hari setelah perayaan Thanksgiving dan biasanya merupakan awal dari musim belanja Natal dan Tahun Baru 2015.
“Lebih dari 175.000 data latar belakang warga negara milik pemerintahan federal telah diakses ribuan kali (oleh penjual senjata),” kata juru bicara FBI, Stephen Fischer, dikutip CNN. Dia menjelaskan, 600 petugas FBI telah menyelesaikan pengecekan latar belakang pembeli senjata. Fasilitas pengecekan data warga negara itu dapat diakses oleh penjual senjata di seluruh AS.
Para penjual senjata dapat membatalkan penjualan ketika pembelinya adalah buronan, pencandu narkotika, memiliki penyakit jiwa, imigran ilegal, dipecat dari militer, dan terlibat dalam kejahatan. Bagi siapa saja yang ingin membeli senjata di AS, masyarakat harus mengisi formulir informasi identifikasi pada Biro Alkohol, Tembakau, Senjata, dan Bahan Peledak.
“Itu (pengecekan) untuk menyelamatkan nyawa dan melindungi orang sehingga senjata tidak jatuh ke tangan yang salah,” kata Manajer FBI Kimberly Del Greco. “Pengecekan data itu juga menjamin pengalihan senjata api ke pembeli yang bertanggung jawab,” tuturnya.
Meski ada pengecekan latar belakang pembeli senjata, FBI tidak mampu mendeteksi berapa banyak senjata yang resmi dijual kepada masyarakat. Akses pengecekan latar belakang itu bukan sebagai data pembelian senjata. Penjualan senjata sangat bergantung pada pemilik toko senjata.
Sementara itu, toko senjata The Arms Room di Spring Texas salah satu toko yang mengalami peningkatan penjualan senjata pada musim liburan. “Kita merekomendasikan ini (senjata) sebagai hadiah,” kata Travis James, pemilik toko The Arms Room, dikutip Channel News Asia.
Dia mengungkapkan, pembeli dapat memilih senjata apa yang diinginkan. Penjual akan mengecek latar belakang untuk menentukan si pembeli diperbolehkan memiliki senjata atau tidak. Bagi aktivis anti senjata, warga AS terlalu mudah untuk membeli senjata. Josh Sugarman, direktur eksekutif Pusat Kebijakan Kekerasan, mengatakan, tidak ada pembatasan berapa senjata yang dapat dibeli masyarakat.
“Ketika pengecekan latar belakang Anda dinyatakan lulus, Anda boleh berjalan-jalan dengan membawa senjata sebanyaknya yang Anda sukai,” katanya. Kepemilikan senjata dijamin dalam Konstitusi AS amandemen kedua yang menjelaskan kepemilikan senjata. Padahal, hasil penelitian membuktikan, satu orang mati karena ditembak setiap 16 menit di AS.
Kelompok lobi prosenjata, National Riffle Association, berdalih kepemilikan latar belakang merupakan cara yang tepat untuk mengecek siapa pembeli senjata itu sebenarnya. “Pada 2012 sebanyak 33.000 orang meninggal akibat senjata,” tutur Sugarman. Khusus di St Louis, Missouri, penjualan senjata meningkat drastis sejak kerusuhan di Ferguson beberapa waktu lalu.
Seorang pemilik toko senjata di St Louis mengungkapkan, penjualan senjata di tokonya meningkat enam kali lipat. Itu dibenarkan Paul Bastean, petugas polisi di Missouri. Bastean yang memiliki Pusat Latihan Tembak dan Pertahanan itu mengaku juga menjual 20 hingga 30 senjata setiap hari.
Padahal, pada hari normal dia hanya mampu menjual dua atau tiga senjata. Mayoritas pembeli senjata adalah warga kulit putih. Jenis senjata yang laris adalah pistol revolver dan senjata genggam lain. Adapun harga senjata yang dijualnya beragam, dari USD320 hingga USD3.000.
”Kita telah melihat peningkatan jumlah penjualan senjata, terutama karena orang memiliki ketakutan dengan apa yang terjadi di Ferguson,” tutur Bastean. Dia menambahkan, jumlah orang yang datang ke fasilitas pelatihan menembak mengalami peningkatan. “Sedikitnya 18.000 peluru ditembakkan dalam satu hari,” imbuhnya, dikutip New Zealand Herald.
Kerusuhan besar terjadi di Ferguson pada 24 November lalu disertai perusakan dan pembakaran gedung, penjarahan, dan penyerangan. Kerusuhan dapat dihentikan setelah 2.200 pasukan Garda Nasional dikerahkan ke Ferguson. Penduduk Ferguson yang berjumlah 21.000 orang terdiri atas 63% warga kulit hitam dan 34% orang kulit putih.
Kasus Ferguson bermula pada penembakan seorang remaja kulit hitam bernama Michael Bown oleh polisi kulit putih Darren Wilson. Dewan juri pengadilan St Louis membebaskan Wilson dari semua dakwaan karena dianggap telah menjalankan tugas sesuai prosedur. Warga yang tidak menerima ketidakadilan itu menggelar demonstrasi yang berujung pada kerusuhan massal.
Andika hendra m
(bbg)