Ajari Anak Keluarga Kurang Mampu, Nilai Rata-Rata 8,5
A
A
A
Siang itu di rumah bercat warna merah muda, yang terpasang plang “English Training Center” di dinding bagian depannya, terdengar suara- suara melafalkan kata-kata dalam bahasa Inggris.
“Father... mother... brother...sister ...” berulang beberapa kali. Suara itu ternyata keluar dari mulut Nadine deMole, sukarelawan asal Jerman, yang kemudian ditirukan para murid dengan lantang, kompak, meski terbata-bata. Senin (1/12), belasan anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) dengan tekun belajar bahasa Inggris di dalam rumah yang berukuran sekitar 5x4 meter persegi.
Mereka adalah anak-anak yang tinggal di permukiman belakang Stasiun Depok dan sekitarnya. Duduk di lantai keramik, dengan meja belajar di depannya, anak-anak mendengarkan Nadien, gadis berambut pirang berusia 25 tahun itu mengajar. Dua hari dalam sepekan anakanak ini belajar bahasa Inggris di English Training Center (ETC) di Kampung Lio, Gang Kembang, Kelurahan Pancoran Mas, Depok. Tahun ini adalah tahun keempat rumah belajar tersebut berdiri.
Sudah empat kali pula kursus tersebut berpindah alamat. Lokasi dan besarnya rumah belajar tergantung sponsor yang bersedia membiayai kegiatan tersebut. Karena dalam empat tahun sponsor dan besaran sumbangan berbeda-beda, jadilah mereka empat kali berpindah tempat.
ETC Depok merupakan kursus bahasa Inggris yang ditujukan bagi anak-anak kurang mampu yang diselenggarakan lembaga swadaya masyarakat HOPE Worldwide Indonesia. HOPE, yang induk organisasinya berada di Philadelphia, Amerika Serikat, dibentuk pada 1994 dengan misi “Membantu yang Membutuhkan”.
Mereka mengembangkan berbagai program di Indonesia. Menurut visi-misi HOPE di Indonesia, kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris merupakan kebutuhan di era global. Bagi mereka yang mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah dengan fasilitas pelajaran bahasa Inggris yang baik, hal tersebut bukan masalah. Tetapi tidak semua orang mempunyai kesempatan yang sama.
“Sekarang ini di sekolah dasar negeri bahasa Inggris menjadi muatan lokal, jadi anak-anak belajarnya tidak banyak. Padahal, untuk masuk sekolah menengah pertama (SMP) mereka harus ikut ujian nasional, yang ada bahasa Inggrisnya,” kata Gatot Supriyanto, 45 tahun, pengajar lokal di ETC Depok sekaligus pengelola sehari-hari.
Selain gratis, pengajar di ETC Depok berasal dari berbagai negara. Dalam enam bulan terakhir ada enam sukarelawan dari berbagai negara yang mengajar. Selain Nadine dari Jerman, ada yang datang dari Taiwan, Jepang, China, dan Polandia. Ironisnya, Gatot mengungkapkan, mereka kesulitan mencari sukarelawan lokal, khususnya mahasiswa Indonesia.
Meski sudah memasang poster-poster di kampus, tetap belum tampak ketertarikan sukarelawan lokal untuk mengajar. “Banyak yang janji ingin bantu mengajar, tetapi belum ada yang menepati,” bebernya. Menurut Gatot, orang tua murid banyak yang melaporkan nilai rapor bahasa Inggris anaknya lebih baik setelah belajar di ETC Depok. “Rata-rata di atas 8,5,” katanya.
Maria, 22, mahasiswi asal Polandia, senang berkesempatan mengajar di ETC Depok. “Berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang yang membutuhkan, itulah misi saya di ETC,” kata Maria yang saat ini bersama Nadine mengajar di ETC. Pendapat Maria ditimpali Nadine, “Mengajar anak-anak ini sangat menyenangkan. Kita saling belajar,” Perbedaan budaya bukan kendala, malah menjadi pengalaman menarik. Misalnya budaya salaman.
“Ketika anak-anak mencium tangan saya, saya kaget,” kata Maria yang menganggap salaman adalah budaya yang baik.
*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi
Universitas Indonesia
CININTYA SYAKYAKIRTI MANDAYUN*
Depok
“Father... mother... brother...sister ...” berulang beberapa kali. Suara itu ternyata keluar dari mulut Nadine deMole, sukarelawan asal Jerman, yang kemudian ditirukan para murid dengan lantang, kompak, meski terbata-bata. Senin (1/12), belasan anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) dengan tekun belajar bahasa Inggris di dalam rumah yang berukuran sekitar 5x4 meter persegi.
Mereka adalah anak-anak yang tinggal di permukiman belakang Stasiun Depok dan sekitarnya. Duduk di lantai keramik, dengan meja belajar di depannya, anak-anak mendengarkan Nadien, gadis berambut pirang berusia 25 tahun itu mengajar. Dua hari dalam sepekan anakanak ini belajar bahasa Inggris di English Training Center (ETC) di Kampung Lio, Gang Kembang, Kelurahan Pancoran Mas, Depok. Tahun ini adalah tahun keempat rumah belajar tersebut berdiri.
Sudah empat kali pula kursus tersebut berpindah alamat. Lokasi dan besarnya rumah belajar tergantung sponsor yang bersedia membiayai kegiatan tersebut. Karena dalam empat tahun sponsor dan besaran sumbangan berbeda-beda, jadilah mereka empat kali berpindah tempat.
ETC Depok merupakan kursus bahasa Inggris yang ditujukan bagi anak-anak kurang mampu yang diselenggarakan lembaga swadaya masyarakat HOPE Worldwide Indonesia. HOPE, yang induk organisasinya berada di Philadelphia, Amerika Serikat, dibentuk pada 1994 dengan misi “Membantu yang Membutuhkan”.
Mereka mengembangkan berbagai program di Indonesia. Menurut visi-misi HOPE di Indonesia, kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris merupakan kebutuhan di era global. Bagi mereka yang mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah dengan fasilitas pelajaran bahasa Inggris yang baik, hal tersebut bukan masalah. Tetapi tidak semua orang mempunyai kesempatan yang sama.
“Sekarang ini di sekolah dasar negeri bahasa Inggris menjadi muatan lokal, jadi anak-anak belajarnya tidak banyak. Padahal, untuk masuk sekolah menengah pertama (SMP) mereka harus ikut ujian nasional, yang ada bahasa Inggrisnya,” kata Gatot Supriyanto, 45 tahun, pengajar lokal di ETC Depok sekaligus pengelola sehari-hari.
Selain gratis, pengajar di ETC Depok berasal dari berbagai negara. Dalam enam bulan terakhir ada enam sukarelawan dari berbagai negara yang mengajar. Selain Nadine dari Jerman, ada yang datang dari Taiwan, Jepang, China, dan Polandia. Ironisnya, Gatot mengungkapkan, mereka kesulitan mencari sukarelawan lokal, khususnya mahasiswa Indonesia.
Meski sudah memasang poster-poster di kampus, tetap belum tampak ketertarikan sukarelawan lokal untuk mengajar. “Banyak yang janji ingin bantu mengajar, tetapi belum ada yang menepati,” bebernya. Menurut Gatot, orang tua murid banyak yang melaporkan nilai rapor bahasa Inggris anaknya lebih baik setelah belajar di ETC Depok. “Rata-rata di atas 8,5,” katanya.
Maria, 22, mahasiswi asal Polandia, senang berkesempatan mengajar di ETC Depok. “Berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang yang membutuhkan, itulah misi saya di ETC,” kata Maria yang saat ini bersama Nadine mengajar di ETC. Pendapat Maria ditimpali Nadine, “Mengajar anak-anak ini sangat menyenangkan. Kita saling belajar,” Perbedaan budaya bukan kendala, malah menjadi pengalaman menarik. Misalnya budaya salaman.
“Ketika anak-anak mencium tangan saya, saya kaget,” kata Maria yang menganggap salaman adalah budaya yang baik.
*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi
Universitas Indonesia
CININTYA SYAKYAKIRTI MANDAYUN*
Depok
(bbg)