Pertamina Minta Penghapusan Premium Bertahap

Rabu, 24 Desember 2014 - 13:21 WIB
Pertamina Minta Penghapusan Premium Bertahap
Pertamina Minta Penghapusan Premium Bertahap
A A A
JAKARTA - Pemerintah diminta merealisasikan rencana penghapusan premium atau bensin dengan nomor oktan (RON) 88 secara bertahap, disertai kajian lebih mendalam.

Jika tidak, kebijakan itu justru bisa merugikan PT Pertamina (persero) sebagai pemain utama di pasar bahan bakar nasional. Pertamina sebagai pelaksana pemasok dan distributor bahan bakar minyak (BBM) menyatakan siap untuk melaksanakan penghapusan premium sebagaimana rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas kepada pemerintah.

Namun, BUMN energi tersebut meminta waktu agar implementasi kebijakan tersebut tidak merugikan perseroan. “Apabila pemerintah menerima rekomendasi Tim Reformasi, Pertamina siap, namun harus dilakukan secara bertahap,” kata Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Ahmad Bambang di Jakarta kemarin.

Dia menjelaskan, saat ini produksi kilang BBM Pertamina untuk bensin dengan nomor oktan (RON) 92 atau setara pertamax hanya sebesar 200.000 barel per bulan (bpb). Kilang-kilang Pertamina yang relatif sudah tua kebanyakan memproduksi naphta yang selama ini digunakan untuk mencampur dan memproduksi premium RON 88, yakni lebih dari 3,5 juta bpb.

Maka jika RON 88 dihapus, Pertamina harus mengolah lagi naphta untuk ditingkatkan menjadi RON 92. “Ini yang perlu disiapkan oleh Pertamina melalui proses di Kilang TPPI, Tuban, Jawa Timur. Tidak hanya itu, Pertamina juga harus menyiapkan infrastruktur lain seperti tangki dan menyiapkan alat angkutnya berupa kapal,” paparnya.

Bambang menjelaskan, jika kilang TPPI sudah beroperasi penuh, barulah Pertamina dapat memproduksi RON 92 lebih dari 5 juta bpb. Selagi kilang itu belum bisa beroperasi penuh, masih perlu pengadaan impor RON 92 yang akan menambah biaya bagi Pertamina. Dia menambahkan, kebijakan ini juga perlu kajian yang mendalam terkait dampaknya pada konsumsi bahan bakar oleh angkutan umum, mikrolet, dan sepeda motor.

“Apakah mereka siap untuk langsung menggunakan pertamax (yang lebih mahal)? Harusnya ada pilihan premium yang lebih murah,” tuturnya. Di luar itu, Bambang mengingatkan penghapusan premium juga berdampak terhadap kesetaraan Pertamina dengan badan usaha migas lain yang bermain di pasar BBM nasional.

Penghapusan premium akan menimbulkan ketidakadilan bagi Pertamina. Pasalnya, selama ini Pertamina sebagai BUMN memiliki kewajiban untuk menanggung stok BBM nasional, sementara para pesaing Pertamina yang notabene perusahaan migas asing tidak diharuskan mengisi stok BBM nasional.

Tidak hanya itu, untuk pemasaran BBM RON 92 yang masuk kategori nonsubsidi, Pertamina juga dikenai kewajiban pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) yang besarnya antara 5-10%. “Pertamina tiap bulan ditagih dan harus bayar, sementara pesaing lain tidak demikian,” ungkapnya.

Operasional perusahaan asing di Indonesia juga cenderung dipermudah, berbanding terbalik dengan di luar negeri. Menurut Bambang, negara lain justru menerapkan entry barrier bagi badan usaha migas baru untuk dapat beroperasi, yakni dengan keharusan membangun infrastruktur dan turut menanggung stok BBM nasional negara tersebut.

“Itu sebabnya Pertamina yang sudah sejak 2007 mengajukan izin SPBU di Sabah dan Serawak (Malaysia), yang banyak orang Indonesianya, tidak pernah berhasil. Kok (di sini) negara dengan mudah kasih izin,” cetusnya. Selama ini, lanjutnya, pesaing Pertamina hanya merebut pasar di kota-kota besar yang volume konsumsi BBM-nya tinggi.

Sementara itu, Pertamina dalam bersaing harus menanggung beban subsidi silang distribusi BBM ke pelosok Nusantara, agar harga jual BBM di daerah tidak melambung. “Jika Pertamina hanya mau untungnya saja maka (beban) itu harusnya ditanggung daerah itu sendiri, tapi yang terjadi adalah harga BBM di daerah-daerah remote akan mahal,” kata dia.

Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy Noorsaman Someng berpendapat sebaliknya. Menurut dia, penghapusan premium tidak perlu dilakukan bertahap hingga empat tahun. Menurut dia, Pertamina hanya perlu meningkatkan kualitas kilang dengan menambahkan methyltertiary butilether (MTBE) pada pertamax off untuk mengurangikadararomatik yang dihasilkan oleh kilang-kilang minyak Pertamina.

“Tidak perlu bertahap, kalau empat tahun itu kalau semuanya. Pertamina hanya perlu storage blending untuk mengubah naphta-nya,” kata Someng. Terkait pola distribusi BBM hingga ke SPBU, Someng juga menilai tidak ada perubahan karena setiap tangki penampungan tinggal dikuras dengan nitrogen.

“Enggak ada masalah kalau sudah kosong maka diflush atau dikuras saja supaya ganti baru lagi untuk di ganti dengan pertamax,” kata dia. Pengamat energi Marwan Batubara menilai pemerintah justru perlu mempertimbangkan kembali penghapusan premium. Dia menilai penghapusan premium akan merugikan Pertamina dan memuluskan kepentingan asing menguasai pasar BBM di dalam negeri.

Dia menegaskan, aspek yang perlu dipertimbangkan dari kebijakan ini tidak hanya terkait soal keuntungan finansial bagi negara, ataupun pemberantasan mafia migas. Dia mengingatkan banyak aspek lain yang lebih penting, seperti aspek strategis nasional terkait ketahanan energi, dan keberlangsungan serta pengembangan Pertamina sebagai national oil company.

“Saya harap pemerintah tidak mentah-mentah mengimplementasikan rekomendasi dari Tim Reformasi Tata Kelola Migas,” pungkasnya. Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Angkutan Darat (Organda) Andriansyah berpendapat rencana pemerintah menghapus premium tidak masalah selama subsidi tetap ditanggung pemerintah.

Intinya, kata dia, jika kebijakan itu menjadi keputusan akhir pemerintah maka harga BBM pengganti premium kelak harus sama dengan premium saat ini. “Artinya jangan ada perubahan harga BBM. Kalau ada perubahan, itu sama saja. Kami di angkutan darat otomatis harus kembali melakukan penyesuaian tarif,” ujarnya.

Dia menambahkan, BBM merupakanhalyangsensitifbagi kalangan usaha angkutan darat. Di sisi lain, jika akan mengubah penggunaan BBM dari premium ke pertamax dengan harga subsidi saat ini, pemerintah juga harus menjamin ketersediaan pasokan, terutama di daerahdaerah.

Nanang wijayanto/Ichsan amin
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4991 seconds (0.1#10.140)