Rupiah Terlemah sejak Agustus 1998

Selasa, 16 Desember 2014 - 09:32 WIB
Rupiah Terlemah sejak Agustus 1998
Rupiah Terlemah sejak Agustus 1998
A A A
JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kemarin terjerembap ke titik terendah sejak Agustus 1998, seiring hengkangnya dana asing. Membaiknya perekonomian Amerika Serikat (AS) dan prospek kenaikan suku bunga di negara tersebut dituding sebagai pemicu.

Sejak awal tahun, pergerakan nilai tukar rupiah memang cenderung melemah terhadap dolar AS. Tercatat, sejak awal tahun hingga Desember, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sekitar 2,5%. Sejauh itu, pemerintah masih menilai wajar atas pelemahan yang terjadi, mengingat hal yang sama juga terjadi pada mata uang regional. Terlebih, Indonesia juga menghadapi masalah defisit transaksi berjalan.

”Statistik sampai kemarin depresiasi hingga Desember hanya 2,5%, dibandingkan Jepang yang 15% atau Malaysia 6%. Bahkan, Turki dan Brasil lebih parah,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil di Jakarta tadi malam. Dia berpandangan, pelemahan nilai tukar merupakan gejala umum di dunia akibat penguatan dolar AS.

Selain itu, menurut dia, spekulasi menjelang rapat Bank Sentral AS (Federal Reserve) tanggal 19 Desember mendatang ikut memicu volatilitas nilai tukar. Keterpurukan rupiah menjadi peringatan keras bagi pemerintah. Pasalnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai level terendah sejak Agustus 1998, saat Indonesia dilanda krisis moneter.

Nilai tukar rupiah di ujung perdagangan kemarin tercatat terkapar di level Rp12.714 per dolar AS. Sementara posisi rupiah berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI) ditutup pada level Rp12.599 per dolar AS. Menanggapi gerak rupiah, Direktur Departemen Komunikasi BI Peter Jacobs mengatakan bahwa hal itu disebabkan beberapa faktor, antara lain menguatnya ekonomi AS dan antisipasi kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga.

Di dalam negeri, selain masalah defisit transaksi berjalan, tingginya kebutuhan dolar menjelang akhir tahun ikut menekan nilai tukar rupiah. ”Tapi kita harap melemahnya rupiah hingga level Rp12.700 ini bersifat temporer,” kata Peter. Kalangan pengusaha mengaku mulai khawatir dengan kecenderungan melemahnya rupiah.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, pelemahan rupiah menyebabkan perusahaan-perusahaan harus melakukan perubahan rencana. ”Yang jelas kami khawatirkan ini bisa sampai berapa, level yang wajar itu berapa? Ini kan kita lihat enggak berhenti di Rp12.400, kita kan harus antisipasi,” kata Shinta. Selain masalah perencanaan, pengusaha terutama importir, juga mengkhawatirkan kenaikan ongkos yang berpengaruh pada harga jual.

”Dampaknya kalau importir, banyak sekali. Segi produksi juga terpengaruh, cost -nya jadi berubah. Kalau kita bekerja enggak ada konsistensi kan susah. Kami harapkan pemerintah intervensi,” cetusnya. Kekhawatiran juga disuarakan Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo).

Ketua Umum Iperindo Eddy Kurniawan Logam mengatakan, melemahnya nilai rupiah membuat pengusaha menahan kontrak-kontrak pembuatan kapal, terutama kontrak pembuatan kapal di dalam negeri yang menggunakan kurs rupiah. ”Kalau rupiah melemah, saya kira kita cenderung mencari proyek yang pembayarannya dalam dolar. Kita juga otomatis harus menghitung ulang biaya produksi, di samping melakukan hedging,” kata dia.

Eddy pun berharap kondisi ini hanya sementara, karena akhir tahun menurutnya memang banyak perusahaan yang berburu dolar. Namun, dia meminta pemerintah fokus menjaga nilai tukar rupiah agar bisa stabil. ”Kami tidak bisa apa-apa selain menunggu. Kita hanya berharap rupiah menjadi lebih baik di angka yang wajar,” tandasnya.

Ekonom Raden Pardede mengatakan, pelemahan nilai tukar tidak hanya terjadi pada rupiah, tetapi juga banyak mata uang lainnya. Menurutnya, BI belum perlu melakukan intervensi terhadap pelemahan rupiah, kecuali untuk menjaga volatilitas. ”Kalau seperti ini, seluruh mata uang dunia melemah terhadap dolar. Ini harus melihat seperti itu, yang paling penting dijaga supaya tidak panik, tidak ada volatilitas tinggi,” tuturnya.

Ekonom PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BII) Juniman mengakui, pelemahan rupiah antara lain disebabkan faktor global. Percepatan normalisasi kebijakan The Fed membuat dolar menguat terhadap semua mata uang. ”Cuma masalahnya, rupiah ini melemah dibandingkan mata uang lain,” kata Juniman.

Selain itu, permintaan dolar domestik yang tinggi membuat nilai tukar rupiah sulit bertahan. Pada saatpermintaanyangmasih tinggi seperti saat ini, suplai di pasar pun rendah karena korporasi tidak banyak yang menjual dolar. Pada saat yang bersamaan, BI pun sepertinya tidak terlalu aktif melakukan intervensi. Menurut Juniman, pelemahan rupiah akan terjadi hingga akhir pekan ini.

”Selama seminggu rupiah masih bisa tertekan, bahkan apabila BI tidak melakukan intervensi maka rupiah bisa menyentuh level Rp13.000 di akhir minggu ini,” ujarnya. Untuk itu, dia berharap BI dan pemerintah setidaknya segera menenangkan pasar. Dengan begitu, dia berharap kejadian ini tidak dijadikan ajang spekulasi yang bisa memperparah pelemahan rupiah.

Senada dengannya, Analis Trimegah Securities Sebastian Tobing mengatakan, dengan banyaknya faktor yang mendorong terjadinya pelemahan rupiah saat ini, BI tidak perlu mengambil kebijakan darurat. Namun, otoritas moneter perlu menjaga volatilitas nilai tukar rupiah. Sebastian memprediksi rupiah akan berada pada level Rp13.000 per dolar AS sampai akhir tahun ini.

Di lain tempat, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani mengatakan bahwa pelemahan rupiah tidak menggoyahkan minat investasi di Indonesia. ”Saya melihat kalau dari sisi minat investor, (pelemahan rupiah) belum memengaruhi (investasi). Atau kalaupun memengaruhi, paling nilainya minor,” kata Franky.

Dia menilai rencana investasi yang akan datang masih sangat tinggi, mengingat besarnya minat investor untuk menanamkan modal di Indonesia. Franky menuturkan, investor melihat pemerintah yang baru mampu memberikan harapan baru terkait investasi. Hal itu ditunjukkan dengan komitmen pemerintah memperbaiki iklim investasi melalui penyederhanaan sistem perizinan satu atap serta pengkajian masalah lahan.

BI Rate Menuju 8%

Terkait kemungkinan naiknya suku bunga AS, Bank Indonesia (BI) diperkirakan mau tak mau akan menaikkan suku bunga acuan BI Rate. Suku bunga acuan pada 2015 diprediksi bergerak ke level 8% atau meningkat 25 basis poin (bps) dari tingkat suku bunga acuan saat ini, di level 7,75%.

Equity Research Analyst Trimegah Securities Angga Aditya Assaf mengatakan, kenaikan BI Rate merupakan langkah yang baik untuk menjaga Indonesia agar tetap atraktif di mata internasional sehingga arus modal akan tetap mengalir ke dalam negeri. Ekonom Bank Permata Joshua Pardede menilai kebijakan BI untuk mempertahankan posisi BI Rate di level 7,75% merupakankebijakanyangtepatuntuk menjaga laju inflasi agar kembali normal pascakenaikan harga BBM.

Selain menjaga inflasi, BI juga fokus dalam mengendalikan defisit transaksi berjalan. Joshua memperkirakan dengan posisi BI Rate pada level 7,75%, defisit transaksi berjalan di akhir tahun bisa mencapai di bawah 3% terhadap produk domestik bruto.

Ria martati/Kunthi fahmar sandy/Ichsan amin
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9637 seconds (0.1#10.140)