Hakim Disarankan Bisa Atur Pemberian Pembebasan Bersyarat
A
A
A
JAKARTA - Pembebasan bersyarat yang diterima Pollycarpus Budihari Prijanto, terpidana pembunuh aktivis HAM Munir Said Thalib terus menuai pertentangan.
Dengan dalih bertentangan dengan rasa dan asas keadilan, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum) melayangkan somasi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengungkapkan, somasi terhadap Jokowi adalah sebuah bentuk kekecewaan dari para pegiat HAM atas pembebasan bersyarat bagi Pollycarpus.
Meski demikian, ia mengingatkan, sistem hukum di Indonesia memang tidak mengatur secara khusus perbedaan antara pemberian remisi bagi kejahatan yang kita anggap luar biasa, dengan kejahatan yang kita anggap biasa-biasa saja.
"Dalam sistem hukum kita, sebuah kejahatan yang berdampak luar biasa dan menarik perhatian internasional, diperlakukan sama seperti kejahatan biasa saja," kata Arsul saat ditemui Sindonews di Gedung Nusantara II DPR, Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (4/12/2014).
Sebagai solusi atas kerancuan sistem hukum tersebut, Arsul mengajukan dua hal. Pertama, pemerintah perlu didorong untuk merevisi UU Pemasyarakatan.
Kedua, para hakim juga harus didorong untuk menetapkan memberikan remisi atau tidak memberikan remisi bagi terpidana suatu kasus dalam sebuah persidangan. Upaya kedua tersebut, tambah Arsul, sebenarnya telah dimulai saat para hakim memangkas hak politik bagi para terpidana korupsi.
"Hakim sebenarnya bisa menjatuhkan hukuman tambahan dalam bentuk tidak memberlakukan pembebasan bersyarat bagi terpidana setelah menjalankan hukuman sekian tahun," kata Arsul.
Dengan dalih bertentangan dengan rasa dan asas keadilan, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum) melayangkan somasi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengungkapkan, somasi terhadap Jokowi adalah sebuah bentuk kekecewaan dari para pegiat HAM atas pembebasan bersyarat bagi Pollycarpus.
Meski demikian, ia mengingatkan, sistem hukum di Indonesia memang tidak mengatur secara khusus perbedaan antara pemberian remisi bagi kejahatan yang kita anggap luar biasa, dengan kejahatan yang kita anggap biasa-biasa saja.
"Dalam sistem hukum kita, sebuah kejahatan yang berdampak luar biasa dan menarik perhatian internasional, diperlakukan sama seperti kejahatan biasa saja," kata Arsul saat ditemui Sindonews di Gedung Nusantara II DPR, Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (4/12/2014).
Sebagai solusi atas kerancuan sistem hukum tersebut, Arsul mengajukan dua hal. Pertama, pemerintah perlu didorong untuk merevisi UU Pemasyarakatan.
Kedua, para hakim juga harus didorong untuk menetapkan memberikan remisi atau tidak memberikan remisi bagi terpidana suatu kasus dalam sebuah persidangan. Upaya kedua tersebut, tambah Arsul, sebenarnya telah dimulai saat para hakim memangkas hak politik bagi para terpidana korupsi.
"Hakim sebenarnya bisa menjatuhkan hukuman tambahan dalam bentuk tidak memberlakukan pembebasan bersyarat bagi terpidana setelah menjalankan hukuman sekian tahun," kata Arsul.
(kri)