Okupansi Anjlok, Bisnis Perhotelan Terancam
A
A
A
JAKARTA - Larangan pegawai negeri sipil (PNS) berkegiatan di hotel mulai berdampak terhadap bisnis perhotelan.
Di berbagai daerah bisnis perhotelan terguncang lantaran tingkat hunian kamar (okupansi) merosot. Ketua Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia (PHRI) Sulawesi Selatan Anggiat Sinaga mengungkapkan, di beberapa hotel okupansi anjlok hingga mencapai 40% dari biasanya 80-100% di pengujung tahun. Apalagi jika mengacu pada tahun lalu, beberapa satuan kerja perangkat daerah (SKPD) pemda melakukan kegiatan-kegiatan akhir tahun untuk merealisasi program mereka.
”Aturan ini (larangan berkegiatan di hotel) sangat mengebiri pengusaha hotel dan menyebabkan usaha terancam kolaps. Kunjungan tamu berkurang sehingga perusahaan akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) tenaga kerja hotel,” ujarnya di Makassar, Sulawesi Selatan, kemarin. Di Jawa Tengah (Jateng), Ketua PHRI Jateng Heru Isnawan mengatakan, industri perhotelan berpotensi kehilangan 50% pasar mereka. Ini lantaran pasar instansi pemerintah selama ini sangat besar.
”Pasar instansi pemerintah bisa mencapai 50%, bahkan di beberapa daerah ada yang 75%,” ujarnya. Dia berpandangan, bila pemerintah bertujuan melakukan efisiensi anggaran, seharusnya tidak perlu mengeluarkan aturan larangan tersebut. Pemerintah cukup menganggarkan dana sesuai dengan pagunya. Selanjutnya PNS yang berkegiatan di hotel tinggal menyesuaikan pagu anggaran dengan hotel yang tersedia.
”Kan hotel itu banyak, ada yang bintang lima sampai kelas nonbintang sehingga banyak pilihan yang bisa disesuaikan dengan anggaran,” katanya. Larangan PNS berkegiatan di hotel diatur dalam surat edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Nomor 10 Tahun 2014. Dalam surat edaran tersebut, seluruh jajaran aparatur sipil negara dilarang melakukan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan di luar instansi pemerintahan.
Surat itu berlaku efektif per 1 Desember 2014. General Manager Quest Hotel Semarang Dedi Sumardi mengatakan, aturan tersebut sangat mengguncang bisnis perhotelan. ”Tahun ini kita sudah diguncang dengan berbagai masalah seperti kenaikan tarif listrik, elpiji, BBM, dan kali ini larangan rapat di hotel, jelas sangat memberatkan,” katanya. Dia menilai aturan larangan rapat di hotel bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah untuk mempermudah penambahan ruang pertemuan di hotel dan apartemen.
”Jelas aturan ini bertolak belakang, terus arahnya mau ke mana,” ucapnya. Asisten Communications Manager Hotel Shangri-La Jakarta Zaneti Sugiharti mengaku pihaknya mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan kebijakan larangan PNS berkegiatan di hotel. ”Ya memang berpengaruh, tapi untuk persentasenya belum bisa kami rilis,” kata Zaneti. Untuk menyiasatinya, hotel di Jakarta Pusat ini lebih membidik sektor bisnis lain seperti kalangan swasta maupun agensi pemerintah dari luar negeri.
Shangri-La juga mengoptimalkan bisnis food and beverage yang juga merupakan sumber pendapatan lain hotel ini, yakni dengan terus berinovasi baik dalam produk maupun jasa yang diberikan. ”Kami optimistis di tahun mendatang dengan kondisi perekonomian yang semakin baik akan banyak pebisnis yang datang ke Indonesia dan ini yang menjadi peluang kami sebagai hotel bintang lima untuk mengakomodasi mereka, khususnya untuk kepentingan MICE,” tuturnya.
Adapun Hotel Gran Melia dan Ritz Carlton Mega Kuningan Jakarta mengaku tidak mengalami dampak signifikan atas peraturan tersebut. ”Karena klien kami lebih banyak dari pihak korporat dan kedutaan. Memang ada dari kalangan PNS, tapi persentasenya tidak sebanyak dari kedua golongan itu,” kata Public Relations Officer Gran Melia Annisa Rahmita.
Adapun klien hotel Ritz Carlton Mega Kuningan Jakarta didominasi kalangan perusahaan multinasional. Direktur Eksekutif PHRI Cyprianus Aoer mengatakan, pihaknya sudah mengirim surat pernyataan keberatan kepada Presiden dan Menpan & RB serta bertemu dengan Menteri Pariwisata. ”Setelah mendengar aspirasikami, kelihatannya (pemerintah) akan meninjau kembali,” ujarnya saat dihubungiKORAN SINDO di Jakarta kemarin.
Menurut Cyprianus, selagi upaya peninjauan ulang oleh pemerintah belum menghasilkan keputusan tetap, kegiatan rapat PNS di hotel masih diperbolehkan. ”Kami diberi tahu, (katanya) akan ada upaya untuk perbaikan,” ungkapnya. Larangan PNS untuk rapat di hotel merupakan bagian dari upaya pemerintahan baru untuk menghemat anggaran negara.
Kebijakan ini mengusik pelaku usaha perhotelan mengingat kegiatan PNS di perhotelan bisa menyumbang 25-50% pendapatan hotel. Namun, menurut Cyprianus, dampaknya bukan sekadar potensi kerugian bagi hotel, melainkan juga rantai usaha terkait seperti pedagang dan petani pemasok bahan makanan untuk konsumsi di perhotelan. Cyprianus juga mengingatkan kemungkinan terjadinya PHK akibat berkurangnya pemasukan hotel dan tamu yang datang.
”Di daerah-daerah, hotel itu menjadi tempat paling strategis untuk pemerintah. Kalau dilarang, hotel tidak ada pemasukan lagi. Jalan terakhir ya melakukan perampingan tenaga kerja,” cetusnya. Lebih lanjut dia menambahkan, PHRI tetap pada komitmen menolak pelarangan PNS rapat di hotel. Pihaknya juga meminta semua pelaku perhotelan di daerah menyuarakanaspirasipenolakan dan menyampaikan potensi kerugian yang diderita.
Aspirasi disampaikan dengan berbagai cara, mulai lewat media hingga turun ke jalan alias demonstrasi. Cyprianus menegaskan, pada dasarnya hotel terbuka untuk siapa saja dan memberi pelayanan yang memudahkan. Dia sepakat bahwa PNS harus mengoptimalkan penggunaan ruang pertemuan di kantornya. Namun jika sudah menyangkut peserta rapat yang banyak disertai kebutuhan katering dan penginapan, seyogianya itu dilakukan menyeluruh di hotel.
”Kalau dihitung-hitung bisa lebih irit, apalagi hotel juga memberi diskon untuk instansi pemerintah,” ujarnya. Cyprianus berpendapat, persoalan utamanya bukan penghematan, melainkan harus adanya revolusi mental dari birokrat itu sendiri. Menurutnya, jika pemerintah ingin menertibkan atau mengatur PNS agar tidak memboroskan anggaran semisal anggaran perjalanan dinas dan ke luar kota, aspek pengawasan harus diperketat.
Menpan & RB Yuddy Crisnandi mengatakan, harus ada penjelasan yang logis jika PNS tetap melakukan kegiatan rapat di hotel. Meski demikian, surat edaran mengenai larangan PNS melakukan kegiatan rapat di hotel itu tidaklah kaku dan bisa ada pengecualian.
”Jika tidak ada gedung pemerintah yang bisa memuat jumlah peserta rapat, alternatifnya tentu di gedung milik swasta seperti hotel,” katanya. Dia mengatakan, secara umum surat edaran tersebut telah dilaksanakan oleh sebagian besar PNS di semua lembaga. ”Kita apresiasi hal itu,” kata dia.
Inda susanti/Sri noviarni/Ratih keswara/ Suwarny dammar/ Priyo/Andik sismanto/ant
Di berbagai daerah bisnis perhotelan terguncang lantaran tingkat hunian kamar (okupansi) merosot. Ketua Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia (PHRI) Sulawesi Selatan Anggiat Sinaga mengungkapkan, di beberapa hotel okupansi anjlok hingga mencapai 40% dari biasanya 80-100% di pengujung tahun. Apalagi jika mengacu pada tahun lalu, beberapa satuan kerja perangkat daerah (SKPD) pemda melakukan kegiatan-kegiatan akhir tahun untuk merealisasi program mereka.
”Aturan ini (larangan berkegiatan di hotel) sangat mengebiri pengusaha hotel dan menyebabkan usaha terancam kolaps. Kunjungan tamu berkurang sehingga perusahaan akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) tenaga kerja hotel,” ujarnya di Makassar, Sulawesi Selatan, kemarin. Di Jawa Tengah (Jateng), Ketua PHRI Jateng Heru Isnawan mengatakan, industri perhotelan berpotensi kehilangan 50% pasar mereka. Ini lantaran pasar instansi pemerintah selama ini sangat besar.
”Pasar instansi pemerintah bisa mencapai 50%, bahkan di beberapa daerah ada yang 75%,” ujarnya. Dia berpandangan, bila pemerintah bertujuan melakukan efisiensi anggaran, seharusnya tidak perlu mengeluarkan aturan larangan tersebut. Pemerintah cukup menganggarkan dana sesuai dengan pagunya. Selanjutnya PNS yang berkegiatan di hotel tinggal menyesuaikan pagu anggaran dengan hotel yang tersedia.
”Kan hotel itu banyak, ada yang bintang lima sampai kelas nonbintang sehingga banyak pilihan yang bisa disesuaikan dengan anggaran,” katanya. Larangan PNS berkegiatan di hotel diatur dalam surat edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Nomor 10 Tahun 2014. Dalam surat edaran tersebut, seluruh jajaran aparatur sipil negara dilarang melakukan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan di luar instansi pemerintahan.
Surat itu berlaku efektif per 1 Desember 2014. General Manager Quest Hotel Semarang Dedi Sumardi mengatakan, aturan tersebut sangat mengguncang bisnis perhotelan. ”Tahun ini kita sudah diguncang dengan berbagai masalah seperti kenaikan tarif listrik, elpiji, BBM, dan kali ini larangan rapat di hotel, jelas sangat memberatkan,” katanya. Dia menilai aturan larangan rapat di hotel bertolak belakang dengan kebijakan pemerintah untuk mempermudah penambahan ruang pertemuan di hotel dan apartemen.
”Jelas aturan ini bertolak belakang, terus arahnya mau ke mana,” ucapnya. Asisten Communications Manager Hotel Shangri-La Jakarta Zaneti Sugiharti mengaku pihaknya mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan kebijakan larangan PNS berkegiatan di hotel. ”Ya memang berpengaruh, tapi untuk persentasenya belum bisa kami rilis,” kata Zaneti. Untuk menyiasatinya, hotel di Jakarta Pusat ini lebih membidik sektor bisnis lain seperti kalangan swasta maupun agensi pemerintah dari luar negeri.
Shangri-La juga mengoptimalkan bisnis food and beverage yang juga merupakan sumber pendapatan lain hotel ini, yakni dengan terus berinovasi baik dalam produk maupun jasa yang diberikan. ”Kami optimistis di tahun mendatang dengan kondisi perekonomian yang semakin baik akan banyak pebisnis yang datang ke Indonesia dan ini yang menjadi peluang kami sebagai hotel bintang lima untuk mengakomodasi mereka, khususnya untuk kepentingan MICE,” tuturnya.
Adapun Hotel Gran Melia dan Ritz Carlton Mega Kuningan Jakarta mengaku tidak mengalami dampak signifikan atas peraturan tersebut. ”Karena klien kami lebih banyak dari pihak korporat dan kedutaan. Memang ada dari kalangan PNS, tapi persentasenya tidak sebanyak dari kedua golongan itu,” kata Public Relations Officer Gran Melia Annisa Rahmita.
Adapun klien hotel Ritz Carlton Mega Kuningan Jakarta didominasi kalangan perusahaan multinasional. Direktur Eksekutif PHRI Cyprianus Aoer mengatakan, pihaknya sudah mengirim surat pernyataan keberatan kepada Presiden dan Menpan & RB serta bertemu dengan Menteri Pariwisata. ”Setelah mendengar aspirasikami, kelihatannya (pemerintah) akan meninjau kembali,” ujarnya saat dihubungiKORAN SINDO di Jakarta kemarin.
Menurut Cyprianus, selagi upaya peninjauan ulang oleh pemerintah belum menghasilkan keputusan tetap, kegiatan rapat PNS di hotel masih diperbolehkan. ”Kami diberi tahu, (katanya) akan ada upaya untuk perbaikan,” ungkapnya. Larangan PNS untuk rapat di hotel merupakan bagian dari upaya pemerintahan baru untuk menghemat anggaran negara.
Kebijakan ini mengusik pelaku usaha perhotelan mengingat kegiatan PNS di perhotelan bisa menyumbang 25-50% pendapatan hotel. Namun, menurut Cyprianus, dampaknya bukan sekadar potensi kerugian bagi hotel, melainkan juga rantai usaha terkait seperti pedagang dan petani pemasok bahan makanan untuk konsumsi di perhotelan. Cyprianus juga mengingatkan kemungkinan terjadinya PHK akibat berkurangnya pemasukan hotel dan tamu yang datang.
”Di daerah-daerah, hotel itu menjadi tempat paling strategis untuk pemerintah. Kalau dilarang, hotel tidak ada pemasukan lagi. Jalan terakhir ya melakukan perampingan tenaga kerja,” cetusnya. Lebih lanjut dia menambahkan, PHRI tetap pada komitmen menolak pelarangan PNS rapat di hotel. Pihaknya juga meminta semua pelaku perhotelan di daerah menyuarakanaspirasipenolakan dan menyampaikan potensi kerugian yang diderita.
Aspirasi disampaikan dengan berbagai cara, mulai lewat media hingga turun ke jalan alias demonstrasi. Cyprianus menegaskan, pada dasarnya hotel terbuka untuk siapa saja dan memberi pelayanan yang memudahkan. Dia sepakat bahwa PNS harus mengoptimalkan penggunaan ruang pertemuan di kantornya. Namun jika sudah menyangkut peserta rapat yang banyak disertai kebutuhan katering dan penginapan, seyogianya itu dilakukan menyeluruh di hotel.
”Kalau dihitung-hitung bisa lebih irit, apalagi hotel juga memberi diskon untuk instansi pemerintah,” ujarnya. Cyprianus berpendapat, persoalan utamanya bukan penghematan, melainkan harus adanya revolusi mental dari birokrat itu sendiri. Menurutnya, jika pemerintah ingin menertibkan atau mengatur PNS agar tidak memboroskan anggaran semisal anggaran perjalanan dinas dan ke luar kota, aspek pengawasan harus diperketat.
Menpan & RB Yuddy Crisnandi mengatakan, harus ada penjelasan yang logis jika PNS tetap melakukan kegiatan rapat di hotel. Meski demikian, surat edaran mengenai larangan PNS melakukan kegiatan rapat di hotel itu tidaklah kaku dan bisa ada pengecualian.
”Jika tidak ada gedung pemerintah yang bisa memuat jumlah peserta rapat, alternatifnya tentu di gedung milik swasta seperti hotel,” katanya. Dia mengatakan, secara umum surat edaran tersebut telah dilaksanakan oleh sebagian besar PNS di semua lembaga. ”Kita apresiasi hal itu,” kata dia.
Inda susanti/Sri noviarni/Ratih keswara/ Suwarny dammar/ Priyo/Andik sismanto/ant
(ars)