Bukti Kemandirian Industri Perkapalan
A
A
A
Indonesia sudah lama mendeklarasikan diri sebagai negara maritim, namun sumber daya di bidang ini belum menunjukkan kualitas yang menjanjikan.
Industri perkapalan yang menjadi salah satu sendi utama maritim tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah, perbankan, hingga para pengusaha.
Saat ini pemain utama industri perkapalan di Indonesia adalah PT PAL Indonesia (persero). Perusahaan milik negara ini mengaku mempunyai kemampuan rancang bangun telah memasuki pasaran internasional.
Di antara produk PT PAL Indonesia adalah jenis kapal niaga, kapal perang, dan kapal cepat, di antaranya kapal pengangkut muatan curah sampai dengan 50.000 DWT, kapal penumpang 500, kapal tanker 30.000 LTDW, kapal kontainer 1.600 TEUs, dan kapal patroli cepat 57 meter, kapal tunda 3.200 HP, kapal Ikan 60 gross ton. Akhir Agustus lalu misalnya, PT PAL Indonesia menyerahkan kapal cepat rudal (KcC) 60 meter KRI Tombak kepada TNI AL.
Sebelumnya, pada Mei 2014, PT PAL menyerahkan KRI Sampari 628, sedangkan KRI Halasan (630) diserahkan September lalu. Ketiga kapal ini merupakan kapal cepat berpeluru kendali 60 meter. Fakta ini membuktikan keberhasilan PT PAL Indonesia membuat kapal perang untuk TNI AL merupakan kemandirian industri dalam negeri.
Di samping itu, PT PAL Indonesia juga memproduksi dermaga apung untuk keperluan pemeliharaan jenis-jenis kapal tertentu. Sejak April 2002, PT PAL Indonesia menerapkan Tribon Shipbuilding System secara menyeluruh pada tahap perencanaan dan produksi kapal untuk meningkatkan otomatisasi dan efisiensi. Saat ini PT PAL Indonesia menguasai sebagian besar pangsa pasar domestik untuk pembangunan kapal.
Ada lima kebutuhan pokok kapal niaga bisa berlayar di perairan internasional, yaitu kapasitas muatan, fasilitas handling di pelabuhan yang layak dan modern, kecepatan, keamanan, dan kenyamanan. Dengan kebutuhan tersebut, di Divisi Kapal Niaga PT PAL Indonesia terus berupaya memproduksi armada yang cocok untuk memenuhi kebutuhan angkutan barang secara internasional.
Direktur Produksi PT PAL Indonesia Edy Widarto menjelaskan, pihaknya berhasil membangun dua jenis kapal landing platform dock (LPD), yaitu KRI Banjarmasin 592 dan KRI Banda Aceh 593, yang diserahkan kepada TNI AL pada 2010 dan Maret 2011. Kapal LPD berbobot mati kurang lebih 10.932 DWT memiliki ukuran panjang 125 m, lebar 22 m, tinggi 11,3 m, dan kecepatan 15 knot.
Daya jelajah 10.000 mil. Kapal tersebut mampu membawa 5 helikopter, 2 unit LCU 23 m, 22 kendaraan tempur (ranpur) lapis baja, 13 ranpur taktis, serta 507 orang embarkasi. Kapal ini juga dirancang untuk dipasang senjata kaliber 100 mm, yang dilengkapi dengan ruang CIC untuk sistem kendali senjata.
“Kapal didesain untuk mampu melaksanakan self defense dengan komunikasi kapal ke kapal combatan. Sekaligus untuk melindungi pendaratan pasukan dan kendaraan taktis serta tempur, dan untuk pengendalian pendaratan helikopter,” jelas Edy dikutip dari buku Sumber Inspirasi Indonesia 19 Karya Unggulan Teknologi Anak Bangsa (Kemenristek, 2014).
Kapal ini dibangun dengan kelas Loyd Register + 100A1, menggunakan konstruksi lambung ganda (double bottom) dan dilengkapi bow thruster guna memudahkan manuver. Kapal LPD 125 meter ini didesain untuk memenuhi tugas operasi TNI AL, di antaranya untuk operasional LCU 23 m, pendaratan pasukan, operasi amfibi, tank carrier, combat vehicle 22 unit, dan tactical vehicle 13 unit, total embarkasi 507 personel termasuk troop carrier, 354 troop , kru, tamu, dan petugas.
Kapal ini juga bisa digunakan untuk operasi kemanusiaan dan penanggulangan bencana alam, dapat mengangkut 5 unit helikopter jenis MI-2 atau Bell 412, serta mampu berlayar selama 30 hari secara terus menerus. Untuk mendukung operasinya, kapal ini dilengkapi dengan Stern Ramp yang berfungsi untuk keluar-masuknya LCU dari lambung kapal dan kendaraan ringan maupun berat amfibi.
Sementara itu, pengamat maritim dari The Nastional Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi menyebutkan, industri perkapalan di dalam negeri secara umum masih sangat tertinggal. Pasokan baja untuk industri ini salah satunya banyak diimpor dari luar negeri. Harga kapal di dalam negeri juga ratarata cukup mahal dibandingkan membeli dari luar negeri, khususnya kapal untuk kebutuhan pelayaran.
Para pengusaha pelayaran sebagian besar masih membeli kapal dari luar. Mereka banyak membeli kapal bekas dari luar negeri untuk keperluan perlayaran. Membeli bekas masih dianggap lebih efisien dibanding membeli baru di dalam negeri yang harganya sangat mahal.
Besarnya harga pembelian untuk kapal di dalam negeri salah satunya karena perbankan belum mendukung industri perkapalan. “Pemerintah tidak boleh hanya mengatakan mendukung industri strategis seperti perkapalan, namun juga harus bisa menunjukkan langkah nyata. Seperti bagaimana mengundang pihak perbankan untuk terlibat di dalamnya. Bunga yang dibebankan untuk industri perkalapan umumnya lebih tinggi dibanding sektor lain,” jelas Siswanto kepada KORAN SINDO kemarin.
Dari sisi galangan kapal, Siswanto melihat para pelaku usaha galangan kapal lebih banyak menunggu datangnya order dari perusahaan pelayaran. Para pengusaha sulit mencari pinjaman ke perbankan untuk memenuhi modal pembangunan. Pembiayaan pembuatan kapal ini sangat mahal dan waktu produksi pun semakin panjang.
Islahuddin/Yani a
Industri perkapalan yang menjadi salah satu sendi utama maritim tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah, perbankan, hingga para pengusaha.
Saat ini pemain utama industri perkapalan di Indonesia adalah PT PAL Indonesia (persero). Perusahaan milik negara ini mengaku mempunyai kemampuan rancang bangun telah memasuki pasaran internasional.
Di antara produk PT PAL Indonesia adalah jenis kapal niaga, kapal perang, dan kapal cepat, di antaranya kapal pengangkut muatan curah sampai dengan 50.000 DWT, kapal penumpang 500, kapal tanker 30.000 LTDW, kapal kontainer 1.600 TEUs, dan kapal patroli cepat 57 meter, kapal tunda 3.200 HP, kapal Ikan 60 gross ton. Akhir Agustus lalu misalnya, PT PAL Indonesia menyerahkan kapal cepat rudal (KcC) 60 meter KRI Tombak kepada TNI AL.
Sebelumnya, pada Mei 2014, PT PAL menyerahkan KRI Sampari 628, sedangkan KRI Halasan (630) diserahkan September lalu. Ketiga kapal ini merupakan kapal cepat berpeluru kendali 60 meter. Fakta ini membuktikan keberhasilan PT PAL Indonesia membuat kapal perang untuk TNI AL merupakan kemandirian industri dalam negeri.
Di samping itu, PT PAL Indonesia juga memproduksi dermaga apung untuk keperluan pemeliharaan jenis-jenis kapal tertentu. Sejak April 2002, PT PAL Indonesia menerapkan Tribon Shipbuilding System secara menyeluruh pada tahap perencanaan dan produksi kapal untuk meningkatkan otomatisasi dan efisiensi. Saat ini PT PAL Indonesia menguasai sebagian besar pangsa pasar domestik untuk pembangunan kapal.
Ada lima kebutuhan pokok kapal niaga bisa berlayar di perairan internasional, yaitu kapasitas muatan, fasilitas handling di pelabuhan yang layak dan modern, kecepatan, keamanan, dan kenyamanan. Dengan kebutuhan tersebut, di Divisi Kapal Niaga PT PAL Indonesia terus berupaya memproduksi armada yang cocok untuk memenuhi kebutuhan angkutan barang secara internasional.
Direktur Produksi PT PAL Indonesia Edy Widarto menjelaskan, pihaknya berhasil membangun dua jenis kapal landing platform dock (LPD), yaitu KRI Banjarmasin 592 dan KRI Banda Aceh 593, yang diserahkan kepada TNI AL pada 2010 dan Maret 2011. Kapal LPD berbobot mati kurang lebih 10.932 DWT memiliki ukuran panjang 125 m, lebar 22 m, tinggi 11,3 m, dan kecepatan 15 knot.
Daya jelajah 10.000 mil. Kapal tersebut mampu membawa 5 helikopter, 2 unit LCU 23 m, 22 kendaraan tempur (ranpur) lapis baja, 13 ranpur taktis, serta 507 orang embarkasi. Kapal ini juga dirancang untuk dipasang senjata kaliber 100 mm, yang dilengkapi dengan ruang CIC untuk sistem kendali senjata.
“Kapal didesain untuk mampu melaksanakan self defense dengan komunikasi kapal ke kapal combatan. Sekaligus untuk melindungi pendaratan pasukan dan kendaraan taktis serta tempur, dan untuk pengendalian pendaratan helikopter,” jelas Edy dikutip dari buku Sumber Inspirasi Indonesia 19 Karya Unggulan Teknologi Anak Bangsa (Kemenristek, 2014).
Kapal ini dibangun dengan kelas Loyd Register + 100A1, menggunakan konstruksi lambung ganda (double bottom) dan dilengkapi bow thruster guna memudahkan manuver. Kapal LPD 125 meter ini didesain untuk memenuhi tugas operasi TNI AL, di antaranya untuk operasional LCU 23 m, pendaratan pasukan, operasi amfibi, tank carrier, combat vehicle 22 unit, dan tactical vehicle 13 unit, total embarkasi 507 personel termasuk troop carrier, 354 troop , kru, tamu, dan petugas.
Kapal ini juga bisa digunakan untuk operasi kemanusiaan dan penanggulangan bencana alam, dapat mengangkut 5 unit helikopter jenis MI-2 atau Bell 412, serta mampu berlayar selama 30 hari secara terus menerus. Untuk mendukung operasinya, kapal ini dilengkapi dengan Stern Ramp yang berfungsi untuk keluar-masuknya LCU dari lambung kapal dan kendaraan ringan maupun berat amfibi.
Sementara itu, pengamat maritim dari The Nastional Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi menyebutkan, industri perkapalan di dalam negeri secara umum masih sangat tertinggal. Pasokan baja untuk industri ini salah satunya banyak diimpor dari luar negeri. Harga kapal di dalam negeri juga ratarata cukup mahal dibandingkan membeli dari luar negeri, khususnya kapal untuk kebutuhan pelayaran.
Para pengusaha pelayaran sebagian besar masih membeli kapal dari luar. Mereka banyak membeli kapal bekas dari luar negeri untuk keperluan perlayaran. Membeli bekas masih dianggap lebih efisien dibanding membeli baru di dalam negeri yang harganya sangat mahal.
Besarnya harga pembelian untuk kapal di dalam negeri salah satunya karena perbankan belum mendukung industri perkapalan. “Pemerintah tidak boleh hanya mengatakan mendukung industri strategis seperti perkapalan, namun juga harus bisa menunjukkan langkah nyata. Seperti bagaimana mengundang pihak perbankan untuk terlibat di dalamnya. Bunga yang dibebankan untuk industri perkalapan umumnya lebih tinggi dibanding sektor lain,” jelas Siswanto kepada KORAN SINDO kemarin.
Dari sisi galangan kapal, Siswanto melihat para pelaku usaha galangan kapal lebih banyak menunggu datangnya order dari perusahaan pelayaran. Para pengusaha sulit mencari pinjaman ke perbankan untuk memenuhi modal pembangunan. Pembiayaan pembuatan kapal ini sangat mahal dan waktu produksi pun semakin panjang.
Islahuddin/Yani a
(ars)