Meminimalisasi Risiko Banjir
A
A
A
Banjir menjadi momok menakutkan bagi warga Ibu Kota menjelang pengujung dan awal tahun. Pemprov DKI Jakarta pun tak bisa berbuat banyak untuk menjadikan ibu kota bebas banjir karena yang dapat dilakukan hanya meminimalisasi risiko.
Mau sampai kapan? Banjir sejak zaman pemerintahan Belanda memang sudah ada dan tak mungkin lenyap meski berbagai program penanggulangan digencarkan. Banjir terbesar terjadi pada 1872 silam yang merendam dan melumpuhkan kawasan pertokoan dan hotel di Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Begitu juga Gedung Harmoni, Jalan Veteran, dan Jalan Juanda termasuk kawasan yang sekarang menjadi Lapangan Banteng terkena dampak banjir.
Pada 1983, banjir besar kembali melanda Batavia yang merendam Kwitang, Kebon Sirih, Petojo, dan Tanah Abang. Seiring perkembangan zaman, wilayah yang kebanjiran makin meluas, bahkan hampir seluruh wilayah Jakarta tak luput dari banjir. Kerugian akibat banjir dari tahun ke tahun terus meningkat lantaran daerah resapan air berubah fungsi menjadi bangunan perkantoran, hotel, pusat perbelanjaan, hingga perumahan.
Seperti banjir yang melanda pada 2007. Saat itu banjir menggenangi 89 kelurahan dengan luas wilayah tergenang sekitar 454,8 km2 atau lebih dari 60% wilayah Jakarta. Banjir ini merupakan salah satu yang terbesar dalam sejarah Jakarta hingga mengakibatkan kerugian mencapai Rp5,2 triliun, menelan korban 80 jiwa, dan memaksa 320.000 warga Ibu Kota mengungsi.
Kepala Seksi Pemeliharaan dan Pengendalian Banjir Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI Jakarta Warsito mengatakan, permasalahan banjir di Jakarta dari tahun ke tahun hanya bisa dikendalikan. Sebab secara topografi sekitar 40% daratan di DKI berada di bawah permukaan air laut. Untuk itu, penanganan banjir dari hulu hingga hilir sangat dibutuhkan.
“Bagian hulu perlu diperbanyak daerah resapan air untuk menunjang wilayah tangkapan air berdasarkan sistem aliran sungai besar. Di bagian hilir perlu diperbanyak polder untuk mengendalikan volume air,” ujarnya saat ditemui KORAN SINDO. Dia menjelaskan, sepanjang tahun ini program pengendalian banjir yang dilakukan antara lain normalisasi Kali Gunung Sahari, Kali Cideng, Kali Ciliwung, dan Kali Abdul Muis.
Untuk normalisasi Kali Pesanggrahan, Kali Cengkareng Drain, Kanal Banjir Barat (KBB), dan Kali Sunter saat ini tengah dikerjakan Kementerian PU. Di bagian hilir, Dinas PU DKI tengah membangun tiga rumah pompa di kawasan Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, yang dapat difungsikan untuk menangani banjir 2014-2015. Pompa dengan daya 40 kubik per detik akan dipasang di Kali Semongol, Kalideres, Jakarta Barat; Marina Ancol dan Kali Sentiong.
Saat ini terdapat 438 pompa air di Jakarta, namun dari hasil pengecekan sebanyak 141 pompa terdiri dari pompa stasioner, pompa mobile, dan pompa underpass mengalami kerusakan. Upaya penanggulangan banjir di hilir lainnya yakni pembangunan tanggul raksasa (giant sea wall) di Pluit yang sedang dikerjakan Kementerian PU, Dinas PU, dan pengembang.
“Kalau di bagian hulu perbatasan antara Jakarta dengan Jawa Barat dan Banten, penanganan dilakukan dengan pembuatan Waduk Pondok Rangon dan normalisasi Kali Ciliwung serta Pesanggrahan,” kata Warsito. Berbagai program penanganan banjir pastinya menemui berbagai kendala, salah satunya pembebasan lahan.
Akibatnya, banyak program yang ditargetkan selesai pada tahun ini tidak bisa terealisasi dan dilanjutkan pada tahun selanjutnya. Misalnya pembuatan enam waduk di antaranya Waduk Pondok Rangon, Jakarta Timur; Waduk Berigif, Jakarta Selatan; Waduk Hankam, Jakarta Timur; dan Waduk Marunda.
Waduk yang masing-masing seharusnya memiliki luas 30 hektare saat ini ratarata hanya mempunyai luas 5-6 hektare. “Untuk anggaran pembuatan waduk dan normalisasi menggunakan anggaran multiyears. Diharapkan 2016 kedua program tersebut rampung,” ucapnya. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menegaskan segala persiapan penanggulangan risiko banjir pada 2015 sudah dilakukan.
“Kali ini pasti lebih siap dari tahun sebelumnya. Kita akan terus memikirkan bagaimana cara mengendalikan banjir di Jakarta,” ujarnya. Tahun depan, Pemprov DKI akan melanjutkan program Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) tahap A, yakni penguatan tanggul laut, pembangunan waduk, serta menambah pompa air.
Terpenting yaitu memindahkan penduduk dari bantaran kali atau waduk ke rumah susun (rusun) demi kepentingan normalisasi sehingga nanti tidak ada lagi banjir berhari-hari. Momentum penanganan banjir juga dimanfaatkan oleh Ahok untuk menindak tegas para lurah dan camat bila pada akhir Desember ini ternyata memiliki kinerja buruk dalam penanggulangan banjir di wilayahnya.
“Saya tidak segansegan akan mencopotnya,” tegas mantan bupati Belitung Timur itu. Sebab lurah dan camat memiliki banyak waktu untuk membersihkan saluran air/drainase. Begitu juga dengan perbaikan sejumlah pompa air. Dinas PU DKI harus memperbaiki ratusan pompa yang rusak. “Jangan sampai banjir di Jakarta disebabkan kerusakan pompa,” katanya.
Bima setiyadi
Mau sampai kapan? Banjir sejak zaman pemerintahan Belanda memang sudah ada dan tak mungkin lenyap meski berbagai program penanggulangan digencarkan. Banjir terbesar terjadi pada 1872 silam yang merendam dan melumpuhkan kawasan pertokoan dan hotel di Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Begitu juga Gedung Harmoni, Jalan Veteran, dan Jalan Juanda termasuk kawasan yang sekarang menjadi Lapangan Banteng terkena dampak banjir.
Pada 1983, banjir besar kembali melanda Batavia yang merendam Kwitang, Kebon Sirih, Petojo, dan Tanah Abang. Seiring perkembangan zaman, wilayah yang kebanjiran makin meluas, bahkan hampir seluruh wilayah Jakarta tak luput dari banjir. Kerugian akibat banjir dari tahun ke tahun terus meningkat lantaran daerah resapan air berubah fungsi menjadi bangunan perkantoran, hotel, pusat perbelanjaan, hingga perumahan.
Seperti banjir yang melanda pada 2007. Saat itu banjir menggenangi 89 kelurahan dengan luas wilayah tergenang sekitar 454,8 km2 atau lebih dari 60% wilayah Jakarta. Banjir ini merupakan salah satu yang terbesar dalam sejarah Jakarta hingga mengakibatkan kerugian mencapai Rp5,2 triliun, menelan korban 80 jiwa, dan memaksa 320.000 warga Ibu Kota mengungsi.
Kepala Seksi Pemeliharaan dan Pengendalian Banjir Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI Jakarta Warsito mengatakan, permasalahan banjir di Jakarta dari tahun ke tahun hanya bisa dikendalikan. Sebab secara topografi sekitar 40% daratan di DKI berada di bawah permukaan air laut. Untuk itu, penanganan banjir dari hulu hingga hilir sangat dibutuhkan.
“Bagian hulu perlu diperbanyak daerah resapan air untuk menunjang wilayah tangkapan air berdasarkan sistem aliran sungai besar. Di bagian hilir perlu diperbanyak polder untuk mengendalikan volume air,” ujarnya saat ditemui KORAN SINDO. Dia menjelaskan, sepanjang tahun ini program pengendalian banjir yang dilakukan antara lain normalisasi Kali Gunung Sahari, Kali Cideng, Kali Ciliwung, dan Kali Abdul Muis.
Untuk normalisasi Kali Pesanggrahan, Kali Cengkareng Drain, Kanal Banjir Barat (KBB), dan Kali Sunter saat ini tengah dikerjakan Kementerian PU. Di bagian hilir, Dinas PU DKI tengah membangun tiga rumah pompa di kawasan Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, yang dapat difungsikan untuk menangani banjir 2014-2015. Pompa dengan daya 40 kubik per detik akan dipasang di Kali Semongol, Kalideres, Jakarta Barat; Marina Ancol dan Kali Sentiong.
Saat ini terdapat 438 pompa air di Jakarta, namun dari hasil pengecekan sebanyak 141 pompa terdiri dari pompa stasioner, pompa mobile, dan pompa underpass mengalami kerusakan. Upaya penanggulangan banjir di hilir lainnya yakni pembangunan tanggul raksasa (giant sea wall) di Pluit yang sedang dikerjakan Kementerian PU, Dinas PU, dan pengembang.
“Kalau di bagian hulu perbatasan antara Jakarta dengan Jawa Barat dan Banten, penanganan dilakukan dengan pembuatan Waduk Pondok Rangon dan normalisasi Kali Ciliwung serta Pesanggrahan,” kata Warsito. Berbagai program penanganan banjir pastinya menemui berbagai kendala, salah satunya pembebasan lahan.
Akibatnya, banyak program yang ditargetkan selesai pada tahun ini tidak bisa terealisasi dan dilanjutkan pada tahun selanjutnya. Misalnya pembuatan enam waduk di antaranya Waduk Pondok Rangon, Jakarta Timur; Waduk Berigif, Jakarta Selatan; Waduk Hankam, Jakarta Timur; dan Waduk Marunda.
Waduk yang masing-masing seharusnya memiliki luas 30 hektare saat ini ratarata hanya mempunyai luas 5-6 hektare. “Untuk anggaran pembuatan waduk dan normalisasi menggunakan anggaran multiyears. Diharapkan 2016 kedua program tersebut rampung,” ucapnya. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menegaskan segala persiapan penanggulangan risiko banjir pada 2015 sudah dilakukan.
“Kali ini pasti lebih siap dari tahun sebelumnya. Kita akan terus memikirkan bagaimana cara mengendalikan banjir di Jakarta,” ujarnya. Tahun depan, Pemprov DKI akan melanjutkan program Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) tahap A, yakni penguatan tanggul laut, pembangunan waduk, serta menambah pompa air.
Terpenting yaitu memindahkan penduduk dari bantaran kali atau waduk ke rumah susun (rusun) demi kepentingan normalisasi sehingga nanti tidak ada lagi banjir berhari-hari. Momentum penanganan banjir juga dimanfaatkan oleh Ahok untuk menindak tegas para lurah dan camat bila pada akhir Desember ini ternyata memiliki kinerja buruk dalam penanggulangan banjir di wilayahnya.
“Saya tidak segansegan akan mencopotnya,” tegas mantan bupati Belitung Timur itu. Sebab lurah dan camat memiliki banyak waktu untuk membersihkan saluran air/drainase. Begitu juga dengan perbaikan sejumlah pompa air. Dinas PU DKI harus memperbaiki ratusan pompa yang rusak. “Jangan sampai banjir di Jakarta disebabkan kerusakan pompa,” katanya.
Bima setiyadi
(bbg)