Pengabdian Seumur Hidup
A
A
A
Berangkat dari hati nurani dan niat ikhlas, Ai Dewi secara sukarela menjadi guru keliling di 60 kampung yang ada di pemukiman Badui sejak 1992. Dia menempuh berpuluh-puluh kilometer dengan kondisi alam yang terjal sambil membawa white board, buku, dan pulpen. Penolakan dan pengusiran dari kepala adat setempat tidak dipedulikannya.
Atas dasar keteguhan serta keyakinan hati, Dewi tak pernah putus asa untuk mengabdikan hidup di tanah Badui. Harapannya, masyarakat Badui cerdas. Berikut kutipan wawancara KORAN SINDOdengan penerima penghargaan “MNCTV Pahlawan untuk Indonesia 2014 bidang Pendidikan” di kawasan Jakarta Selatan beberapa waktu lalu:
Bagaimana ceritanya Anda bisa menetap di Badui dan menjadi guru keliling di sana?
Saat menjadi guru honorer di MI (setara SD) Nurul Falah 2, Rangkasbitung, ada teman saya yang membawakan tabloid berjudul Badui Muslim Haus Pendidikan. Saat itu saya cuek saja, karena sedang sibuk mengisi KBM (kegiatan belajar mengajar). Sesampai di rumah, saya terus kepikiran tabloid tadi. Dari situ, saya mulai mencari tahu di mana lokasi Badui muslim dan bagaimana akses menuju ke sana.
Tanpa berpikir panjang, saya berkemas dan berangkat ke Cikakal Girang keesokan harinya. Begitu sampai di Cikakal Girang, ternyata benar ada sekolahan tapi kondisinya parah sekali. Mulai dari atap yang bocor, berlantaikan tanah, dan penyangga dari bambu. Sekolah ini sudah ada sejak lama, tapi dari 1972 hingga saya tiba (1992) vakum karena tidak ada guru. Tak heran jika tidak pernah ada siswa yang lulus. Sebelum saya, banyak guru yang sudah datang tapi tidak kuat karena bertentangan dengan adat.
Lantas, bagaimana Anda bisa bertahan dari 1992 hingga sekarang?
Harus bermental baja. Jika tidak, mungkin saya sudah pulang dari dulu. Persoalannya, yang kami tentang adalah adat yang tidak memperbolehkan penduduk Badui Luar dan Dalam bersekolah secara formal. Oleh karenanya, saya mengajar mereka secara nonformal dan sembunyi-sembunyi. Setelah mengajar di MI dan MTs di Badui Muslim, Cikakal Girang, saya pulang dan mengurus rumah.
Setelah itu, saya mulai berkeliling Badui Luar untuk mengajar anak-anak Badui secara nonformal. Biasanya saya kembali lagi ke rumah menjelang magrib. Setelah magrib, saya pergi ke desa lain dengan jarak tempuh kirakira dua kilometer untuk pemberantasan buta aksara bagi para bapak dan ibu. Biasanya, saya tiba lagi di rumah saat tengah malam.
Sulit tidak melakukan pendekatan dengan masyarakat Badui?
Pendekatannya pelan-pelan saja. Persuasif, tapi sedikit ditakuttakuti juga. Misalnya, jika tidak bisa menghitung, nanti dibohongi orang lain.
Apakah rutinitas tersebut Anda lakukan setiap hari?
Iya, terkecuali hari Jumat. Di hari Jumat, setelah menuaikan tugas, saya sebagai istri dan ibu di pagi hari, saya berkeliling ke Badui yang jaraknya lebih jauh sekitar sembilan kilometer. Saat berkeliling, saya membawa white board, banyak buku, dan pulpen. Sepanjang perjalanan, jika bertemu anak-anak Badui, langsung diperkenalkan dengan membaca, menulis, dan menghitung dengan cara persuasif.
Dengan begitu, mereka tidak sadar bahwa sedang belajar. Begitu tiba di suatu kampung, kami tidak bisa berlama-lama karena jika ketahuan oleh kepala adat, kami bisa diusir. Penduduk Badui yang sudah kenal saya biasanya akan segera mendatangi. Bukan hanya anak-anak, para ibu dan bapak juga menghampiri saya. Hal ini membuktikan bahwa mereka antusias untuk belajar.
Sayang, adat tidak memperbolehkan mereka untuk mengikuti kegiatan belajar di sekolah. Biasanya, saya meminta si anak Badui untuk menirukan tulisan yang sudah saya buat sebanyak mungkin di buku tulis. Selepas itu, saya bergegas pergi ke kampung lain dan melakukan hal yang sama. Saya akan kembali ke kampung tersebut tiga hari kemudian untuk mengambil tugas yang diberikan.
Bisa dibilang Anda kucingkucingan dengan kepala adat?
Ya, sejak 1992 sampai sekarang masih kucing-kucingan. Kehadiran saya dianggap membawa dampak buruk bagi kelestarian adat mereka. Dalam adat mereka dilarang belajar formal, penggunaan elektronik, dan listrik. Bagi penduduk Badui Luar dan Dalam, pendidikan masih hal yang baru dan tabu.
Suku Badui Luar masih bisa belajar informal, tapi kucing-kucingan. Kalau Badui Dalam, tidak bisa sama sekali. Namun, terkadang saya menginap di Badui Dalam sambil mencoba menyusup untuk mengajar secara sembunyisembunyi. Terkadang juga, saya melakukan pengajaran di posyandu. Dengan metode ini, mereka semakin tertarik lagi.
Apakah Anda tidak merasa takut jika kucing-kucingan terus seperti ini?
Pasti ada rasa ngeri, tapi tekad dan keyakinan hati yang membuat saya ingin terus melakukan hal ini. Jika kita percaya bisa, pasti bisa. Hal terpenting adalah punya kemauan, kerja keras, dan niat ikhlas.
Apakah pernah ketahuan oleh kepala adat?
Baru beberapa bulan di Badui, aksi saya sudah tercium. Saya pun didatangi dan diusir oleh kepala adat. Menurut kepala adat, saya telah merusak masyarakatnya. Lalu, saya berikan pengertian dan pendekatan kepada kepala adat. Saya minta kebebasan untuk mencerdaskan anak bangsa, dan anak Badui merupakan bagian dari Indonesia. Saya tidak ingin anak Badui bodoh dan terbelakang.
Akhirnya, kepala adat mempersilakan saya, asal tidak formal dan jangan terlalu terang-terangan. Meski mereka mengizinkan, tapi jika saya terlalu agresif, mereka akan bertindak. Pintar-pintar kita menarik ulur saja. Jika kepala adat sudah mulai geram, ya kita kendurkan aksinya. Tapi, jangan sampai vakum karena dikhawatirkan mereka lupa cara membaca, menulis, atau menghitung.
Tidak terpikir untuk menyudahi kucing-kucingan ini?
Saya tidak mungkin keluar dari Badui meski kepala adat terus melarang. Justru, semakin dilarang saya akan semakin gigih. Saya tipe yang jika ditantang akan menantang balik. Mati dan hidup saya di sini, yang terpenting bangsa ini cerdas.
Hal apa yang melandasi Anda melakukan ini semua?
Saya tidak pintar dan ilmu yang saya miliki juga tidak banyak. Meski begitu, saya ingin membagikan ilmu yang saya punya kepada orang lain. Dari kecil, saya bercita-cita menjadi guru. Mengajar menjadi bentuk abdi saya kepada masyarakat. Oleh karenanya, saya berangkat ke Badui atas dasar keikhlasan dan hati nurani tanpa perintah siapa pun.
Indonesia sudah merdeka sejak 1945, tapi saya rasa suku Badui belum merdeka karena kekangan hukum adat. Saya ingin masyarakat Badui bisa merasakan kemerdekaan. Jangan sampai mereka sudah di daerah terisolir dan terbelakang pula.
Apa gol utama dari aksi Anda ini?
Golutamanya tidak muluk-muluk. Cukup masyarakat Badui bisa membaca, menulis, menghitung, mencari alamat ke luar Badui, dan bersosialisasi dengan orang luar. Saat ini sudah banyak masyarakat Badui yang sukses bekerja sama dengan orang luar, bisa jual beli, dan tidak dibohongi lagi. Bahkan, ada empat anak Badui Muslim yang sedang kuliah. Hal ini menunjukkan kesadaran mereka tentang pendidikan di jenjang lebih tinggi sudah mulai terbuka.
Bagaimana dukungan suami terhadap Anda?
Suami dan anak-anak saya mendukung. Saya bertemu suami kandi sini. Jadi, beliau juga sudah paham mengenai apa yang saya lakukan. Bagi saya, yang terpenting rida suami. Dulu, saya berkeliling bersama suami. Namun, pada 2006, beliau mengalami kecelakaan yang menyebabkan kaki kanan beliau remuk.
Sekarang beliau mengajar di MI dan MTs di Cikakal Girang, saya yang berkeliling bersama teman yang lain. Anak saya yang kedua, Raisa, sudah ada niatan untuk mengabdi di Badui, tapi di bidang kesehatan. Oleh sebab itu, ia mengambil sekolah farmasi dan sedikit-sedikit mulai meracik obat dari tanaman apotek hidup yang ada di depan rumah. Harapannya, dia bisa membuat obat herbal yang dapat digunakan oleh warga setempat.
Ema malini
Atas dasar keteguhan serta keyakinan hati, Dewi tak pernah putus asa untuk mengabdikan hidup di tanah Badui. Harapannya, masyarakat Badui cerdas. Berikut kutipan wawancara KORAN SINDOdengan penerima penghargaan “MNCTV Pahlawan untuk Indonesia 2014 bidang Pendidikan” di kawasan Jakarta Selatan beberapa waktu lalu:
Bagaimana ceritanya Anda bisa menetap di Badui dan menjadi guru keliling di sana?
Saat menjadi guru honorer di MI (setara SD) Nurul Falah 2, Rangkasbitung, ada teman saya yang membawakan tabloid berjudul Badui Muslim Haus Pendidikan. Saat itu saya cuek saja, karena sedang sibuk mengisi KBM (kegiatan belajar mengajar). Sesampai di rumah, saya terus kepikiran tabloid tadi. Dari situ, saya mulai mencari tahu di mana lokasi Badui muslim dan bagaimana akses menuju ke sana.
Tanpa berpikir panjang, saya berkemas dan berangkat ke Cikakal Girang keesokan harinya. Begitu sampai di Cikakal Girang, ternyata benar ada sekolahan tapi kondisinya parah sekali. Mulai dari atap yang bocor, berlantaikan tanah, dan penyangga dari bambu. Sekolah ini sudah ada sejak lama, tapi dari 1972 hingga saya tiba (1992) vakum karena tidak ada guru. Tak heran jika tidak pernah ada siswa yang lulus. Sebelum saya, banyak guru yang sudah datang tapi tidak kuat karena bertentangan dengan adat.
Lantas, bagaimana Anda bisa bertahan dari 1992 hingga sekarang?
Harus bermental baja. Jika tidak, mungkin saya sudah pulang dari dulu. Persoalannya, yang kami tentang adalah adat yang tidak memperbolehkan penduduk Badui Luar dan Dalam bersekolah secara formal. Oleh karenanya, saya mengajar mereka secara nonformal dan sembunyi-sembunyi. Setelah mengajar di MI dan MTs di Badui Muslim, Cikakal Girang, saya pulang dan mengurus rumah.
Setelah itu, saya mulai berkeliling Badui Luar untuk mengajar anak-anak Badui secara nonformal. Biasanya saya kembali lagi ke rumah menjelang magrib. Setelah magrib, saya pergi ke desa lain dengan jarak tempuh kirakira dua kilometer untuk pemberantasan buta aksara bagi para bapak dan ibu. Biasanya, saya tiba lagi di rumah saat tengah malam.
Sulit tidak melakukan pendekatan dengan masyarakat Badui?
Pendekatannya pelan-pelan saja. Persuasif, tapi sedikit ditakuttakuti juga. Misalnya, jika tidak bisa menghitung, nanti dibohongi orang lain.
Apakah rutinitas tersebut Anda lakukan setiap hari?
Iya, terkecuali hari Jumat. Di hari Jumat, setelah menuaikan tugas, saya sebagai istri dan ibu di pagi hari, saya berkeliling ke Badui yang jaraknya lebih jauh sekitar sembilan kilometer. Saat berkeliling, saya membawa white board, banyak buku, dan pulpen. Sepanjang perjalanan, jika bertemu anak-anak Badui, langsung diperkenalkan dengan membaca, menulis, dan menghitung dengan cara persuasif.
Dengan begitu, mereka tidak sadar bahwa sedang belajar. Begitu tiba di suatu kampung, kami tidak bisa berlama-lama karena jika ketahuan oleh kepala adat, kami bisa diusir. Penduduk Badui yang sudah kenal saya biasanya akan segera mendatangi. Bukan hanya anak-anak, para ibu dan bapak juga menghampiri saya. Hal ini membuktikan bahwa mereka antusias untuk belajar.
Sayang, adat tidak memperbolehkan mereka untuk mengikuti kegiatan belajar di sekolah. Biasanya, saya meminta si anak Badui untuk menirukan tulisan yang sudah saya buat sebanyak mungkin di buku tulis. Selepas itu, saya bergegas pergi ke kampung lain dan melakukan hal yang sama. Saya akan kembali ke kampung tersebut tiga hari kemudian untuk mengambil tugas yang diberikan.
Bisa dibilang Anda kucingkucingan dengan kepala adat?
Ya, sejak 1992 sampai sekarang masih kucing-kucingan. Kehadiran saya dianggap membawa dampak buruk bagi kelestarian adat mereka. Dalam adat mereka dilarang belajar formal, penggunaan elektronik, dan listrik. Bagi penduduk Badui Luar dan Dalam, pendidikan masih hal yang baru dan tabu.
Suku Badui Luar masih bisa belajar informal, tapi kucing-kucingan. Kalau Badui Dalam, tidak bisa sama sekali. Namun, terkadang saya menginap di Badui Dalam sambil mencoba menyusup untuk mengajar secara sembunyisembunyi. Terkadang juga, saya melakukan pengajaran di posyandu. Dengan metode ini, mereka semakin tertarik lagi.
Apakah Anda tidak merasa takut jika kucing-kucingan terus seperti ini?
Pasti ada rasa ngeri, tapi tekad dan keyakinan hati yang membuat saya ingin terus melakukan hal ini. Jika kita percaya bisa, pasti bisa. Hal terpenting adalah punya kemauan, kerja keras, dan niat ikhlas.
Apakah pernah ketahuan oleh kepala adat?
Baru beberapa bulan di Badui, aksi saya sudah tercium. Saya pun didatangi dan diusir oleh kepala adat. Menurut kepala adat, saya telah merusak masyarakatnya. Lalu, saya berikan pengertian dan pendekatan kepada kepala adat. Saya minta kebebasan untuk mencerdaskan anak bangsa, dan anak Badui merupakan bagian dari Indonesia. Saya tidak ingin anak Badui bodoh dan terbelakang.
Akhirnya, kepala adat mempersilakan saya, asal tidak formal dan jangan terlalu terang-terangan. Meski mereka mengizinkan, tapi jika saya terlalu agresif, mereka akan bertindak. Pintar-pintar kita menarik ulur saja. Jika kepala adat sudah mulai geram, ya kita kendurkan aksinya. Tapi, jangan sampai vakum karena dikhawatirkan mereka lupa cara membaca, menulis, atau menghitung.
Tidak terpikir untuk menyudahi kucing-kucingan ini?
Saya tidak mungkin keluar dari Badui meski kepala adat terus melarang. Justru, semakin dilarang saya akan semakin gigih. Saya tipe yang jika ditantang akan menantang balik. Mati dan hidup saya di sini, yang terpenting bangsa ini cerdas.
Hal apa yang melandasi Anda melakukan ini semua?
Saya tidak pintar dan ilmu yang saya miliki juga tidak banyak. Meski begitu, saya ingin membagikan ilmu yang saya punya kepada orang lain. Dari kecil, saya bercita-cita menjadi guru. Mengajar menjadi bentuk abdi saya kepada masyarakat. Oleh karenanya, saya berangkat ke Badui atas dasar keikhlasan dan hati nurani tanpa perintah siapa pun.
Indonesia sudah merdeka sejak 1945, tapi saya rasa suku Badui belum merdeka karena kekangan hukum adat. Saya ingin masyarakat Badui bisa merasakan kemerdekaan. Jangan sampai mereka sudah di daerah terisolir dan terbelakang pula.
Apa gol utama dari aksi Anda ini?
Golutamanya tidak muluk-muluk. Cukup masyarakat Badui bisa membaca, menulis, menghitung, mencari alamat ke luar Badui, dan bersosialisasi dengan orang luar. Saat ini sudah banyak masyarakat Badui yang sukses bekerja sama dengan orang luar, bisa jual beli, dan tidak dibohongi lagi. Bahkan, ada empat anak Badui Muslim yang sedang kuliah. Hal ini menunjukkan kesadaran mereka tentang pendidikan di jenjang lebih tinggi sudah mulai terbuka.
Bagaimana dukungan suami terhadap Anda?
Suami dan anak-anak saya mendukung. Saya bertemu suami kandi sini. Jadi, beliau juga sudah paham mengenai apa yang saya lakukan. Bagi saya, yang terpenting rida suami. Dulu, saya berkeliling bersama suami. Namun, pada 2006, beliau mengalami kecelakaan yang menyebabkan kaki kanan beliau remuk.
Sekarang beliau mengajar di MI dan MTs di Cikakal Girang, saya yang berkeliling bersama teman yang lain. Anak saya yang kedua, Raisa, sudah ada niatan untuk mengabdi di Badui, tapi di bidang kesehatan. Oleh sebab itu, ia mengambil sekolah farmasi dan sedikit-sedikit mulai meracik obat dari tanaman apotek hidup yang ada di depan rumah. Harapannya, dia bisa membuat obat herbal yang dapat digunakan oleh warga setempat.
Ema malini
(bbg)