Kemenag Matangkan Pembahasan RUU PUB
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah memastikan masih mematangkan rencana pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Umat Beragama (PUB) sebelum dilakukan pembahasan dengan DPR.
Menteri Agama Lukman Hakim Saefudin mengatakan, pihaknya belum bisa menjelaskan isi RUU tersebut karena sedang digodok sambil menunggu masukanmasukan dari berbagai pihak. “Intinya UU tersebut akan menjabarkan amanat konstitusi Pasal 29 ayat 2 tentang kebebasan beragama dan beribadah sesuai keyakinannya,” kata Lukman saat menggelar konferensi pers soal RUU PUB di Kantor Kemenag, Jakarta, kemarin.
Sebelumnya Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag Abdurrahman Masud menyatakan, RUU PUB merupakan penyempurnaan dari RUU Kerukunan Umat Beragama (KUB). Akan ada tambahan beberapa pasal dalam RUU yang akan dibahas bersama DPR pada Januari 2015. “RUU akan membahas masalah penodaan agama, aliran, atau kepercayaan di luar enam agama, pembangunan rumah ibadah, penyiaran agama di ruang publik, dan pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Semangat pemerintah itu bukan mengakui agama tertentu, melainkan melayani warga negara tanpa pandang bulu,” tuturnya kemarin. Sementara itu, beberapa kalangan terus mempertanyakan urgensi RUU tersebut. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PP Muhammadiyah Abdul Muti memandang RUU PUB belum diperlukan.
Sebaliknya, RUU tersebut justru akan menimbulkan masalah baru. “Persoalan konflik keagamaan yang mendasari lahirnya KUB sebenarnya bukan akibat dari ada atau tidak ada UU yang mengatur hal tersebut. Banyak UU yang bisa menjadi cantolan hukum dari perilaku konflik itu, namun tidak diimplementasikan dengan baik. Kuncinya sebenarnya di penegakan hukum,” ungkap Abdul Muti kepada KORAN SINDO kemarin.
Abdul Muti menyayangkan persoalan agama di republik ini biasa didekati dengan pendekatan teologis dan politis. Dia mencontohkan, penindakan hukum terhadap konflik keagamaan yang berujung kekerasan sebenarnya tak perlu dilihat dari motifnya, tapi dari perilaku kekerasan itu sendiri yang sudah masuk ranah Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dia mengatakan, pelaku harus dilihat sebagai warga negara dan setiap warga negara yang melakukan kekerasan dan perusakan harus ditindak secara hukum, termasuk menistakan agama, menghina orang baik secara verbal maupun nonverbal. “Semua itu sudah diatur dalam KUHP. Jadi jangan bersikap berlebihan dengan membuat UU lagi. Nanti UU kita akan tumpang tindih,” paparnya.
Terkait aliran atau kepercayaan di luar enam agama yang juga akan dibahas dalam RUU PUB, Abdul Muti menerangkan, sesuai amanat konstitusi semua agama dan kepercayaan telah diakui dan dilindungi negara.
Khoirul muzakki
Menteri Agama Lukman Hakim Saefudin mengatakan, pihaknya belum bisa menjelaskan isi RUU tersebut karena sedang digodok sambil menunggu masukanmasukan dari berbagai pihak. “Intinya UU tersebut akan menjabarkan amanat konstitusi Pasal 29 ayat 2 tentang kebebasan beragama dan beribadah sesuai keyakinannya,” kata Lukman saat menggelar konferensi pers soal RUU PUB di Kantor Kemenag, Jakarta, kemarin.
Sebelumnya Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag Abdurrahman Masud menyatakan, RUU PUB merupakan penyempurnaan dari RUU Kerukunan Umat Beragama (KUB). Akan ada tambahan beberapa pasal dalam RUU yang akan dibahas bersama DPR pada Januari 2015. “RUU akan membahas masalah penodaan agama, aliran, atau kepercayaan di luar enam agama, pembangunan rumah ibadah, penyiaran agama di ruang publik, dan pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Semangat pemerintah itu bukan mengakui agama tertentu, melainkan melayani warga negara tanpa pandang bulu,” tuturnya kemarin. Sementara itu, beberapa kalangan terus mempertanyakan urgensi RUU tersebut. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PP Muhammadiyah Abdul Muti memandang RUU PUB belum diperlukan.
Sebaliknya, RUU tersebut justru akan menimbulkan masalah baru. “Persoalan konflik keagamaan yang mendasari lahirnya KUB sebenarnya bukan akibat dari ada atau tidak ada UU yang mengatur hal tersebut. Banyak UU yang bisa menjadi cantolan hukum dari perilaku konflik itu, namun tidak diimplementasikan dengan baik. Kuncinya sebenarnya di penegakan hukum,” ungkap Abdul Muti kepada KORAN SINDO kemarin.
Abdul Muti menyayangkan persoalan agama di republik ini biasa didekati dengan pendekatan teologis dan politis. Dia mencontohkan, penindakan hukum terhadap konflik keagamaan yang berujung kekerasan sebenarnya tak perlu dilihat dari motifnya, tapi dari perilaku kekerasan itu sendiri yang sudah masuk ranah Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dia mengatakan, pelaku harus dilihat sebagai warga negara dan setiap warga negara yang melakukan kekerasan dan perusakan harus ditindak secara hukum, termasuk menistakan agama, menghina orang baik secara verbal maupun nonverbal. “Semua itu sudah diatur dalam KUHP. Jadi jangan bersikap berlebihan dengan membuat UU lagi. Nanti UU kita akan tumpang tindih,” paparnya.
Terkait aliran atau kepercayaan di luar enam agama yang juga akan dibahas dalam RUU PUB, Abdul Muti menerangkan, sesuai amanat konstitusi semua agama dan kepercayaan telah diakui dan dilindungi negara.
Khoirul muzakki
(bbg)