Istiqamah untuk Kebaikan
A
A
A
Selama lebih dari dua dasawarsa, Dewi menelusuri kampung demi kampung di pedalaman Badui untuk memberantas buta aksara. Meski terkendala adat Badui yang menganggap pendidikan masih tabu, Dewi tak kenal menyerah.
Untuk mewujudkan hasratnya berbagi ilmu kepada masyarakat Badui, Dewi berani memutuskan menikah dengan pria yang baru ia kenal selama tiga hari. “Untuk menghindari fitnah. Dengan menikah, saya juga lebih leluasa untuk berkeliling dan bisa langsung menetap di Badui. Bahkan, saat mendaftarkan menikah di KUA, saya tidak mengetahui nama calon suami,” kenang Dewi.
Dewi bertemu suaminya, Ahmad Hidayat, saat pertama kali menginjakkan kaki di tanah Badui. Ahmad Hidayat merupakan seorang dai di Cikakal Girang dan sudah menetap di sana selama enam bulan. “Beliau berangkat dari dai dan bersedia tinggal di daerah terpencil, berarti beliau seseorang yang luar biasa. Itu yang membuat saya yakin,” kata perempuan kelahiran Cianjur, 2 September 1972 ini.
Saat itu Dewi tidak mendapatkan honor sementara sang suami berpenghasilan Rp100.000 per bulan. Setelah 20 hari menikah, mereka kehabisan bahan makanan. Untuk membeli bahan pangan, jarak rumah ke kota cukup jauh. Satu-satunya bahan makanan yang tersedia adalah daun singkong. “Jadi, 10 hari selanjutnya kami makan daun singkong,” tutur Dewi.
Tak hanya 10 hari tersebut, harihari berikutnya pun pasangan ini lalui dengan makanan sederhana. Mereka memakan apa yang mereka tanam seperti buncis dan singkong. Baru pada 2006 Dewi mendapatkan honor mengajar di MI (setara SD) sebesar Rp400.000 dan MTs (setara SMP) Rp150.000 dari dana bantuan BOS.
“Bisa untuk biaya anak sekolah. Kalau untuk makan, ya seadanya saja dan perbanyak puasa,” imbuh Dewi. Dalam perjalanannya menjadi guru keliling, Dewi bersama seorang temannya pernah dikeroyok anjing hutan saat berkeliling untuk mengajar. Lolongan anjing hutan membuat anjing hutan lain berdatangan.
Dalam keadaan terdesak dan kepungan anjing hutan, Dewi menceburkan diri ke sungai guna menyelamatkan diri. Dalam benaknya, jika memang perjuangannya harus berhenti saat itu, ia ikhlas. Beruntung, ia diselamatkan oleh orang Badui.
“Selalu ada pertolongan Allah,” ucap Dewi. Menurut Dewi, kematian adalah rahasia. Ia pun telah mempersiapkan mental jika ditakdirkan meninggal saat berjuang di Badui. Segala kendala dan rintangan yang menghadang tak mengendurkan semangat ibu tiga anak ini untuk mencerdaskan anak bangsa. “Selalu istiqamah untuk kebaikan,” pungkasnya.
Ema malini
Untuk mewujudkan hasratnya berbagi ilmu kepada masyarakat Badui, Dewi berani memutuskan menikah dengan pria yang baru ia kenal selama tiga hari. “Untuk menghindari fitnah. Dengan menikah, saya juga lebih leluasa untuk berkeliling dan bisa langsung menetap di Badui. Bahkan, saat mendaftarkan menikah di KUA, saya tidak mengetahui nama calon suami,” kenang Dewi.
Dewi bertemu suaminya, Ahmad Hidayat, saat pertama kali menginjakkan kaki di tanah Badui. Ahmad Hidayat merupakan seorang dai di Cikakal Girang dan sudah menetap di sana selama enam bulan. “Beliau berangkat dari dai dan bersedia tinggal di daerah terpencil, berarti beliau seseorang yang luar biasa. Itu yang membuat saya yakin,” kata perempuan kelahiran Cianjur, 2 September 1972 ini.
Saat itu Dewi tidak mendapatkan honor sementara sang suami berpenghasilan Rp100.000 per bulan. Setelah 20 hari menikah, mereka kehabisan bahan makanan. Untuk membeli bahan pangan, jarak rumah ke kota cukup jauh. Satu-satunya bahan makanan yang tersedia adalah daun singkong. “Jadi, 10 hari selanjutnya kami makan daun singkong,” tutur Dewi.
Tak hanya 10 hari tersebut, harihari berikutnya pun pasangan ini lalui dengan makanan sederhana. Mereka memakan apa yang mereka tanam seperti buncis dan singkong. Baru pada 2006 Dewi mendapatkan honor mengajar di MI (setara SD) sebesar Rp400.000 dan MTs (setara SMP) Rp150.000 dari dana bantuan BOS.
“Bisa untuk biaya anak sekolah. Kalau untuk makan, ya seadanya saja dan perbanyak puasa,” imbuh Dewi. Dalam perjalanannya menjadi guru keliling, Dewi bersama seorang temannya pernah dikeroyok anjing hutan saat berkeliling untuk mengajar. Lolongan anjing hutan membuat anjing hutan lain berdatangan.
Dalam keadaan terdesak dan kepungan anjing hutan, Dewi menceburkan diri ke sungai guna menyelamatkan diri. Dalam benaknya, jika memang perjuangannya harus berhenti saat itu, ia ikhlas. Beruntung, ia diselamatkan oleh orang Badui.
“Selalu ada pertolongan Allah,” ucap Dewi. Menurut Dewi, kematian adalah rahasia. Ia pun telah mempersiapkan mental jika ditakdirkan meninggal saat berjuang di Badui. Segala kendala dan rintangan yang menghadang tak mengendurkan semangat ibu tiga anak ini untuk mencerdaskan anak bangsa. “Selalu istiqamah untuk kebaikan,” pungkasnya.
Ema malini
(bbg)