Karya Seni Memijak Bumi

Minggu, 07 Desember 2014 - 10:45 WIB
Karya Seni Memijak Bumi
Karya Seni Memijak Bumi
A A A
Karya seni patung dan instalasi memang kerap membuat kita terhenyak dan takjub. Beberapa karya ini mampu membuat kita bertanya- tanya, sebetulnya apa yang ada di dalam alam pikir si pematung atau pemasang instalasi, termasuk pesan apa yang hendak disampaikan.

Melalui pameran seni patung dan instalasi Trax-14 yang dihelat sejak 21 November hingga 2 Desember lalu, karyakarya ini seperti beterbangan liar di pikiran kita sembari menyemburkan berbagai pertanyaan tersebut. Setelah Trax-13 yang digelar tahun lalu tidak menggunakan tema khusus, kali ini pameran serupa digelar dengan tema Bebas, Baru dan Membumi.

Mengapa membumi? Sepertinya kata ini ingin menggambarkan harapan agar setiap karya yang dipajang di pameran ini dapat menyatu dengan pengunjung dan alam yang dipijaknya. Sebelum kaki menginjak pintu masuk di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM), patung dengan sejuta makna telah menyambut.

Sejumlah figur orang yang berpakaian lengkap dengan sepatu terlihat sedang naik ke atas instalasi bambu yang membentuk segitiga menjulang. Mereka terlihat seperti berebutan kotak suara yang bertulisan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang digantung di tengah-tengah instalasi setinggi hampir lima meter tersebut.

Karya ini seperti hendak mengingatkan kita akan pesta politik yang baru saja kita lakukan pada Juli silam. Lalu ketika kita mendekati pintu masuk, ada dua karya patung berjudul Kereta Ibu Brani ‘Ibu’, yang dibuat Teater Koma. Judul karya ini sekaligus mengingatkan kita akan pergelaran teater dengan judul yang sama pada 1 hingga 17 November lalu yang dihelat di Graha Bhakti Budaya, TIM.

Tampak sebuah gerobak yang menyerupai kereta zaman dahulu yang ditarik kuda. Namun, gerobak ini bukan sembarang gerobak karena menjadi sebuah warung atau kantin. Banyak makanan yang menjadi barang dagangan dan beberapa pakaian yang digantung seperti sedang dijemur. Tepat di depannya, ada seorang figur perempuan yang tengah duduk.

Menurut seniman Benny R Tahalele, karya ini menjadi menarik mengingat Kelompok Teater KOMA dikenal sebagai sebuah wadah ekspresi seni yang bisa menampilkan semua kekuatan dari berbagai disiplin ekspresi visual secara utuh, signifikan, dan serentak, baik dari aspek rupa, gerak, bunyi dan pertunjukan. Selain Teater KOMA, Kelompok 12Pas juga ikut berpartisipasi di sini.

Bedanya, kelompok ini sudah berpartisipasi sejak awal acara. Tepatdisampingnya, terpisah dengan jalur menuju pintu masuk, terdapat karyamobilFiat, bertulisan “Ballantines Finest”. Mobil ini penuh dengan tempelan bentuk cinta atau hati berwarna merah. Satu area di sekitar mobil itu juga dipenuhi lambang-lambang cinta tersebut. Ketika kaki masuk ke dalam, tepat di depan buku pendaftaran, kita bisa melihat karya Harry Susanto yang berjudul The Parlement Horor Opera.

Latar karya berwarna hitam dan sebanyak 20 topeng dipajang di sana. Menurut sang seniman, bagaikan kisah horor dalam panggung opera, wajahwajah dalam parlemen di Indonesia sarat dengan karakter yang menyeramkan. Raksasa dan raksasi itu berwajah menyeramkan dengan gaduh dan tanpa malu berebut kekuasaan dan kedudukan; menebar penyakit kebejatan moral, korupsi dan menipu rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Agak masuk ke dalam sambutan dari berbagai karya patung dan instalasi pun semakin tidak terbendung. Tak hanya di dalam ruangan, beberapa karya juga dipamerkan di luar ruangan, tepatnya di belakang dekat Teater Kecil. Ketua Asosiasi Pematung Indonesia (API) Jakarta Budi PM Tobing mengatakan, pameran ini melibatkan 19 pematung API Jakarta dan sembilan pematung tamu yang berdomisili di Jakarta.

Mereka menampilkan karya-karya eksploratif, kaya akan kebebasan dalam bahasa visual dan penghayatan aktual. Salah satu yang cukup menarik perhatian adalah patung berbentuk kursi goyang yang ditemani dengan radio tua, dan selinting rokok di dalam asbak di atas meja, yang semuanya berwarna putih. Karya berjudul Remember When You Were Young milik Hardiman Radjab ini mengajak pengunjung untuk kembali ke masa lalu.

Tepatnya di masa saat pikiran dan tubuh kita masih muda. Dari dalam radio terdengar suara lenguhan seorang perempuan yang sedang ‘bertarung’ melawan lelaki dalam satu harmoni hasrat dan cinta. Karya ini sebaiknya dinikmati bagi pengunjung yang telah terikat dalam pernikahan.

Selain kursi goyang, masih ada sekitar 16 karya lainnya. Sementara, di belakang Gedung TIM, atau di sebelah Teater kecil, terdapat sekitar lima karya. Rata-rata karya yang diletakkan di luar ini memiliki ukuran yang cukup memakan ruang dan lahan. Salah satunya yakni karya berjudul Petruk Sapa Suru Datang Jakarta yang dibuat Tantyo Adjie.

Karya ini begitu ramai dengan berbagai rupa figur yang terbuat dari wayang kulit, beberapa bendera warnawarni, serta tulisan-tulisan yang banyak kandungan sindirannya. Tak hanya dikuasai Petruk, beberapa figur wayang kulit yang bergambarkan seorang wanita mengenakan pakaian ketat dan seksi, bahkan ada yang berbikini dengan tak lupa gincu berwarna merah menyala.

Semua membawa pesan yang sama, tentang keriuhan tinggal di Jakarta. Tapi apa daya, Jakarta memiliki magnet yang sangat besar untuk bisa mengubah hidup seseorang. Lalu ada karya ‘besar’ lainnya, seperti sejumlah kaleng bekas yang berserakan di tanah dengan judul Where Have All The Flowers Gone karya Hanung Mahadi. Ada pula Bait-Bait Sang Taru Raya karya Yani M. Sastranegara berupa tali-tali yang diikat dengan batang bambu yang terkait dengan pohon besar.

Susi susanti
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4261 seconds (0.1#10.140)