Strategi Menanggulangi Pencurian Ikan
A
A
A
Keberadaan kapal ikan asing yang menangkap ikan secara ilegal di Indonesia telah menimbulkan kerugian yang sangat besar. Langkah penanggulangan tidak hanya mengandalkan penangkapan pelaku illegal fishing, perlu cara-cara lain yang komprehensif.
Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mencegah terjadinya illegal fishing, di antaranya adalah pembentukan Satgas Pemberantasan Illegal Fishing yang diketuai Mas Achmad Santosa.
Satgas ini terdiri dari perwakilan sejumlah instansi yaitu KKP, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, Bank Indonesia, serta Kepolisian.
Satgas di antaranya mempunyai tugas memonitor penghentian sementara (moratorium) perizinan usaha perikanan tangkap, memverifikasi kapal perikanan yang pembangunannya dilakukan di luar negeri, serta menghitung kerugian negara akibat illegal fishing.
“Tim akan dipimpin Mas Achmad Santosa dari Deputi VI UKP4, sedangkan Inspektur Jenderal KKP Andha Fauzi Miraza sebagai Wakil Ketua I,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti (8/12). Sebagaimana yang pernah disebut Susi, seharusnya pendapatan negara dari sektor perikanan jauh lebih besar dibanding yang didapatkan selama ini.
Sebelumnya pemerintah telah memoratorium perizinan penangkapan ikan untuk mengevaluasi semua izin yang ada agar potensi pendapatan benar-benar sesuai ketentuan. Menurut data KKP, potensi pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor kelautan dan perikanan yang mencapai Rp25 triliun per tahun belum termanfaatkan, dari sumber daya ikan dan nonsumber daya ikan.
Nilai potensi tersebut rencananya dibebankan kepada kapal berbendera asing di atas 30 gros ton (GT) yang beroperasi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Cara ini ditempuh untuk mengembalikan uang negara yang hilang. Saat ini, dari 5.329 kapal besar bertonase di atas 30 GT yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia, 20% di antaranya kapal berbendera asing.
Selama ini setiap kapal hanya berkontribusi sebesar Rp90 juta melalui pembayaran retribusi perizinan kapal penangkapan ikan. Padahal, dalam sekali melaut, setiap kapal dapat menghasilkan ikan hingga 2.000 ton. Tentunya nilai yang diperoleh sangat besar dibandingkan nilai pendapatan negara yang disumbangkan. Jika ditotalkan, jumlah yang disumbangkan untuk PNBP hanya berkisar Rp300 miliar per tahun.
Penangguhan perizinan ini dimaksudkan untuk menekan angka kerugian dari sektor kelautan dan perikanan. Sebagai informasi, setidaknya sebanyak 207 kapal sudah dibekukan izinnya. Adanya moratorium dan evaluasi yang akan dilakukan Satgas pada dasarnya tidak dipermasalahkan pengusaha.
Seperti diungkapkan oleh Sekjen Pengusaha Penangkapan Udang Indonesia (HPPI) Elan Harsono. Dia menyatakan, pemerintah tidak bisa menutup mata dengan praktik ilegal di sejumlah perairan Indonesia. Moratorium yang bersumber dari Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 56 Tahun 2014 memutuskan tidak ada perpanjangan izin hingga 30 April mendatang, sambil mengevaluasi semua izin yang ada.
“Pada dasarnya kami tidak keberatan dengan moratorium termasuk rencana evaluasi, namun perlu kejelasan sampai kapan moratorium ini akan diberlakukan. Apakah setelah tanggal 30 April izin akan kembali dibuka atau tidak. Dan, bagaimana teknik evaluasi juga belum diketahui oleh pengusaha. Apakah akan ada tim evaluasi yang akan datang ke perusahaan atau bagaimana,” jelas Elan.
Hingga akhir Desember akan ada 10 kapal anggota HPPI yang akan berhent ioperasi karena habis izin berlakunya. Penghentian operasi akan membuat sekitar 100 orang karyawan dirumahkan. Jika pada 1 Mei belum ada kejelasan tentang perpanjangan izin, maka akan lebih banyak lagi pekerja yang di-PHK.
HPPI berharap, pemerintah bisa bijak menghadapi illegal fishing dan tidak menganggap semua pengusaha pelayaran melakukan pencurian. “Kami sudah lebih dari empat dekade melakukan usaha di bidang perikanan dan semua prosedur telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada. Jika pemerintah mau melakukan evaluasi, kami siap mengikuti. Namun, harus ada kejelasan kapan evaluasi itu akan dilakukan dan bagaimana caranya,” tegas Elan.
Pengadilan Perikanan
Selain melakukan moratorium dan pembentukan Satgas, pemerintah saat ini mencoba mengoptimalkan fungsi pengadilan perikanan. pemerintah kini membentuk tiga pengadilan perikanan melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2014. Tiga lokasi pengadilan perikanan yang ditetapkan yakni Pengadilan Perikanan Ambon, Sorong, dan Merauke.
Ini merupakan tiga lokasi yang rawan kegiatan illegal fishing oleh kapal perikanan asing (KIA) dan kapal perikanan Indonesia (KII). Wilayah laut Arafura telah ditetapkan sebagai lumbung ikan nasional dan masuk ke dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 718. Penetapan ketiga pengadilan perikanan itu melengkapi jumlah Pengadilan Perikanan yang sudah terbentuk di tujuh lokasi sebelumnya.
Lokasi itu antara lain Medan, Jakarta Utara, Pontianak, Tual, Bitung, Tanjung Pinang, dan Ranai di Provinsi Kepulauan Riau. Kehadiran Pengadilan Perikanan diharapkan mempercepat proses penanganan tindak pidana perikanan sampai dengan tahap putusan (incracht). Sehingga, kapal-kapal yang digunakan dalam tindak pidana perikanan masih dapat dimanfaatkan secara optimal pada saat putusan dibacakan.
Islahuddin
Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mencegah terjadinya illegal fishing, di antaranya adalah pembentukan Satgas Pemberantasan Illegal Fishing yang diketuai Mas Achmad Santosa.
Satgas ini terdiri dari perwakilan sejumlah instansi yaitu KKP, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, Kementerian Perhubungan, Bank Indonesia, serta Kepolisian.
Satgas di antaranya mempunyai tugas memonitor penghentian sementara (moratorium) perizinan usaha perikanan tangkap, memverifikasi kapal perikanan yang pembangunannya dilakukan di luar negeri, serta menghitung kerugian negara akibat illegal fishing.
“Tim akan dipimpin Mas Achmad Santosa dari Deputi VI UKP4, sedangkan Inspektur Jenderal KKP Andha Fauzi Miraza sebagai Wakil Ketua I,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti (8/12). Sebagaimana yang pernah disebut Susi, seharusnya pendapatan negara dari sektor perikanan jauh lebih besar dibanding yang didapatkan selama ini.
Sebelumnya pemerintah telah memoratorium perizinan penangkapan ikan untuk mengevaluasi semua izin yang ada agar potensi pendapatan benar-benar sesuai ketentuan. Menurut data KKP, potensi pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor kelautan dan perikanan yang mencapai Rp25 triliun per tahun belum termanfaatkan, dari sumber daya ikan dan nonsumber daya ikan.
Nilai potensi tersebut rencananya dibebankan kepada kapal berbendera asing di atas 30 gros ton (GT) yang beroperasi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Cara ini ditempuh untuk mengembalikan uang negara yang hilang. Saat ini, dari 5.329 kapal besar bertonase di atas 30 GT yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia, 20% di antaranya kapal berbendera asing.
Selama ini setiap kapal hanya berkontribusi sebesar Rp90 juta melalui pembayaran retribusi perizinan kapal penangkapan ikan. Padahal, dalam sekali melaut, setiap kapal dapat menghasilkan ikan hingga 2.000 ton. Tentunya nilai yang diperoleh sangat besar dibandingkan nilai pendapatan negara yang disumbangkan. Jika ditotalkan, jumlah yang disumbangkan untuk PNBP hanya berkisar Rp300 miliar per tahun.
Penangguhan perizinan ini dimaksudkan untuk menekan angka kerugian dari sektor kelautan dan perikanan. Sebagai informasi, setidaknya sebanyak 207 kapal sudah dibekukan izinnya. Adanya moratorium dan evaluasi yang akan dilakukan Satgas pada dasarnya tidak dipermasalahkan pengusaha.
Seperti diungkapkan oleh Sekjen Pengusaha Penangkapan Udang Indonesia (HPPI) Elan Harsono. Dia menyatakan, pemerintah tidak bisa menutup mata dengan praktik ilegal di sejumlah perairan Indonesia. Moratorium yang bersumber dari Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 56 Tahun 2014 memutuskan tidak ada perpanjangan izin hingga 30 April mendatang, sambil mengevaluasi semua izin yang ada.
“Pada dasarnya kami tidak keberatan dengan moratorium termasuk rencana evaluasi, namun perlu kejelasan sampai kapan moratorium ini akan diberlakukan. Apakah setelah tanggal 30 April izin akan kembali dibuka atau tidak. Dan, bagaimana teknik evaluasi juga belum diketahui oleh pengusaha. Apakah akan ada tim evaluasi yang akan datang ke perusahaan atau bagaimana,” jelas Elan.
Hingga akhir Desember akan ada 10 kapal anggota HPPI yang akan berhent ioperasi karena habis izin berlakunya. Penghentian operasi akan membuat sekitar 100 orang karyawan dirumahkan. Jika pada 1 Mei belum ada kejelasan tentang perpanjangan izin, maka akan lebih banyak lagi pekerja yang di-PHK.
HPPI berharap, pemerintah bisa bijak menghadapi illegal fishing dan tidak menganggap semua pengusaha pelayaran melakukan pencurian. “Kami sudah lebih dari empat dekade melakukan usaha di bidang perikanan dan semua prosedur telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada. Jika pemerintah mau melakukan evaluasi, kami siap mengikuti. Namun, harus ada kejelasan kapan evaluasi itu akan dilakukan dan bagaimana caranya,” tegas Elan.
Pengadilan Perikanan
Selain melakukan moratorium dan pembentukan Satgas, pemerintah saat ini mencoba mengoptimalkan fungsi pengadilan perikanan. pemerintah kini membentuk tiga pengadilan perikanan melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2014. Tiga lokasi pengadilan perikanan yang ditetapkan yakni Pengadilan Perikanan Ambon, Sorong, dan Merauke.
Ini merupakan tiga lokasi yang rawan kegiatan illegal fishing oleh kapal perikanan asing (KIA) dan kapal perikanan Indonesia (KII). Wilayah laut Arafura telah ditetapkan sebagai lumbung ikan nasional dan masuk ke dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 718. Penetapan ketiga pengadilan perikanan itu melengkapi jumlah Pengadilan Perikanan yang sudah terbentuk di tujuh lokasi sebelumnya.
Lokasi itu antara lain Medan, Jakarta Utara, Pontianak, Tual, Bitung, Tanjung Pinang, dan Ranai di Provinsi Kepulauan Riau. Kehadiran Pengadilan Perikanan diharapkan mempercepat proses penanganan tindak pidana perikanan sampai dengan tahap putusan (incracht). Sehingga, kapal-kapal yang digunakan dalam tindak pidana perikanan masih dapat dimanfaatkan secara optimal pada saat putusan dibacakan.
Islahuddin
(ftr)