DPR Akan Panggil Menkumham

Selasa, 02 Desember 2014 - 10:37 WIB
DPR Akan Panggil Menkumham
DPR Akan Panggil Menkumham
A A A
JAKARTA - Pembebasan bersyarat Pollycarpus Budihari Prijanto terus menuai kontroversi. Komisi III DPR akan memanggil Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly terkait bebasnya terpidana kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir tersebut.

Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman mengatakan, pemerintah harus menjelaskan alasan pemberian pembebasan bersyarat kepada Pollycarpus.

”Apa alasan Presiden (Joko Widodo) dan Menkumham memberikan fasilitas itu kepada napi yang selama ini menjadi sorotan publik,” kata Benny di Gedung DPR, Jakarta, kemarin. Benny mengatakan, merujuk dari kasus pembunuhan Munir, kebijakan tersebut jelas merupakan bentuk pengkhianatan terhadap rasa keadilan.

Karenanya, penting bagi DPR untuk meminta penjelasan atas dasar alasan apa kebijakan tersebut dikeluarkan. ”Pemerintah perlu menjelaskan agar publik tidak mencurigai adanya kepentingan politik tertentu, didikte, atau ditengarai selama ini melakukan pembunuhan kepada almarhum Munir,” ujarnya.

Politikus Partai Demokrat ini menambahkan, apa pun penjelasan pemerintah nanti DPR memang tidak memiliki hak untuk ikut mengintervensi. Tetapi, setidaknya publik akan mengetahui apakah keputusan tersebut memenuhi syarat sesuai peraturan perundang- undangan atau tidak. Jika tidak sesuai, sudah menjadi tugas pemerintah untuk meninjau ulang.

Menurut dia, Komisi III DPR sering menanyakan tidak berjalannya penyelidikan kasus pembunuhan Munir ke Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Dia meminta pemerintahan Jokowi- JK melanjutkan langkah menyelesaikan masalah HAM masa lalu seperti kasus Munir. ”Kita berharap Presiden Jokowi akan lebih konsisten karena janji kampanyenya menuntaskan kasus-kasus HAM masa lalu. Jadi kita tunggu saja realisasinya,” katanya.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, KomisiIIIDPRmemang bisa saja memanggil pemerintah untuk mengetahui kebijakan itu sudah sesuai aturan atau karena faktor intervensi. ”Kalau ada intervensi dan memengaruhi keputusan pembebasan pemberian pembebasan bersyarat, harus dikaji ulang. Harus dicek nanti aturannya,” kata Fadli.

Jika dari penjelasan pemerintah memang tidak ditemukan intervensi oknum tertentu, kebijakan tersebut sudah tepat. Sebab, pembebasan bersyarat memang salah satu hak yang bisa didapatkan oleh terpidana. Pollycarpus keluar dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat pada Sabtu (29/11). Hal ini setelah mantan pilot Garuda Indonesia ini resmi mendapat pembebasan bersyarat dari Kemenkumham.

Pollycarpus selama ini telah menjalani hukuman sekitar delapan tahun dari 14 tahun vonisnya. Perjalanan hukum Pollycarpus ini cukup unik. Pada pengadilan negeri dia divonis 14 tahun penjara. Di tingkat banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan tersebut. Namun, jaksa yang tidak terima dengan putusan itu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Di tingkat kasasi, Pollycarpus divonis 20 tahun.

Hukumannya dikurangi enam tahun menjadi 14 tahun saat hakim MA menerima upaya hukum peninjauan kembali (PK) yang diajukan Pollycarpus. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly sebelumnya menyatakan pembebasan bersyarat Pollycarpus sudah sesuai ketentuan. Menurut Yasona, Pollycarpus berhak mendapatkan bebas bersyarat karena telah menjalani dua per tiga masa hukuman. Apalagi, tindak pidana yang dilakukan Pollycarpus bukan termasuk tindak pidana khusus.

Kepala Kantor Wilayah Kemkumham Jawa Barat Danan Purnomo menyatakan pembebasan bersyarat Pollycarpus dapat dicabut jika kewajiban yang sudah ditentukan dilanggarnya. Misalnya, Pollycarpus wajib lapor ke Balai Pemasyarakatan (Bapas) Bandung dan harus memberitahukan jika pergi ke luar kota atau luar negeri.

”Dengan pembebasan bersyarat ini tidak otomatis terpidana menjadi bebas, dia harus wajib lapor,” katanya Danan menegaskan, pemberian pembebasan bersyarat bagi Pollycarpus sudah sesuai peraturan perundangan diatur dalam Pasal 14 KUH Pidana, UU Pemasyarakatan dan PP Nomor 32/1999 tentang Tata Cara Pemberian Hak Terpidana. ”Kami hanya melaksanakan peraturan perundangan yang berlaku secara umum,” katanya. Jika hak terpidana itu tidak dipenuhi maka pihaknya dapat dipidanakan karena melanggar HAM.

Bermuatan Politis?

Pembebasan bersyarat Pollycarpus dicurigai sarat dengan muatan politis dan menjadi catatan buruk bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang berkomitmen mengungkap kasus pelanggaran HAM. Presiden Jokowi harus berani ambil sikap mengungkap siapa dalang di balik kematian Munir.

”Ada nuansa politik apa di balik semua ini? Tapi memang kerap kali misi politik susah untuk dibuktikan. kalau kita lihat dari sisi hukum kan jelas. Nah , kalau misi politik yang berlindung di balik perundang-undangan agak susah membuktikan. Intervensi itu mungkin saja,” ungkap pakar hukum tata negara Asep Warlan Yusuf di Jakarta kemarin.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), dalam konferensi persnya, mencurigai pembebasan bersyarat terhadap Pollycarpus ini bermuatan politis. Sebab, kasus Munir terjadi saat PDIP berkuasa dan Pollycarpus dibebaskan pun di bawah kekuasaan yang sama. Menurut Asep, pemberian pembebasan bersyarat Pollycarpus memang tidak bisa disalahkan jika melihat ketentuan hukum yang berlaku.

Jika memang seorang narapidana sudah memenuhi poin pembebasan bersyarat, namun tidak diberikan justru Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS) telah melanggar hak seseorang. Sayangnya, pemberian pembebasan bersyarat justru diberikan pada tingkat kejahatan luar biasa seperti kasus Munir sehingga banyak masyarakat yang menilai pemerintah Jokowi tidak peka dan justru melukai rasa keadilan.

Apalagi selama masa penahanan Pollycarpus tidak kooperatif untuk memberikan informasi siapa yang menyuruhnya. ”Dia (Pollycarpus) tidak pernah jadi justice collaborator . Dia pernah bilang ada perintah dari BIN, tapi tidak pernah bicara itu. Sangat disayangkan. Bebasnya Polly justru akan mempersulit kasus Munir. Dia akan semakin tertutup,” keluhnya.

Kendati demikian, ketentuan hukum yang berlaku tidak bisa disalahkan. Hanya, harusnya pemerintah bisa memperketat dan lebih selektif dalam pemberian pembebasan bersyarat. Terutama untuk pelaku kasus luar biasa seperti korupsi, terorisme dan pelanggaran HAM harusnya tidak perlu diberi pembebasan bersyarat.

Untuk itu, Asep menyarankan Presiden Jokowi membentuk tim pencari fakta yang baru untuk mengungkap siapa otak di balik pembunuhan Munir agar tidak terhenti saja di Pollycarpus. Mengingat Pollycarpus sudah bebas, yang akan semakin menyulitkan membongkar dalang di balik itu semua.

”Untuk menjawab keraguan masyarakat itu yang harus dilakukan. Harus ada tim yang sungguh- sungguh dengan melibatkan instansi terkait, bahkan LSM, untuk mencari dalang di balik Pollycarpus. Ini berefek internasional, penting bagi Presiden untuk menuntaskan. Ini menjadi catatan buruk,” lanjutnya. Pakar hukum tata negara dari Universitas Hasanuddin, Aminuddin Ilmar, menilai, jika memang ada pihak-pihak yang tidak puas atas pembebasan bersyarat Pollycarpus, upaya hukum lainnya masih terbuka.

Artinya, tak perlu hanya menyalahkan hukum atas pembebasan Pollycarpus itu. Pada dasarnya, pemberian pembebasan bersyarat mutlak diberikan pada narapidana yang telah memenuhi ketentuan dalam undang-undang. Sangat wajar jika Dirjen PAS atas persetujuan Kemenkumham memberikan pembebasan bersyarat.

”Itu (pembebasan bersyarat) wajar dan sah saja. Yang menjadi persoalan kan kasus ini belum tuntas karena dianggap dalangnya belum ditemukan. Itu yang harus didalami, dan itu masuk persoalan hukum lain. Kalau memang ada bukti baru ya diajukan saja ke pemerintah, buatkan tim pencari fakta untuk menyelesaikan yang belum terungkap,” papar Aminuddin kemarin.

Jika ada bukti lain yang cukup kuat untuk menggambarkan kejanggalan dalam pengungkapan kasus Munir, pemerintah pun tidak akan bisa menolak. Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Bahrain, mengatakan pembebasan bersyarat yang diberikan kepada Pollycarpus perlu ditinjau ulang. Alasannya, dalam hal pemberian pembebasan bersyarat banyak kriteria yang harus dipenuhi oleh seorang terpidana.

”Tidak hanya berkelakuan baik (yang jadi pertimbangan pembebasan bersyarat),” katanya kemarin. Mengenai kelakuan baik tidak saja dapat dilihat saat menjalani masa tahanan. Akan tetapi juga kooperatif dalam mengungkap siapa aktor intelektual pembunuh Munir.

”Itu juga Pollycarpus tidak mengakui siapa aktor intelektualnya. Sama saja menutupi kejahatan. Kalau mengungkapkan kan ada niat baik. Kalau bungkam bagaimana? Sampai sekarang bungkam tapi dikasih (predikat) berperilaku baik,” paparnya.

Saat ditanya apakah perlu pengkajian terhadap aturan hukum pembebasan bersyarat, Bahrain menjawab tidak. Bagi Bahrain, tidak ada masalah dengan aturan tersebut, namun pemberian pembebasan bersyarat perlu diperketat. Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda menilai seharusnya pembebasan bersyarat Pollycarpus tidak perlu menjadi masalah.

Menurut dia, pembebasan bersyarat merupakan hak dari setiap warga binaan yang memenuhi syarat. Pembebasan bersyarat merupakan penghargaan bagi narapidana yang memang berkelakuan baik.

Rahmat sahid/ Dita angga / Nurul adriyana/Ant
(ars)
Copyright © 2025 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6031 seconds (0.1#10.140)