Putusan MA Lampaui Kewenangan Absolut
A
A
A
JAKARTA - Putusan hakim Mahkamah Agung (MA) yang menolak peninjauan kembali (PK) kasus sengketa Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dinilai telah melampaui kewenangan absolut.
Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syaiful Bahri menyatakan, putusan majelis hakim Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah putusan final yang mengikat. Karena itu, putusan MA dalam kasus tersebut tidak berlaku.
“Berdasarkan Undang-Undang Arbitrase Nasional, bila mana ada sengketa dalam perusahaan, dapat diselesaikan di BANI berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak,” ungkap Syaiful. Dalam kasus sengketa TPI, ujarnya, Tutut mencoba membawa sengketa tersebut ke PengadilanNegeri( PN) JakartaPusat. Padahal, sudahjelaskesepakatan di antara dua belah pihak dalam investment agreement mengatakan, apabila terjadi sengketa, akan diselesaikan di BANI.
“Secara sadar Tutut mengerti perjanjian itu. Namun, dia membawa sengketa ini di PN Jakarta Pusat, hingga Tutut menang sampai di putusan Mahkamah Agung juga,” paparnya. Karena itu, Syaiful mengkritik keputusan hakim agung yang menolak PK kasus sengketa kepemilikan TPI tersebut. Putusan BANI sudah sesuai prosedur yang dilakukan dua pihak.
“Hakim Agung ini sudah melampaui kewenangan absolut dari putusan BANI. Seharusnya mereka (hakim MA) membaca UU Arbitrase karena yang harus didahului adalah putusan BANI,” tuturnya. Para hakim agung yang memutus perkara tersebut juga telah melanggar kompetensi mereka. “Kompetensinya yang dilanggar karena mereka tidak mengerti pokok permasalahannya,” ucapnya.
Hal senada diungkapkan pakar hukum bisnis Frans Hendra Winarta. Menurut dia, ketika terjadi perkara dalam perjanjian yang telah memuat klausul arbitrase dibawa ke BANI, pengadilan tidak lagi memiliki wewenang, apalagi sampai memutus perkara. Itu diungkapkan Frans menjawab putusan MA yang memenangkan Tutut melawan PT Berkah Karya Bersama (BKB).
“Kalau semua pihak tertulis untukmemasukkanklausularbitrase perjanjian setuju ke BANI, tidakbolehkepengadilan. Inimelebihi wewenang pengadilan,” ungkapnya. Ketika ada salah satu pihak yang beperkara menyatakan peradilan tertinggi di Indonesia adalah MA dan harus menjalani putusan yang telah dikeluarkan, Frans Hendra mengatakan bahwa putusan sengketa bisnis di BANI memiliki kekuatan hukum yang sama kuat.
“Tidak ada yang lebih tinggi. Kekuatannya sama. Kalau sudah di arbitrase memilih BANI, itulah putusan hukumnya,” ucapnya. Karena itu, ujarnya, yang pasti berlaku adalah putusan BANI. Putusan pengadilan tidak berlaku sesuai Undang- Undang 30 Tahun 1999 tentang Sengketa Bisnis. “Sudah dibilang, kalau ada perjanjian arbitrase yang diterangkan pada Pasal 18 ayat 1, pengadilan tidak boleh menyidangkan, apalagi memutuskan,” ungkapnya.
Lantas, bagaimana cara mengeksekusi putusan yang telah dikeluarkan BANI itu? Frans mengatakan, BANI tidak punya kekuatan untuk memaksa dan tidak punya kekuasaan mengeksekusi. Karenaitu, proses eksekusi diserahkan ke pengadilan negeri. “Itu berlaku di hukuminternasionaljuga,” katanya.
Sementara itu, Komisi Yudisial (KY) menyatakan tugas tim investigasi yang menindaklanjuti laporan kejanggalan putusan hakim Mahkamah Agung (MA) terkait penolakan peninjauan kembali (PK) sengketa Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) selesai pada Januari 2015.
Komisioner KY Imam Anshori Soleh mengatakan, tim investigasi saat ini melengkapi dokumen dan siap membandingkan hasil putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dengan putusan yang dikeluarkan MA. “Mudah-mudahan awal Januari sudah bisa diproses. Nanti dari tim ahli langsung ke panel,” kata Imam di Jakarta kemarin.
Guna menguatkan hasil investigasi, lanjutnya, tidak menutup kemungkinan KY akan memanggil pihak-pihak yang dianggap bersentuhan dengan proses investigasi. “Kalau perlu pendalaman, nanti memanggil pihak-pihak bersangkutan, bisa ke BANI, bisa juga ke hakim agungnya, baru pleno,” katanya.
Sementara itu, PT Berkah Karya Bersama (BKB) mengaku telah menyiapkan sejumlah langkah antisipatif penagihan utang Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) yang telah diputuskan BANI. Dalam putusan BANI, Tutut diwajibkan mengembalikan kelebihan modal yang digelontorkan PT BKB senilai Rp510 miliar ketika menyuntikkan dana pembayaran utang PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI) pada 2002.
“Alternatif pertama kita akan somasi lagi. Setelah itu baru kita bisa eksekusi berdasarkan putusan BANI,” kata kuasa hukum PT BKB Andi Simangunsong. Alternatif selanjutnya agar utang Tutut itu bisa terbayar adalah dengan cara mengeksekusi sejumlah barang atau aset yang dimiliki Tutut.
Dian ramdhani/ Danti daniel/Okezone
Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syaiful Bahri menyatakan, putusan majelis hakim Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah putusan final yang mengikat. Karena itu, putusan MA dalam kasus tersebut tidak berlaku.
“Berdasarkan Undang-Undang Arbitrase Nasional, bila mana ada sengketa dalam perusahaan, dapat diselesaikan di BANI berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak,” ungkap Syaiful. Dalam kasus sengketa TPI, ujarnya, Tutut mencoba membawa sengketa tersebut ke PengadilanNegeri( PN) JakartaPusat. Padahal, sudahjelaskesepakatan di antara dua belah pihak dalam investment agreement mengatakan, apabila terjadi sengketa, akan diselesaikan di BANI.
“Secara sadar Tutut mengerti perjanjian itu. Namun, dia membawa sengketa ini di PN Jakarta Pusat, hingga Tutut menang sampai di putusan Mahkamah Agung juga,” paparnya. Karena itu, Syaiful mengkritik keputusan hakim agung yang menolak PK kasus sengketa kepemilikan TPI tersebut. Putusan BANI sudah sesuai prosedur yang dilakukan dua pihak.
“Hakim Agung ini sudah melampaui kewenangan absolut dari putusan BANI. Seharusnya mereka (hakim MA) membaca UU Arbitrase karena yang harus didahului adalah putusan BANI,” tuturnya. Para hakim agung yang memutus perkara tersebut juga telah melanggar kompetensi mereka. “Kompetensinya yang dilanggar karena mereka tidak mengerti pokok permasalahannya,” ucapnya.
Hal senada diungkapkan pakar hukum bisnis Frans Hendra Winarta. Menurut dia, ketika terjadi perkara dalam perjanjian yang telah memuat klausul arbitrase dibawa ke BANI, pengadilan tidak lagi memiliki wewenang, apalagi sampai memutus perkara. Itu diungkapkan Frans menjawab putusan MA yang memenangkan Tutut melawan PT Berkah Karya Bersama (BKB).
“Kalau semua pihak tertulis untukmemasukkanklausularbitrase perjanjian setuju ke BANI, tidakbolehkepengadilan. Inimelebihi wewenang pengadilan,” ungkapnya. Ketika ada salah satu pihak yang beperkara menyatakan peradilan tertinggi di Indonesia adalah MA dan harus menjalani putusan yang telah dikeluarkan, Frans Hendra mengatakan bahwa putusan sengketa bisnis di BANI memiliki kekuatan hukum yang sama kuat.
“Tidak ada yang lebih tinggi. Kekuatannya sama. Kalau sudah di arbitrase memilih BANI, itulah putusan hukumnya,” ucapnya. Karena itu, ujarnya, yang pasti berlaku adalah putusan BANI. Putusan pengadilan tidak berlaku sesuai Undang- Undang 30 Tahun 1999 tentang Sengketa Bisnis. “Sudah dibilang, kalau ada perjanjian arbitrase yang diterangkan pada Pasal 18 ayat 1, pengadilan tidak boleh menyidangkan, apalagi memutuskan,” ungkapnya.
Lantas, bagaimana cara mengeksekusi putusan yang telah dikeluarkan BANI itu? Frans mengatakan, BANI tidak punya kekuatan untuk memaksa dan tidak punya kekuasaan mengeksekusi. Karenaitu, proses eksekusi diserahkan ke pengadilan negeri. “Itu berlaku di hukuminternasionaljuga,” katanya.
Sementara itu, Komisi Yudisial (KY) menyatakan tugas tim investigasi yang menindaklanjuti laporan kejanggalan putusan hakim Mahkamah Agung (MA) terkait penolakan peninjauan kembali (PK) sengketa Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) selesai pada Januari 2015.
Komisioner KY Imam Anshori Soleh mengatakan, tim investigasi saat ini melengkapi dokumen dan siap membandingkan hasil putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dengan putusan yang dikeluarkan MA. “Mudah-mudahan awal Januari sudah bisa diproses. Nanti dari tim ahli langsung ke panel,” kata Imam di Jakarta kemarin.
Guna menguatkan hasil investigasi, lanjutnya, tidak menutup kemungkinan KY akan memanggil pihak-pihak yang dianggap bersentuhan dengan proses investigasi. “Kalau perlu pendalaman, nanti memanggil pihak-pihak bersangkutan, bisa ke BANI, bisa juga ke hakim agungnya, baru pleno,” katanya.
Sementara itu, PT Berkah Karya Bersama (BKB) mengaku telah menyiapkan sejumlah langkah antisipatif penagihan utang Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) yang telah diputuskan BANI. Dalam putusan BANI, Tutut diwajibkan mengembalikan kelebihan modal yang digelontorkan PT BKB senilai Rp510 miliar ketika menyuntikkan dana pembayaran utang PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI) pada 2002.
“Alternatif pertama kita akan somasi lagi. Setelah itu baru kita bisa eksekusi berdasarkan putusan BANI,” kata kuasa hukum PT BKB Andi Simangunsong. Alternatif selanjutnya agar utang Tutut itu bisa terbayar adalah dengan cara mengeksekusi sejumlah barang atau aset yang dimiliki Tutut.
Dian ramdhani/ Danti daniel/Okezone
(ars)