Terdakwa Kasus JIS Divonis 8 Tahun
A
A
A
JAKARTA - Empat terdakwa kasus dugaan kekerasan seksual di Jakarta International School (JIS) Jakarta Selatan divonis delapan tahun penjara dan denda Rp100 juta. Sementara satu terdakwa perempuan bernama Afrischa Setyani divonis tujuh tahun.
Lima terdakwa yakni Virgiawan Amin alias Awan, Agun Iskandar, Zaenal Abidin, Syahrial, serta Afrischa menjalani sidang vonis di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan kemarin. Mereka bekerja sebagai petugas kebersihan alih daya di sekolah elite tersebut.
“Terdakwa Awan telah membuat anak orang menjadi trauma akibat perbuatannya, namun terdakwa sendiri tidak mengakui perbuatannya,” ujar hakim Nelson Sianturi yang memimpin sidang vonis terhadap Awan. Ketua majelis hakim Yanto yang menyidangkan Syahrial juga menuturkan bahwa terdakwa bersama teman-temannya telah memaksa dan melakukan kekerasan seksual terhadap anak sehingga patut dihukum 8 tahun penjara dan denda Rp100 juta.
Sementara itu, ketua majelis hakim Ahmad Yunus menjatuhkan vonis terhadap Afrischa dengan 7 tahun penjara dan denda Rp100 juta. Hakim menilai terdakwa turut serta membantu empat terdakwa lainnya untuk melakukan kekerasan seksual terhadap murid TK bertaraf internasional itu.
Para hakim menyatakan kelima terdakwa telah terbukti secara sah melanggar Pasal 82 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 5 ayat 1 KUHP juncto Pasal 64 KUHP. Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut lima terdakwa dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda sebesar Rp100 juta.
Mendengar vonis 8 tahun penjara, keluarga Virgiawan Amin alias Awan yang berada di PN Jakarta Selatan langsung menyumpahi hakim. Keluarga terdakwa tidak terima putusan tersebut. “Penyidik sama hakimnya tidak selamat dunia akhirat, biadab,” kata orang tua Awan, Murni Rahmawati. Dia menilai putusan hakim tidak adil karena anaknya itu tidak bersalah.
“Orang tidak bersalah dimasukkan ke penjara,” ucapnya sambil menangis histeris. Tak hanya keluarga Awan yang histeris, keluarga Afrischa juga tampak kecewa dengan vonis hakim. Saat terdakwa digiring ke sel di PN Jakarta Selatan, keluarga Afrischa terus berteriak sambil meneteskan air mata.
Kuasa hukum Afrischa, Isdawati, menyatakan kliennya akan mengajukan banding atas putusan tersebut. Pengacara terdakwa Syahrial, Muhammad Boli, mengatakan putusan majelis hakim tidak masuk akal karena tidak terdapat bukti yang mengarah kepada kliennya selama persidangan. “Sejak awal dan akhir dari keterangan saksi, baik dari penyidik maupun saksi ahli semuanya menyatakan tidak pernah ada sodomi,” ujarnya.
Patra M Zen, kuasa hukum Agun Iskandar, mengungkapkan, berdasarkanhasilvisum RSCM Jakarta Pusat dan RS Pondok Indah Jakarta Selatan dinyatakan tidak ditemukan adanya luka kekerasan seksual di bagian anus korban. “Saksi ahli yang kami ajukan juga menyatakan tidak ada penyakit kelamin, herpes atau bekas luka pada anus korban,” katanya.
Pihaknya segera mengajukan banding dan berharap kliennya mendapatkan keadilan saat pengajuan banding. “Mau berapa tahun pun vonisnya pasti kita banding karena mereka enggak salah, satu hari saja berat, apalagi 8 tahun,” ujarnya. Sementara itu, psikolog Universitas Indonesia Dewi Haroen menilai pelaku kejahatan seksual harus mendapatkan hukuman yang sangat berat, karena kejahatan ini bukan kejahatan biasa.
Pelaku kejahatan seksual sudah menghancurkan masa depan seseorang dengan membuat korban merasa trauma. “Tujuannya membuat efek jera dan memutus mata rantai kejahatan seksual. Jadi hukumannya bisa lebih lama (dari vonis hakim). Di dalam penjara mereka harus mendapatkan pembinaan sehingga ketika keluar mereka bisa berubah menjadi lebih baik,” kata Dewi.
Selain itu, para pelaku kejahatan seksual juga harus dipantau ketika keluar dari penjara. Mereka diwajibkan lapor diri dan tetap dalam pemantauan seorang psikolog. Tujuannya agar pelaku tidak melakukan hal yang sama. Sedangkan korban perlu dibina secara intensif karena kalau tidak dibina dikhawatirkan mereka akan menjadi predator baru.
Helmi syarif/R ratna/Sindonews
Lima terdakwa yakni Virgiawan Amin alias Awan, Agun Iskandar, Zaenal Abidin, Syahrial, serta Afrischa menjalani sidang vonis di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan kemarin. Mereka bekerja sebagai petugas kebersihan alih daya di sekolah elite tersebut.
“Terdakwa Awan telah membuat anak orang menjadi trauma akibat perbuatannya, namun terdakwa sendiri tidak mengakui perbuatannya,” ujar hakim Nelson Sianturi yang memimpin sidang vonis terhadap Awan. Ketua majelis hakim Yanto yang menyidangkan Syahrial juga menuturkan bahwa terdakwa bersama teman-temannya telah memaksa dan melakukan kekerasan seksual terhadap anak sehingga patut dihukum 8 tahun penjara dan denda Rp100 juta.
Sementara itu, ketua majelis hakim Ahmad Yunus menjatuhkan vonis terhadap Afrischa dengan 7 tahun penjara dan denda Rp100 juta. Hakim menilai terdakwa turut serta membantu empat terdakwa lainnya untuk melakukan kekerasan seksual terhadap murid TK bertaraf internasional itu.
Para hakim menyatakan kelima terdakwa telah terbukti secara sah melanggar Pasal 82 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 5 ayat 1 KUHP juncto Pasal 64 KUHP. Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut lima terdakwa dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda sebesar Rp100 juta.
Mendengar vonis 8 tahun penjara, keluarga Virgiawan Amin alias Awan yang berada di PN Jakarta Selatan langsung menyumpahi hakim. Keluarga terdakwa tidak terima putusan tersebut. “Penyidik sama hakimnya tidak selamat dunia akhirat, biadab,” kata orang tua Awan, Murni Rahmawati. Dia menilai putusan hakim tidak adil karena anaknya itu tidak bersalah.
“Orang tidak bersalah dimasukkan ke penjara,” ucapnya sambil menangis histeris. Tak hanya keluarga Awan yang histeris, keluarga Afrischa juga tampak kecewa dengan vonis hakim. Saat terdakwa digiring ke sel di PN Jakarta Selatan, keluarga Afrischa terus berteriak sambil meneteskan air mata.
Kuasa hukum Afrischa, Isdawati, menyatakan kliennya akan mengajukan banding atas putusan tersebut. Pengacara terdakwa Syahrial, Muhammad Boli, mengatakan putusan majelis hakim tidak masuk akal karena tidak terdapat bukti yang mengarah kepada kliennya selama persidangan. “Sejak awal dan akhir dari keterangan saksi, baik dari penyidik maupun saksi ahli semuanya menyatakan tidak pernah ada sodomi,” ujarnya.
Patra M Zen, kuasa hukum Agun Iskandar, mengungkapkan, berdasarkanhasilvisum RSCM Jakarta Pusat dan RS Pondok Indah Jakarta Selatan dinyatakan tidak ditemukan adanya luka kekerasan seksual di bagian anus korban. “Saksi ahli yang kami ajukan juga menyatakan tidak ada penyakit kelamin, herpes atau bekas luka pada anus korban,” katanya.
Pihaknya segera mengajukan banding dan berharap kliennya mendapatkan keadilan saat pengajuan banding. “Mau berapa tahun pun vonisnya pasti kita banding karena mereka enggak salah, satu hari saja berat, apalagi 8 tahun,” ujarnya. Sementara itu, psikolog Universitas Indonesia Dewi Haroen menilai pelaku kejahatan seksual harus mendapatkan hukuman yang sangat berat, karena kejahatan ini bukan kejahatan biasa.
Pelaku kejahatan seksual sudah menghancurkan masa depan seseorang dengan membuat korban merasa trauma. “Tujuannya membuat efek jera dan memutus mata rantai kejahatan seksual. Jadi hukumannya bisa lebih lama (dari vonis hakim). Di dalam penjara mereka harus mendapatkan pembinaan sehingga ketika keluar mereka bisa berubah menjadi lebih baik,” kata Dewi.
Selain itu, para pelaku kejahatan seksual juga harus dipantau ketika keluar dari penjara. Mereka diwajibkan lapor diri dan tetap dalam pemantauan seorang psikolog. Tujuannya agar pelaku tidak melakukan hal yang sama. Sedangkan korban perlu dibina secara intensif karena kalau tidak dibina dikhawatirkan mereka akan menjadi predator baru.
Helmi syarif/R ratna/Sindonews
(bbg)